Pengamat politik Universitas Sumatera Utara, Bengkel Ginting mengaku sangat prihatin terhadap situasi yang terbaru di KPU RI. Pemecatan terhadap komisioner KPU RI Evi Novida Ginting oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menurutnya merupakan imbas dari pola rekruitmen penyelenggara pemilu yang bermuatan kepentingan. "Saya menduga mereka ini korban utang budi kepada partai politik yang dulunya memilih mereka saat seleksi," katanya kepada redaksi RMOLSumut, Jumat (20/3). Bengkel mengatakan saat ini ada tiga model Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) di dunia yakni model independen, model pemerintah dan model campuran. Indonesia sendiri menurutnya telah menegaskan bahwa LPP merupakan lembaga independen sehingga bebas dari segara bentuk intervensi. Namun pada faktanya, sejak Pemilu pertama dilakukan tahun 2001 hingga saat ini, pola rekrutmen untuk mengisi posisi penyelenggara pemilu tersebut masih sangat kental dengan nuansa kepentingan politis. Hasil dari tim seleksi bentukan presiden pada akhirnya diserahkan ke DPR untuk dipilih sebagai tahap final. "Disinilah mulai utang budi yang membuat penyelenggara menjadi tidak independen. Dan semua itu merembes hingga ke rekrutmen KPU provinsi hingga kabupaten dan kota," ujarnya. Ironisnya menurut Bengkel, saat ini yang gagal terpilih lewat seleksi justru menjadi anggota DKPP. Ini semakin menegaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu termasuk DKPP seolah menjadi tempat bekerja para pencari kerja atau job seeker. "Sekarang semua bisa, jadilah KPU menjadi tempat bagi job seeker apalagi honornya udah besar. Saya kecewa, Evi mungkin terperangkap sikap karena utang budi pada partai yang memilihnya waktu voting di DPR RI. Kita prihatin karena tak bisa juga berbuat apa-apa," pungkasnya.[R]
Pengamat politik Universitas Sumatera Utara, Bengkel Ginting mengaku sangat prihatin terhadap situasi yang terbaru di KPU RI. Pemecatan terhadap komisioner KPU RI Evi Novida Ginting oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menurutnya merupakan imbas dari pola rekruitmen penyelenggara pemilu yang bermuatan kepentingan. "Saya menduga mereka ini korban utang budi kepada partai politik yang dulunya memilih mereka saat seleksi," katanya kepada redaksi RMOLSumut, Jumat (20/3). Bengkel mengatakan saat ini ada tiga model Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) di dunia yakni model independen, model pemerintah dan model campuran. Indonesia sendiri menurutnya telah menegaskan bahwa LPP merupakan lembaga independen sehingga bebas dari segara bentuk intervensi. Namun pada faktanya, sejak Pemilu pertama dilakukan tahun 2001 hingga saat ini, pola rekrutmen untuk mengisi posisi penyelenggara pemilu tersebut masih sangat kental dengan nuansa kepentingan politis. Hasil dari tim seleksi bentukan presiden pada akhirnya diserahkan ke DPR untuk dipilih sebagai tahap final. "Disinilah mulai utang budi yang membuat penyelenggara menjadi tidak independen. Dan semua itu merembes hingga ke rekrutmen KPU provinsi hingga kabupaten dan kota," ujarnya. Ironisnya menurut Bengkel, saat ini yang gagal terpilih lewat seleksi justru menjadi anggota DKPP. Ini semakin menegaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu termasuk DKPP seolah menjadi tempat bekerja para pencari kerja atau job seeker. "Sekarang semua bisa, jadilah KPU menjadi tempat bagi job seeker apalagi honornya udah besar. Saya kecewa, Evi mungkin terperangkap sikap karena utang budi pada partai yang memilihnya waktu voting di DPR RI. Kita prihatin karena tak bisa juga berbuat apa-apa," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved