Artinya mereka sedang berusaha seakan mengingkari konstituennya sendiri dan lebih berhitung tentang political benefit jangka pendek dan terbatas.
Ini sekaligus dapat menjadi tragedi demokrasi yang tidak senafas dengan nilai-nilai yang diperjuangkan bersama selama ini.
Dalam demokrasi yang sehat hal-hal seperti ini cukup berat untuk dipertanggung jawabkan di hadapan publik.
Tetapi kini yang terjadi sangat berbeda. Di mata mereka, elit tertentu partai itu, adalah sangat naif tak menjadi bagian dari kekuasaan apalagi pada saat peluang sedang terbuka untuk diperebutkan, sekecil apa pun itu, sebagaimana mereka mungkin telah sangat yakin dengan kalkulasi sendiri bahwa jika kader mereks berpasangan dengan Bobby Nasution bukan cuma akan dapat meraih kemenangan lebih mudah, tetapi juga kemungkinan besar meraih keuntungan-keuntungan lain.
Pertama, keuntungan pribadi bahwa menjadi Wakil Walikota bagi figur partai itu adalah sesuatu yang begitu penting.
Lagi pula pada saatnya nanti, Bobby Nasution, dengan modalitas keluarga sebagai menantu Presiden, dapat pula didorong untuk maju menjadi calon Gubernur pada Pilgubsu tahun 2024.
Keberuntungan besar ini sangat istimewa, dan bagaimana politik tidak mengapresiasinya?
Kedua, mengikuti logika simplistis saat ini, menjadi wakil bagi Walikota yang menantu Presiden adalah harapan besar untuk beroleh kemudahan dalam membangun kota.
Akses untuk berbagai sumber pembiayaan dan fasilitas lainnya diperkirakan begitu mudah.
Di sinilah, sekali lagi, mereka terlihat seakan berusaha mencederai nilai demokrasi itu. Karena di luar pemikiran ini ada orang yang terus berpendapat bahwa betapa tak sehatnya kembali ke zaman dahulu kala relasi keluarga menjadi determinan pemerintahan negara.
Langkah dan semangat ini juga kurang perduli jika sekian banyak kader dari semua \"partai pemohon\" hanya satu yang berpeluang untuk diakomodasi, itu pun tak bisa dijamin bahkan oleh Bobby Nasution sendiri. Jika kader partai A yang diakomodasi, takkah kecemburuan dari partai lain mengemuka? Jika kader partai yang diakomodasi, bukankah pada kondisi saat ini masyarakat sìpil cukup mungkin memberi resistensi dengan berbagai cara?
Saya telah bertemu dan atau berdiskusi dengan hampir belasan figur yang berniat menjadi kompetitor dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Mereka terpilah pada beberapa kategori utama. Pertama yang secara kuat memiliki gagasan membangun kota Medan dan tidak hendak gambling menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil. Tidak menjadi calon Walikota berarti tidak perlu ikut. Itu prinsip mereka.
Kedua, menjadi calon Wakil. Mereka terpilah menjadi dua, pertama untuk siapa saja pun dan kedua untuk Bobby Nasution.
Ketiga, figur dengan hirarkhi pilihan tergantung situasi menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil.
Mereka ingin realistis, bahwa kota Medan penuh tantangan dan jika harus nomor satu berarti sikap yang diambil adalah kompromi berdasarkan pertimbangan luas, mulai dari komparasi kapasitas dan sumberdaya dengan figur calon pasangan, hingga popularitas dan elektabilitas secara kombinatif.
Keempat, figur yang akan maju dari jalur perseorangan. Sedikit banyaknya di permukaan ada semacam penonjolan atas panggilan idealisme di sini.
Tetapi jalur perseorangan adalah jalur khusus yang tidak terlalu diapresiasi dalam sistem demokrasi kita meski sah secara terbatas hanya untuk pilkada (untuk pilpres jalur ini tidak diatur sama sekali).
Begitu pun mereka sedang ditunggu untuk melengkapi semua persyaratan termasuk dukungan penduduk, dan apakah figuritas mereka dapat menjadi faktor yang amat memudahkan untuk beroleh dukungan itu. Kita tunggu.
Antara lain karena faktor kemungkinan keberadaan jalur perseorangan ini saya selalu menolak pertanyaan tentang kemungkinan Bobby Nasution dan pasangannya akan berhadapan dengan kotak kosong seperti di beberapa daerah, misalnya Tebing Tinggi dan Paluta (Sumut).
Lagi pula mencuatnya nama Bobby Nasution tentu saja tidak etis dipandang serta merta telah menciutkan nyali partai-partai lain untuk melakukan langkah berseberangan. Who knows.
Justru dengan situasi seperti ini bisa saja partai tertentu malah semakin melihat peluang untuk menang berharadapan dengan calon yang oleh halayak nasional mulai dilabeli degan hasrat dinasti politik.
Resistensi bisa diperbesar secara politik dan mengenderai sentimen seperti itu sah-sah saja.
Memang tidak semua partai saat ini dapat dibayangkan memiliki keberanian politik berseberangan dengan Bobby Nasution karena serta merta akan dilihat sebagai keretakan serius antara elit partainya dengan Joko Widodo di tengah tiadanya peluang sehat oposisi politik sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.
Sekali lagi, justru kelangkaan wacana keoposisian dalam pentas politik sekarang ini akan dapat memicu dukungan partisipasi serius rakyat yang masih menyimpan memori tarung pilpres 2019 dan kalkulasi dapat lebih diseriusi untuk melahirkan strategi pemenangan melawan pasangan Bobby Nasution. Entah Anda memiliki pendapat yang berbeda dengan saya tentang hal ini.
Begitu pun masih tetap menyisakan pertanyaan, apakah partai utama pendukung Bobby Nasution yang sama sekali tak memiliki track record sebagai politisi ini tak akan mengalami masalah internal yang serius jika tempat dan peluang yang semestinya untuk kader justru diserahkan kepadanya?
Orang menyebut PDIP atau Gerindra sebagai pemimpin koalisi dalam pengajuan Bobby Nasution dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Anda lihat di sana ada potensi masalah yang amat terbuka, dan Anda tidak akan mengabaikannya saya kira.
Pertama, boleh jadi Prabowo merelakan partainya untuk hanya mensupply calon Wakil. Apakah konstituennya dapat legowo menerimanya mengingat di sana ada figur Ihwan Ritonga atau Dahnil Anzar Simanjuntak yang sejak awal sudah mendeklarasikan diri untuk memimpin pemerintahan kota Medan 2020-2025?
Di sana juga ada lapis kedua Sugiat Santoso dengan sejuta jurus yang mungkin bisa mengintip kesempatan untuk mengakomodasi peluangnya menjadi Wakil bagi Bobby Nasution. Tetapi tetap saja akan diterima tak sepenuh hati oleh konstituen.
Bagaimana dengan PDIP? Di Sumut dan di Medan partai ini adalah pemenang pemilu 2019, selain secara de facto memiliki seorang kader berkeringat yang seyogyanya menjadi petahana dalam Pilkada 2020.
Memang bisa dibayangkan jika Dzulmi Eldin masih ada di atas pentas dan masih berniat maju, kerelaan Akhyar Nasution untuk menjadi wakil tentu saja tidak perlu diragukan.
Apakah kerelaan yang sama dapat diterima dari Akhyar Nasution jika akan menjadi wakil bagi Bobby Nasution?
Selain sulit bagi saya membayangkan hal ini, secara kultural orang juga akan bertanya, tega kalilah kalian Clan Nasution itu menjadi penguasa kota Medan dengan mengabaikan segmentasi sosial politik yang real? Ha ha.
Jika akan sedikit berhitung liar dan kejam, abaikan Akhyar Nasution dan sebagai (katakanlah) \"perwakilan\" PDIP untuk pilkada 2020 ditampilkan figur lain misalnya Soetarto yang kini menjabat sebagai Sekretaris PDIP Sumut.
