Wakil Ketua Setara Institute Binas Tigor Naipospos mengatakan, perlakuan pemerintah atas kasus tersebut telah dilakukan kajian oleh pihaknya bersama-sama dengan LSM lokal setempat bernama Pusako Padang.
Alhasil, ditemukan adanya persoalan serius di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pria yang akrab disapa Choky ini menilai peraturan bersama itu terlalu birokratis sekaligus melanggar hak-hak beragama masyarakat, yang ujungnya berakibat kepada intoleransi.
\"Sejak dulu kami meminta pemerintah untuk revisi terkait peraturan bersama itu, khususnya tentang pendirian rumah ibadah. Itu bukan sulit tapi ini sangat birokratis,\" ujar Choky dalam diskusi publik bertemakan \"Jelang Natal, Bagaimana Intoleransi Bisa Meningkat?\", di Kantor Setara Institute, Jalan Hang Lengkiu II, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).
Dalam penelitian itu, Choky mendapatkan adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sejumlah pihak. Misalnya saja pejabat setingkat desa, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Padahal, syarat-syarat khusus yang diminta pejabat teras setempat seperti, minimal warga penganut agama sebanyak 90 orang, dan dukungan dari masyarakat setempat sebanyak 60 orang sudah terpenuhi.
\"Dari setiap step selalu ada problem hambatan. Sering kita temui, meskipun sudah 90 KK (Kartu Keluarga) dan 60 orang ikut mendukung, kalau lurahnya enggak dukung enggak jadi. Bahkan FKUB pun ikut menghambat,\" papar Choky.
\"Ini prosesnya di bawah (di masyarakat) sudah mulus, FKUB-nya menolak,\" tambah dia menekankan.[R]
" itemprop="description"/>Wakil Ketua Setara Institute Binas Tigor Naipospos mengatakan, perlakuan pemerintah atas kasus tersebut telah dilakukan kajian oleh pihaknya bersama-sama dengan LSM lokal setempat bernama Pusako Padang.
Alhasil, ditemukan adanya persoalan serius di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pria yang akrab disapa Choky ini menilai peraturan bersama itu terlalu birokratis sekaligus melanggar hak-hak beragama masyarakat, yang ujungnya berakibat kepada intoleransi.
\"Sejak dulu kami meminta pemerintah untuk revisi terkait peraturan bersama itu, khususnya tentang pendirian rumah ibadah. Itu bukan sulit tapi ini sangat birokratis,\" ujar Choky dalam diskusi publik bertemakan \"Jelang Natal, Bagaimana Intoleransi Bisa Meningkat?\", di Kantor Setara Institute, Jalan Hang Lengkiu II, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).
Dalam penelitian itu, Choky mendapatkan adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sejumlah pihak. Misalnya saja pejabat setingkat desa, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Padahal, syarat-syarat khusus yang diminta pejabat teras setempat seperti, minimal warga penganut agama sebanyak 90 orang, dan dukungan dari masyarakat setempat sebanyak 60 orang sudah terpenuhi.
\"Dari setiap step selalu ada problem hambatan. Sering kita temui, meskipun sudah 90 KK (Kartu Keluarga) dan 60 orang ikut mendukung, kalau lurahnya enggak dukung enggak jadi. Bahkan FKUB pun ikut menghambat,\" papar Choky.
\"Ini prosesnya di bawah (di masyarakat) sudah mulus, FKUB-nya menolak,\" tambah dia menekankan.[R]
"/>Wakil Ketua Setara Institute Binas Tigor Naipospos mengatakan, perlakuan pemerintah atas kasus tersebut telah dilakukan kajian oleh pihaknya bersama-sama dengan LSM lokal setempat bernama Pusako Padang.
Alhasil, ditemukan adanya persoalan serius di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pria yang akrab disapa Choky ini menilai peraturan bersama itu terlalu birokratis sekaligus melanggar hak-hak beragama masyarakat, yang ujungnya berakibat kepada intoleransi.
\"Sejak dulu kami meminta pemerintah untuk revisi terkait peraturan bersama itu, khususnya tentang pendirian rumah ibadah. Itu bukan sulit tapi ini sangat birokratis,\" ujar Choky dalam diskusi publik bertemakan \"Jelang Natal, Bagaimana Intoleransi Bisa Meningkat?\", di Kantor Setara Institute, Jalan Hang Lengkiu II, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).
Dalam penelitian itu, Choky mendapatkan adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sejumlah pihak. Misalnya saja pejabat setingkat desa, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Padahal, syarat-syarat khusus yang diminta pejabat teras setempat seperti, minimal warga penganut agama sebanyak 90 orang, dan dukungan dari masyarakat setempat sebanyak 60 orang sudah terpenuhi.
\"Dari setiap step selalu ada problem hambatan. Sering kita temui, meskipun sudah 90 KK (Kartu Keluarga) dan 60 orang ikut mendukung, kalau lurahnya enggak dukung enggak jadi. Bahkan FKUB pun ikut menghambat,\" papar Choky.
\"Ini prosesnya di bawah (di masyarakat) sudah mulus, FKUB-nya menolak,\" tambah dia menekankan.[R]
"/>