Dosen FISIP USU yang juga mantan komisioner KPU Sumut ini menjelaskan, semangat untuk memunculkan sosok lain diluar politisi dengan predikat tidak mengedepankan politik uang merupakan tantangan yang berat di Kota Medan. Hal ini mengingat politik transaksional sudah mengakar hingga kalangan masyarakat di \'akar rumput\'. Pun demikian ia sangat yakin hal ini dapat diminimalisir dengan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tentang buruknya akibat dari politik transaksional tersebut.
\"Mulailah dengan gelorakan diskusi diskusi dampak money politik,\" ujarnya.
Dalam perbincangan yang sama Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara, Nazir Salim Manik mengatakan dirinya sangat setuju kalangan akademisi muncul dalam Pilkada. Dalam beberapa persoalan kepemimpinan dan juga gagasan untuk kemajuan, kalangan akademisi menurutnya terbukti memiliki gagasan dan ide-ide yang baik dalam menata pemerintahan.
\"Setuju sekali, tapi akademisi jangan juga sampai ikut-ikutan money politik,\" ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz yang menimpali perbincangan tersebut mengatakan wacana untuk mendorong sosok dari kalangan akademisi ikut bertarung dalam Pilkada Bupati/Walikota merupakan hal yang sangat wajar muncul. Hal ini tidak terlepas dari munculnya beberapa kepala daerah dari kalangan akademisi yang memenangkan pilkada dan hal tersebut dianggap sebagai bentuk terobosan baru dalam agenda pilkada yang biasanya didominasi oleh para politisi. Akan tetapi kata Muhri soal ambisi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa ambisi hanya untuk meraih kekuasaan tidak ada pada sosok dari kalangan akademisi.
\"Kadang akademisi tidak berani melawan money politics. Bahkan ambisi akademisi kadang lebih \'berbahaya\' dari politisi,\" sebutnya
Pernyataan ini langsung ditimpali kembali oleh Bengkel Ginting. Menurutnya semangat untuk melawan politik uang sepenuhnya harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat.
\"Kalau dobrakan tidak mulai dari civil siciety, Medan tetap akan dipimpin oleh walikota 3 tahun asik mengembalikan ongkos politiknya. Tahun ke empat dan ke lima mulai konsolidasi pemilu dan pilkada selanjutnya. Akibatnya tak ada inovasi dan terjebak rutinitas,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Dosen FISIP USU yang juga mantan komisioner KPU Sumut ini menjelaskan, semangat untuk memunculkan sosok lain diluar politisi dengan predikat tidak mengedepankan politik uang merupakan tantangan yang berat di Kota Medan. Hal ini mengingat politik transaksional sudah mengakar hingga kalangan masyarakat di \'akar rumput\'. Pun demikian ia sangat yakin hal ini dapat diminimalisir dengan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tentang buruknya akibat dari politik transaksional tersebut.
\"Mulailah dengan gelorakan diskusi diskusi dampak money politik,\" ujarnya.
Dalam perbincangan yang sama Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara, Nazir Salim Manik mengatakan dirinya sangat setuju kalangan akademisi muncul dalam Pilkada. Dalam beberapa persoalan kepemimpinan dan juga gagasan untuk kemajuan, kalangan akademisi menurutnya terbukti memiliki gagasan dan ide-ide yang baik dalam menata pemerintahan.
\"Setuju sekali, tapi akademisi jangan juga sampai ikut-ikutan money politik,\" ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz yang menimpali perbincangan tersebut mengatakan wacana untuk mendorong sosok dari kalangan akademisi ikut bertarung dalam Pilkada Bupati/Walikota merupakan hal yang sangat wajar muncul. Hal ini tidak terlepas dari munculnya beberapa kepala daerah dari kalangan akademisi yang memenangkan pilkada dan hal tersebut dianggap sebagai bentuk terobosan baru dalam agenda pilkada yang biasanya didominasi oleh para politisi. Akan tetapi kata Muhri soal ambisi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa ambisi hanya untuk meraih kekuasaan tidak ada pada sosok dari kalangan akademisi.