Dia seorang Jawa meski tak sepopulis tokoh lain yang lebih senior seperti Djumiran Abdi, Resiko dan peluang apa yang akan terjadi? Sungguh, Anda tahu bahwa ini tak mudah diterangkan, bukan?
Satu hal yang saya yakini secara kuat adalah bahwa majunya Bobby Nasution dalam Pilkada 2020 tak lain sebuah keputusan penting keluarga setara dengan penyikapan Jokowi atas Pilkada Solo dalam waktu bersamaan.
Karena itu urusan penentuan partai pengusung dan pola yang dipilih (siapa menjadi calon walikota dan siapa menjadi calon wakil) adalah sesuatu yang kelihatannya lebih masuk akal dianggap menjadi urusan Joko Widodo, bukan urusan anak dan menantu ini.
Bagi saya keputusan keluarga tak mungkin menempatkan anak dan menantu yang maju Pilkada 2020 ini menjadi wakil bagi figur mana pun dan dari partai mana pun. Tak masuk akal itu bagi saya.
Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, peluang untuk maju pilkada gubernur tahun 2024 pun akan menjadi salah satu faktor yang dihitung cermat dalam rencana politik berbau dinasti ini.
Tentu saja saya tak ingin sepele menghitung figur yang diforce dari partai-partai lainnya, baik yang sudah mendaftarkan diri melalui partai politiknya dan partai lain, mau pun yang sama sekali tidak mengikuti proses itu sebab faham betul bahwa pendaftaran itu hanya prosedur yang tak selalu mengikat dalam persyaratan. Begitu kan?
Juga tak mungkin mengabaikan orang-orang non partisan lainnya seperti Putrama Al-Khairi, Erwin Afrizal, Maruli Siahaan, dan lain-lain.
Mereka ini saya bayangkan kurang lebih sebagai figur alternatif pembebas dari keterkendalaan politik saat menjalankan pemerintahan jika menang kelak.
Tentu saja Joko Widodo, Bobby Nasution dan lingkaran terdalamnya akan berhitung data pilpres 2019 di Medan dan faktor kemungkinan meredam resistensi residualnya.
Dengan begitu akan dihitung cermat figur yang dapat mereduksi ketajaman resistensi sekaligus faktor figuritas (popularitas dan elektabilitas) selain sumberdaya.
Kan tak boleh melenggang saja tanpa menjanjikan secara real kalkulasi dukungan dan budget politik yang mesti dibelanjakan dalam perhelatan politik yang lazimnya terus berlangsung transaksional?
Di atas segalanya marilah kita mulai berfikir tentang kebijakan pemerintahan yang berbasis konstitusi (base on constitution) dan dengan determinan perumusan anggaran beriman (faithful budget).***
Sohibul Ansor
Pengamat politik dan pengajar di UMSU
Artinya mereka sedang berusaha seakan mengingkari konstituennya sendiri dan lebih berhitung tentang political benefit jangka pendek dan terbatas.
Ini sekaligus dapat menjadi tragedi demokrasi yang tidak senafas dengan nilai-nilai yang diperjuangkan bersama selama ini.
Dalam demokrasi yang sehat hal-hal seperti ini cukup berat untuk dipertanggung jawabkan di hadapan publik.
Tetapi kini yang terjadi sangat berbeda. Di mata mereka, elit tertentu partai itu, adalah sangat naif tak menjadi bagian dari kekuasaan apalagi pada saat peluang sedang terbuka untuk diperebutkan, sekecil apa pun itu, sebagaimana mereka mungkin telah sangat yakin dengan kalkulasi sendiri bahwa jika kader mereks berpasangan dengan Bobby Nasution bukan cuma akan dapat meraih kemenangan lebih mudah, tetapi juga kemungkinan besar meraih keuntungan-keuntungan lain.
Pertama, keuntungan pribadi bahwa menjadi Wakil Walikota bagi figur partai itu adalah sesuatu yang begitu penting.
Lagi pula pada saatnya nanti, Bobby Nasution, dengan modalitas keluarga sebagai menantu Presiden, dapat pula didorong untuk maju menjadi calon Gubernur pada Pilgubsu tahun 2024.
Keberuntungan besar ini sangat istimewa, dan bagaimana politik tidak mengapresiasinya?
Kedua, mengikuti logika simplistis saat ini, menjadi wakil bagi Walikota yang menantu Presiden adalah harapan besar untuk beroleh kemudahan dalam membangun kota.
Akses untuk berbagai sumber pembiayaan dan fasilitas lainnya diperkirakan begitu mudah.
Di sinilah, sekali lagi, mereka terlihat seakan berusaha mencederai nilai demokrasi itu. Karena di luar pemikiran ini ada orang yang terus berpendapat bahwa betapa tak sehatnya kembali ke zaman dahulu kala relasi keluarga menjadi determinan pemerintahan negara.
Langkah dan semangat ini juga kurang perduli jika sekian banyak kader dari semua \"partai pemohon\" hanya satu yang berpeluang untuk diakomodasi, itu pun tak bisa dijamin bahkan oleh Bobby Nasution sendiri. Jika kader partai A yang diakomodasi, takkah kecemburuan dari partai lain mengemuka? Jika kader partai yang diakomodasi, bukankah pada kondisi saat ini masyarakat sìpil cukup mungkin memberi resistensi dengan berbagai cara?
Saya telah bertemu dan atau berdiskusi dengan hampir belasan figur yang berniat menjadi kompetitor dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Mereka terpilah pada beberapa kategori utama. Pertama yang secara kuat memiliki gagasan membangun kota Medan dan tidak hendak gambling menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil. Tidak menjadi calon Walikota berarti tidak perlu ikut. Itu prinsip mereka.
Kedua, menjadi calon Wakil. Mereka terpilah menjadi dua, pertama untuk siapa saja pun dan kedua untuk Bobby Nasution.
Ketiga, figur dengan hirarkhi pilihan tergantung situasi menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil.
Mereka ingin realistis, bahwa kota Medan penuh tantangan dan jika harus nomor satu berarti sikap yang diambil adalah kompromi berdasarkan pertimbangan luas, mulai dari komparasi kapasitas dan sumberdaya dengan figur calon pasangan, hingga popularitas dan elektabilitas secara kombinatif.
Keempat, figur yang akan maju dari jalur perseorangan. Sedikit banyaknya di permukaan ada semacam penonjolan atas panggilan idealisme di sini.
Tetapi jalur perseorangan adalah jalur khusus yang tidak terlalu diapresiasi dalam sistem demokrasi kita meski sah secara terbatas hanya untuk pilkada (untuk pilpres jalur ini tidak diatur sama sekali).
Begitu pun mereka sedang ditunggu untuk melengkapi semua persyaratan termasuk dukungan penduduk, dan apakah figuritas mereka dapat menjadi faktor yang amat memudahkan untuk beroleh dukungan itu. Kita tunggu.
Antara lain karena faktor kemungkinan keberadaan jalur perseorangan ini saya selalu menolak pertanyaan tentang kemungkinan Bobby Nasution dan pasangannya akan berhadapan dengan kotak kosong seperti di beberapa daerah, misalnya Tebing Tinggi dan Paluta (Sumut).
Lagi pula mencuatnya nama Bobby Nasution tentu saja tidak etis dipandang serta merta telah menciutkan nyali partai-partai lain untuk melakukan langkah berseberangan. Who knows.
Justru dengan situasi seperti ini bisa saja partai tertentu malah semakin melihat peluang untuk menang berharadapan dengan calon yang oleh halayak nasional mulai dilabeli degan hasrat dinasti politik.
Resistensi bisa diperbesar secara politik dan mengenderai sentimen seperti itu sah-sah saja.
Memang tidak semua partai saat ini dapat dibayangkan memiliki keberanian politik berseberangan dengan Bobby Nasution karena serta merta akan dilihat sebagai keretakan serius antara elit partainya dengan Joko Widodo di tengah tiadanya peluang sehat oposisi politik sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.
Sekali lagi, justru kelangkaan wacana keoposisian dalam pentas politik sekarang ini akan dapat memicu dukungan partisipasi serius rakyat yang masih menyimpan memori tarung pilpres 2019 dan kalkulasi dapat lebih diseriusi untuk melahirkan strategi pemenangan melawan pasangan Bobby Nasution. Entah Anda memiliki pendapat yang berbeda dengan saya tentang hal ini.
Begitu pun masih tetap menyisakan pertanyaan, apakah partai utama pendukung Bobby Nasution yang sama sekali tak memiliki track record sebagai politisi ini tak akan mengalami masalah internal yang serius jika tempat dan peluang yang semestinya untuk kader justru diserahkan kepadanya?
Orang menyebut PDIP atau Gerindra sebagai pemimpin koalisi dalam pengajuan Bobby Nasution dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Anda lihat di sana ada potensi masalah yang amat terbuka, dan Anda tidak akan mengabaikannya saya kira.
Pertama, boleh jadi Prabowo merelakan partainya untuk hanya mensupply calon Wakil. Apakah konstituennya dapat legowo menerimanya mengingat di sana ada figur Ihwan Ritonga atau Dahnil Anzar Simanjuntak yang sejak awal sudah mendeklarasikan diri untuk memimpin pemerintahan kota Medan 2020-2025?
Di sana juga ada lapis kedua Sugiat Santoso dengan sejuta jurus yang mungkin bisa mengintip kesempatan untuk mengakomodasi peluangnya menjadi Wakil bagi Bobby Nasution. Tetapi tetap saja akan diterima tak sepenuh hati oleh konstituen.
Bagaimana dengan PDIP? Di Sumut dan di Medan partai ini adalah pemenang pemilu 2019, selain secara de facto memiliki seorang kader berkeringat yang seyogyanya menjadi petahana dalam Pilkada 2020.
Memang bisa dibayangkan jika Dzulmi Eldin masih ada di atas pentas dan masih berniat maju, kerelaan Akhyar Nasution untuk menjadi wakil tentu saja tidak perlu diragukan.
Apakah kerelaan yang sama dapat diterima dari Akhyar Nasution jika akan menjadi wakil bagi Bobby Nasution?
Selain sulit bagi saya membayangkan hal ini, secara kultural orang juga akan bertanya, tega kalilah kalian Clan Nasution itu menjadi penguasa kota Medan dengan mengabaikan segmentasi sosial politik yang real? Ha ha.
Jika akan sedikit berhitung liar dan kejam, abaikan Akhyar Nasution dan sebagai (katakanlah) \"perwakilan\" PDIP untuk pilkada 2020 ditampilkan figur lain misalnya Soetarto yang kini menjabat sebagai Sekretaris PDIP Sumut.
Dia seorang Jawa meski tak sepopulis tokoh lain yang lebih senior seperti Djumiran Abdi, Resiko dan peluang apa yang akan terjadi? Sungguh, Anda tahu bahwa ini tak mudah diterangkan, bukan?
Satu hal yang saya yakini secara kuat adalah bahwa majunya Bobby Nasution dalam Pilkada 2020 tak lain sebuah keputusan penting keluarga setara dengan penyikapan Jokowi atas Pilkada Solo dalam waktu bersamaan.
Karena itu urusan penentuan partai pengusung dan pola yang dipilih (siapa menjadi calon walikota dan siapa menjadi calon wakil) adalah sesuatu yang kelihatannya lebih masuk akal dianggap menjadi urusan Joko Widodo, bukan urusan anak dan menantu ini.
Bagi saya keputusan keluarga tak mungkin menempatkan anak dan menantu yang maju Pilkada 2020 ini menjadi wakil bagi figur mana pun dan dari partai mana pun. Tak masuk akal itu bagi saya.
Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, peluang untuk maju pilkada gubernur tahun 2024 pun akan menjadi salah satu faktor yang dihitung cermat dalam rencana politik berbau dinasti ini.
Tentu saja saya tak ingin sepele menghitung figur yang diforce dari partai-partai lainnya, baik yang sudah mendaftarkan diri melalui partai politiknya dan partai lain, mau pun yang sama sekali tidak mengikuti proses itu sebab faham betul bahwa pendaftaran itu hanya prosedur yang tak selalu mengikat dalam persyaratan. Begitu kan?
Juga tak mungkin mengabaikan orang-orang non partisan lainnya seperti Putrama Al-Khairi, Erwin Afrizal, Maruli Siahaan, dan lain-lain.
Mereka ini saya bayangkan kurang lebih sebagai figur alternatif pembebas dari keterkendalaan politik saat menjalankan pemerintahan jika menang kelak.
Tentu saja Joko Widodo, Bobby Nasution dan lingkaran terdalamnya akan berhitung data pilpres 2019 di Medan dan faktor kemungkinan meredam resistensi residualnya.
Dengan begitu akan dihitung cermat figur yang dapat mereduksi ketajaman resistensi sekaligus faktor figuritas (popularitas dan elektabilitas) selain sumberdaya.
Kan tak boleh melenggang saja tanpa menjanjikan secara real kalkulasi dukungan dan budget politik yang mesti dibelanjakan dalam perhelatan politik yang lazimnya terus berlangsung transaksional?
Di atas segalanya marilah kita mulai berfikir tentang kebijakan pemerintahan yang berbasis konstitusi (base on constitution) dan dengan determinan perumusan anggaran beriman (faithful budget).***
Sohibul Ansor
Pengamat politik dan pengajar di UMSU
Artinya mereka sedang berusaha seakan mengingkari konstituennya sendiri dan lebih berhitung tentang political benefit jangka pendek dan terbatas.
Ini sekaligus dapat menjadi tragedi demokrasi yang tidak senafas dengan nilai-nilai yang diperjuangkan bersama selama ini.
Dalam demokrasi yang sehat hal-hal seperti ini cukup berat untuk dipertanggung jawabkan di hadapan publik.
Tetapi kini yang terjadi sangat berbeda. Di mata mereka, elit tertentu partai itu, adalah sangat naif tak menjadi bagian dari kekuasaan apalagi pada saat peluang sedang terbuka untuk diperebutkan, sekecil apa pun itu, sebagaimana mereka mungkin telah sangat yakin dengan kalkulasi sendiri bahwa jika kader mereks berpasangan dengan Bobby Nasution bukan cuma akan dapat meraih kemenangan lebih mudah, tetapi juga kemungkinan besar meraih keuntungan-keuntungan lain.
Pertama, keuntungan pribadi bahwa menjadi Wakil Walikota bagi figur partai itu adalah sesuatu yang begitu penting.
Lagi pula pada saatnya nanti, Bobby Nasution, dengan modalitas keluarga sebagai menantu Presiden, dapat pula didorong untuk maju menjadi calon Gubernur pada Pilgubsu tahun 2024.
Keberuntungan besar ini sangat istimewa, dan bagaimana politik tidak mengapresiasinya?
Kedua, mengikuti logika simplistis saat ini, menjadi wakil bagi Walikota yang menantu Presiden adalah harapan besar untuk beroleh kemudahan dalam membangun kota.
Akses untuk berbagai sumber pembiayaan dan fasilitas lainnya diperkirakan begitu mudah.
Di sinilah, sekali lagi, mereka terlihat seakan berusaha mencederai nilai demokrasi itu. Karena di luar pemikiran ini ada orang yang terus berpendapat bahwa betapa tak sehatnya kembali ke zaman dahulu kala relasi keluarga menjadi determinan pemerintahan negara.
Langkah dan semangat ini juga kurang perduli jika sekian banyak kader dari semua \"partai pemohon\" hanya satu yang berpeluang untuk diakomodasi, itu pun tak bisa dijamin bahkan oleh Bobby Nasution sendiri. Jika kader partai A yang diakomodasi, takkah kecemburuan dari partai lain mengemuka? Jika kader partai yang diakomodasi, bukankah pada kondisi saat ini masyarakat sìpil cukup mungkin memberi resistensi dengan berbagai cara?
Saya telah bertemu dan atau berdiskusi dengan hampir belasan figur yang berniat menjadi kompetitor dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Mereka terpilah pada beberapa kategori utama. Pertama yang secara kuat memiliki gagasan membangun kota Medan dan tidak hendak gambling menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil. Tidak menjadi calon Walikota berarti tidak perlu ikut. Itu prinsip mereka.
Kedua, menjadi calon Wakil. Mereka terpilah menjadi dua, pertama untuk siapa saja pun dan kedua untuk Bobby Nasution.
Ketiga, figur dengan hirarkhi pilihan tergantung situasi menjadi calon Walikota atau menjadi calon Wakil.
Mereka ingin realistis, bahwa kota Medan penuh tantangan dan jika harus nomor satu berarti sikap yang diambil adalah kompromi berdasarkan pertimbangan luas, mulai dari komparasi kapasitas dan sumberdaya dengan figur calon pasangan, hingga popularitas dan elektabilitas secara kombinatif.
Keempat, figur yang akan maju dari jalur perseorangan. Sedikit banyaknya di permukaan ada semacam penonjolan atas panggilan idealisme di sini.
Tetapi jalur perseorangan adalah jalur khusus yang tidak terlalu diapresiasi dalam sistem demokrasi kita meski sah secara terbatas hanya untuk pilkada (untuk pilpres jalur ini tidak diatur sama sekali).
Begitu pun mereka sedang ditunggu untuk melengkapi semua persyaratan termasuk dukungan penduduk, dan apakah figuritas mereka dapat menjadi faktor yang amat memudahkan untuk beroleh dukungan itu. Kita tunggu.
Antara lain karena faktor kemungkinan keberadaan jalur perseorangan ini saya selalu menolak pertanyaan tentang kemungkinan Bobby Nasution dan pasangannya akan berhadapan dengan kotak kosong seperti di beberapa daerah, misalnya Tebing Tinggi dan Paluta (Sumut).
Lagi pula mencuatnya nama Bobby Nasution tentu saja tidak etis dipandang serta merta telah menciutkan nyali partai-partai lain untuk melakukan langkah berseberangan. Who knows.
Justru dengan situasi seperti ini bisa saja partai tertentu malah semakin melihat peluang untuk menang berharadapan dengan calon yang oleh halayak nasional mulai dilabeli degan hasrat dinasti politik.
Resistensi bisa diperbesar secara politik dan mengenderai sentimen seperti itu sah-sah saja.
Memang tidak semua partai saat ini dapat dibayangkan memiliki keberanian politik berseberangan dengan Bobby Nasution karena serta merta akan dilihat sebagai keretakan serius antara elit partainya dengan Joko Widodo di tengah tiadanya peluang sehat oposisi politik sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.
Sekali lagi, justru kelangkaan wacana keoposisian dalam pentas politik sekarang ini akan dapat memicu dukungan partisipasi serius rakyat yang masih menyimpan memori tarung pilpres 2019 dan kalkulasi dapat lebih diseriusi untuk melahirkan strategi pemenangan melawan pasangan Bobby Nasution. Entah Anda memiliki pendapat yang berbeda dengan saya tentang hal ini.
Begitu pun masih tetap menyisakan pertanyaan, apakah partai utama pendukung Bobby Nasution yang sama sekali tak memiliki track record sebagai politisi ini tak akan mengalami masalah internal yang serius jika tempat dan peluang yang semestinya untuk kader justru diserahkan kepadanya?
Orang menyebut PDIP atau Gerindra sebagai pemimpin koalisi dalam pengajuan Bobby Nasution dalam Pilkada Kota Medan 2020.
Anda lihat di sana ada potensi masalah yang amat terbuka, dan Anda tidak akan mengabaikannya saya kira.
Pertama, boleh jadi Prabowo merelakan partainya untuk hanya mensupply calon Wakil. Apakah konstituennya dapat legowo menerimanya mengingat di sana ada figur Ihwan Ritonga atau Dahnil Anzar Simanjuntak yang sejak awal sudah mendeklarasikan diri untuk memimpin pemerintahan kota Medan 2020-2025?
