Dalam kurun waktu 4 tahun yakni tahun 2014-2019 luas kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan berbagai usaha lainnya di Sumatera Utara mencapai 174,385 hektar. Perubahan ini menjadi sangat memprihatinkan karena menghancurkan perekonomian warga yang selama ini bergantung dari keberadaan hutan seperti hutan mangrove di pesisir Timur provinsi Sumatera Utara. Data ini dipaparkan oleh Walhi Sumatera Utara saat beraudiensi ke DPRD Sumatera Utara. Mereka menjelaskan selain menjadi perkebunan sawit, beberapa usaha lain yang membuat terjadinya alih fungsi hutan tersebut yakni perusahaan tambak, industri kayu dan juga arang. "Ini harus menjadi perhatian karena dampaknya akan membunuh masyarakat yang selama ini mata pencahariannya memiliki ketergantungan dengan kelestarian hutan tersebut. Seperti nelayan yang semakin kesulitan menangkap ikan karena hutan mangrove yang sudah habis sehingga ikan semakin sedikit," kata Direktur Walhi Sumatera Utara, Dana Tarigan. Salah satu contoh, pengrusakan Kawasan hutan Mangrove di Pesisir Langkat masih rutin terjadi hingga hari ini. Satu diantara banyak masalah tersebut dialami oleh Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Upaya rehabilitasi Mangrove oleh kelompok Tani Nipah kerap mendapat hadangan dan tantangan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menanam kelapa sawit di kawasan hutan. Bersama Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh, dan Kelompok Tani Mangrove Jaya, Langkat, Walhi Sumatera Utara juga menyampaikan bahwa di pesisir timur Sumatera Utara, alih fungsi mangrove pun kerap terjadi dan mengalihkan areal mangrove menjadi kelapa sawit meskipun areal yang dialihfungsikan adalah areal swakelola hutan yang diperuntukkan kepada kedua kelompok tersebut (Kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya) seuai dengan SK perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) 1 (satu) Stabat dan SK perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan kedua kelompok tersebut kerap mendapat intimidasi dari pengusaha (pemodal yang melakukan alih fungsi hutan mangrove). “Kami merasa sangat dirugikan, sejak 2016, sudah menghijaukan hutan, namun sekarang akhirnya dihancurkan, berbagai bantuan pemerintah atas penghijauan untuk dilakukan secara swadaya oleh masyarakat gagal. Pohon-pohon dan upaya reboisasi kami dirusakin oleh perkebunan yang tanpa izin itu. Apalagi sekarang di tengah pandemi.” Tegas Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh Kec, Tanjung Pura, Langkat. Dalam pertemuan tersebut, Anggota Komisi B DPRD Sumut Sugianto Makmur mengaku sudah memahami berbagai persoalan hutan di Sumatera Utara dan Hutan mangrove di pesisir. “Kita sudah dengar dari beberapa pihak, SK sudah keluar, namun ekseskusi nya yang belum bisa, entah kenapa. Setelah kita kelilingi, hampir semua tepian sungai dari Langkat sampai Madina, sudah dipenuhi sawit. Saya setuju kalau dibuat pansus, karena tidak ada pilihan lain. Saya sendiri menyekasikan keuntungan ekonomi yang bisa dimanfaatkan dengan selaras dengan alam. Saya pikir, kawan kawan di Walhi sudah memiliki langkah yang jauh dalam memandang lingkungan. Bicara kasus di Langkat, dimana dasar hukum yang sudah ada, namun tanpa eksekusi.” pungkasnya.[R]
Dalam kurun waktu 4 tahun yakni tahun 2014-2019 luas kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan berbagai usaha lainnya di Sumatera Utara mencapai 174,385 hektar. Perubahan ini menjadi sangat memprihatinkan karena menghancurkan perekonomian warga yang selama ini bergantung dari keberadaan hutan seperti hutan mangrove di pesisir Timur provinsi Sumatera Utara. Data ini dipaparkan oleh Walhi Sumatera Utara saat beraudiensi ke DPRD Sumatera Utara. Mereka menjelaskan selain menjadi perkebunan sawit, beberapa usaha lain yang membuat terjadinya alih fungsi hutan tersebut yakni perusahaan tambak, industri kayu dan juga arang. "Ini harus menjadi perhatian karena dampaknya akan membunuh masyarakat yang selama ini mata pencahariannya memiliki ketergantungan dengan kelestarian hutan tersebut. Seperti nelayan yang semakin kesulitan menangkap ikan karena hutan mangrove yang sudah habis sehingga ikan semakin sedikit," kata Direktur Walhi Sumatera Utara, Dana Tarigan. Salah satu contoh, pengrusakan Kawasan hutan Mangrove di Pesisir Langkat masih rutin terjadi hingga hari ini. Satu diantara banyak masalah tersebut dialami oleh Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Upaya rehabilitasi Mangrove oleh kelompok Tani Nipah kerap mendapat hadangan dan tantangan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menanam kelapa sawit di kawasan hutan. Bersama Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh, dan Kelompok Tani Mangrove Jaya, Langkat, Walhi Sumatera Utara juga menyampaikan bahwa di pesisir timur Sumatera Utara, alih fungsi mangrove pun kerap terjadi dan mengalihkan areal mangrove menjadi kelapa sawit meskipun areal yang dialihfungsikan adalah areal swakelola hutan yang diperuntukkan kepada kedua kelompok tersebut (Kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya) seuai dengan SK perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) 1 (satu) Stabat dan SK perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan kedua kelompok tersebut kerap mendapat intimidasi dari pengusaha (pemodal yang melakukan alih fungsi hutan mangrove). “Kami merasa sangat dirugikan, sejak 2016, sudah menghijaukan hutan, namun sekarang akhirnya dihancurkan, berbagai bantuan pemerintah atas penghijauan untuk dilakukan secara swadaya oleh masyarakat gagal. Pohon-pohon dan upaya reboisasi kami dirusakin oleh perkebunan yang tanpa izin itu. Apalagi sekarang di tengah pandemi.” Tegas Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh Kec, Tanjung Pura, Langkat. Dalam pertemuan tersebut, Anggota Komisi B DPRD Sumut Sugianto Makmur mengaku sudah memahami berbagai persoalan hutan di Sumatera Utara dan Hutan mangrove di pesisir. “Kita sudah dengar dari beberapa pihak, SK sudah keluar, namun ekseskusi nya yang belum bisa, entah kenapa. Setelah kita kelilingi, hampir semua tepian sungai dari Langkat sampai Madina, sudah dipenuhi sawit. Saya setuju kalau dibuat pansus, karena tidak ada pilihan lain. Saya sendiri menyekasikan keuntungan ekonomi yang bisa dimanfaatkan dengan selaras dengan alam. Saya pikir, kawan kawan di Walhi sudah memiliki langkah yang jauh dalam memandang lingkungan. Bicara kasus di Langkat, dimana dasar hukum yang sudah ada, namun tanpa eksekusi.” pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved