Bahasa Melayu sebagai salah satu identitas kebanggaan di Kota Medan semakin tergerus. Transformasinya menjadi bahasa nasional yakni Bahasa Indonesia memang patut dibanggakan, akan tetapi bahasa aslinya mulai dari logat dan penuturan-penuturannya seharusnya tetap dijaga sebagai bagian dari identitas khas Melayu itu sendiri. Hal ini mengemuka dalam diskusi Medan Urban Forum bersama Seniman, Sastrawan dan Budayawan, Jumat (25/9). "Tutur-tutur dari kalangan istana atau kesultanan harusnya menjadi jantung dan jiwa dari bahasa itu sendiri. Namun sepertinya tidak diturunkan kepada masyarakat. Bisa dibilang bahasa Melayu pudar dari "dalam"," kata Tikwan Raya Siregar. Hal yang sama disampaikan peserta diskusi lainnya Tengku Suhaimi. Seniman asal Binjai pemilik nama pena Tsi Taura ini mengatakan tergerusnya bahasa Melayu turut disebabkan cara berfikir dari kalangan istana dalam penggunaan bahasa mereka sendiri. "Tahun 80-an hingga 2000-an, para sultan itu banyak yang berkomunikasi pakai bahasa Belanda padahal berbicara sesama mereka. Saya bisa katakan bahwa Sultan itu hidup dalam kungkungannya sendiri," ungkapnya. Sementara itu, mantan anggota DPRD Kota Medan Ilham mengatakan persoalan bahasa memang sangat menyita perhatian terutama jika berbicara tentang bahasa Melayu. Kebiasaan untuk tidak menggunakan "bahasa ibu" dari keluarga menurutnya menjadi hal yang memberi sumbangsih besar dalam menyebabkan semakin tergerusnya bahasa Melayu. "Saya heran, begitu saya misalnya berbahasa Melayu dengan logatnya yang khas. Orang pasti akan memandang dengan heran, itu membuat anak-anak kia juga menjadi terkesan malu menggunakannya. Saya kira ini perlu dibiasakan, mulai dari keluarga untuk menegaskan bahwa kita ini tinggal di Kota Medan yang dikenal sebagai tanah Melayu," pungkasnya. Diskusi tentang seni, sastra dan budaya ini dipandu akademisi yang juga aktifis Sohibul Ansor Siregar dan diikuti sejumlah kalangan mulai dari kalangan akademisi, pemerhati budaya, kalangan seniman hingga kalangan jurnalis.[R]
Bahasa Melayu sebagai salah satu identitas kebanggaan di Kota Medan semakin tergerus. Transformasinya menjadi bahasa nasional yakni Bahasa Indonesia memang patut dibanggakan, akan tetapi bahasa aslinya mulai dari logat dan penuturan-penuturannya seharusnya tetap dijaga sebagai bagian dari identitas khas Melayu itu sendiri. Hal ini mengemuka dalam diskusi Medan Urban Forum bersama Seniman, Sastrawan dan Budayawan, Jumat (25/9). "Tutur-tutur dari kalangan istana atau kesultanan harusnya menjadi jantung dan jiwa dari bahasa itu sendiri. Namun sepertinya tidak diturunkan kepada masyarakat. Bisa dibilang bahasa Melayu pudar dari "dalam"," kata Tikwan Raya Siregar. Hal yang sama disampaikan peserta diskusi lainnya Tengku Suhaimi. Seniman asal Binjai pemilik nama pena Tsi Taura ini mengatakan tergerusnya bahasa Melayu turut disebabkan cara berfikir dari kalangan istana dalam penggunaan bahasa mereka sendiri. "Tahun 80-an hingga 2000-an, para sultan itu banyak yang berkomunikasi pakai bahasa Belanda padahal berbicara sesama mereka. Saya bisa katakan bahwa Sultan itu hidup dalam kungkungannya sendiri," ungkapnya. Sementara itu, mantan anggota DPRD Kota Medan Ilham mengatakan persoalan bahasa memang sangat menyita perhatian terutama jika berbicara tentang bahasa Melayu. Kebiasaan untuk tidak menggunakan "bahasa ibu" dari keluarga menurutnya menjadi hal yang memberi sumbangsih besar dalam menyebabkan semakin tergerusnya bahasa Melayu. "Saya heran, begitu saya misalnya berbahasa Melayu dengan logatnya yang khas. Orang pasti akan memandang dengan heran, itu membuat anak-anak kia juga menjadi terkesan malu menggunakannya. Saya kira ini perlu dibiasakan, mulai dari keluarga untuk menegaskan bahwa kita ini tinggal di Kota Medan yang dikenal sebagai tanah Melayu," pungkasnya. Diskusi tentang seni, sastra dan budaya ini dipandu akademisi yang juga aktifis Sohibul Ansor Siregar dan diikuti sejumlah kalangan mulai dari kalangan akademisi, pemerhati budaya, kalangan seniman hingga kalangan jurnalis.© Copyright 2024, All Rights Reserved