Di sana juga ada lapis kedua Sugiat Santoso dengan sejuta jurus yang mungkin bisa mengintip kesempatan untuk mengakomodasi peluangnya menjadi Wakil bagi Bobby Nasution. Tetapi tetap saja akan diterima tak sepenuh hati oleh konstituen.
Bagaimana dengan PDIP? Di Sumut dan di Medan partai ini adalah pemenang pemilu 2019, selain secara de facto memiliki seorang kader berkeringat yang seyogyanya menjadi petahana dalam Pilkada 2020.
Memang bisa dibayangkan jika Dzulmi Eldin masih ada di atas pentas dan masih berniat maju, kerelaan Akhyar Nasution untuk menjadi wakil tentu saja tidak perlu diragukan.
Apakah kerelaan yang sama dapat diterima dari Akhyar Nasution jika akan menjadi wakil bagi Bobby Nasution?
Selain sulit bagi saya membayangkan hal ini, secara kultural orang juga akan bertanya, tega kalilah kalian Clan Nasution itu menjadi penguasa kota Medan dengan mengabaikan segmentasi sosial politik yang real? Ha ha.
Jika akan sedikit berhitung liar dan kejam, abaikan Akhyar Nasution dan sebagai (katakanlah) \"perwakilan\" PDIP untuk pilkada 2020 ditampilkan figur lain misalnya Soetarto yang kini menjabat sebagai Sekretaris PDIP Sumut.
Dia seorang Jawa meski tak sepopulis tokoh lain yang lebih senior seperti Djumiran Abdi, Resiko dan peluang apa yang akan terjadi? Sungguh, Anda tahu bahwa ini tak mudah diterangkan, bukan?
Satu hal yang saya yakini secara kuat adalah bahwa majunya Bobby Nasution dalam Pilkada 2020 tak lain sebuah keputusan penting keluarga setara dengan penyikapan Jokowi atas Pilkada Solo dalam waktu bersamaan.
Karena itu urusan penentuan partai pengusung dan pola yang dipilih (siapa menjadi calon walikota dan siapa menjadi calon wakil) adalah sesuatu yang kelihatannya lebih masuk akal dianggap menjadi urusan Joko Widodo, bukan urusan anak dan menantu ini.
Bagi saya keputusan keluarga tak mungkin menempatkan anak dan menantu yang maju Pilkada 2020 ini menjadi wakil bagi figur mana pun dan dari partai mana pun. Tak masuk akal itu bagi saya.
Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, peluang untuk maju pilkada gubernur tahun 2024 pun akan menjadi salah satu faktor yang dihitung cermat dalam rencana politik berbau dinasti ini.
Tentu saja saya tak ingin sepele menghitung figur yang diforce dari partai-partai lainnya, baik yang sudah mendaftarkan diri melalui partai politiknya dan partai lain, mau pun yang sama sekali tidak mengikuti proses itu sebab faham betul bahwa pendaftaran itu hanya prosedur yang tak selalu mengikat dalam persyaratan. Begitu kan?
Juga tak mungkin mengabaikan orang-orang non partisan lainnya seperti Putrama Al-Khairi, Erwin Afrizal, Maruli Siahaan, dan lain-lain.
Mereka ini saya bayangkan kurang lebih sebagai figur alternatif pembebas dari keterkendalaan politik saat menjalankan pemerintahan jika menang kelak.
Tentu saja Joko Widodo, Bobby Nasution dan lingkaran terdalamnya akan berhitung data pilpres 2019 di Medan dan faktor kemungkinan meredam resistensi residualnya.
Dengan begitu akan dihitung cermat figur yang dapat mereduksi ketajaman resistensi sekaligus faktor figuritas (popularitas dan elektabilitas) selain sumberdaya.
Kan tak boleh melenggang saja tanpa menjanjikan secara real kalkulasi dukungan dan budget politik yang mesti dibelanjakan dalam perhelatan politik yang lazimnya terus berlangsung transaksional?
Di atas segalanya marilah kita mulai berfikir tentang kebijakan pemerintahan yang berbasis konstitusi (base on constitution) dan dengan determinan perumusan anggaran beriman (faithful budget).***
Sohibul Ansor
Pengamat politik dan pengajar di UMSU