\"Kadang akademisi tidak berani melawan money politics. Bahkan ambisi akademisi kadang lebih \'berbahaya\' dari politisi,\" sebutnya
Pernyataan ini langsung ditimpali kembali oleh Bengkel Ginting. Menurutnya semangat untuk melawan politik uang sepenuhnya harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat.
\"Kalau dobrakan tidak mulai dari civil siciety, Medan tetap akan dipimpin oleh walikota 3 tahun asik mengembalikan ongkos politiknya. Tahun ke empat dan ke lima mulai konsolidasi pemilu dan pilkada selanjutnya. Akibatnya tak ada inovasi dan terjebak rutinitas,\" pungkasnya."/>
Dosen FISIP USU yang juga mantan komisioner KPU Sumut ini menjelaskan, semangat untuk memunculkan sosok lain diluar politisi dengan predikat tidak mengedepankan politik uang merupakan tantangan yang berat di Kota Medan. Hal ini mengingat politik transaksional sudah mengakar hingga kalangan masyarakat di \'akar rumput\'. Pun demikian ia sangat yakin hal ini dapat diminimalisir dengan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tentang buruknya akibat dari politik transaksional tersebut.
\"Mulailah dengan gelorakan diskusi diskusi dampak money politik,\" ujarnya.
Dalam perbincangan yang sama Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara, Nazir Salim Manik mengatakan dirinya sangat setuju kalangan akademisi muncul dalam Pilkada. Dalam beberapa persoalan kepemimpinan dan juga gagasan untuk kemajuan, kalangan akademisi menurutnya terbukti memiliki gagasan dan ide-ide yang baik dalam menata pemerintahan.
\"Setuju sekali, tapi akademisi jangan juga sampai ikut-ikutan money politik,\" ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz yang menimpali perbincangan tersebut mengatakan wacana untuk mendorong sosok dari kalangan akademisi ikut bertarung dalam Pilkada Bupati/Walikota merupakan hal yang sangat wajar muncul. Hal ini tidak terlepas dari munculnya beberapa kepala daerah dari kalangan akademisi yang memenangkan pilkada dan hal tersebut dianggap sebagai bentuk terobosan baru dalam agenda pilkada yang biasanya didominasi oleh para politisi. Akan tetapi kata Muhri soal ambisi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa ambisi hanya untuk meraih kekuasaan tidak ada pada sosok dari kalangan akademisi.
\"Kadang akademisi tidak berani melawan money politics. Bahkan ambisi akademisi kadang lebih \'berbahaya\' dari politisi,\" sebutnya
Pernyataan ini langsung ditimpali kembali oleh Bengkel Ginting. Menurutnya semangat untuk melawan politik uang sepenuhnya harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat.
\"Kalau dobrakan tidak mulai dari civil siciety, Medan tetap akan dipimpin oleh walikota 3 tahun asik mengembalikan ongkos politiknya. Tahun ke empat dan ke lima mulai konsolidasi pemilu dan pilkada selanjutnya. Akibatnya tak ada inovasi dan terjebak rutinitas,\" pungkasnya."/>
Pemerhati politik, Bengkel Ginting mengatakan masyarakat secara luas harus didorong untuk dapat memenangkan calon walikota Medan yang memiliki cost politik (biaya politik) yang terbilang dalam tahapan wajar. Hal ini disampaikannya menyikapi berbagai wacana untuk memunculkan kalangan lain selain politisi untuk bertarung di Pilkada Medan 2020.
Menurut Ginting, wacana untuk memunculkan sosok lain diluar politisi untuk bertarung pada Pilkada menjadi alternatif yang sangat baik dengan patokan bahwa munculnya kalangan tersebut harus tetap menghindarkan Pilkada dari aksi politik uang.
"Mungkinkah medan dipimpin akademisi tanpa money politic seperti Sumbar, Sulsel dan Sulut? Jawabnya hanya parpol yang tahu. Yang jelas harus kita menangkan walikota dengan cost politic yg wajar baru ada terobosan," katanya dalam bincang-bincang sesama pemerhati politik pada salah satu wa grup, Minggu (14/7/2019).
Dosen FISIP USU yang juga mantan komisioner KPU Sumut ini menjelaskan, semangat untuk memunculkan sosok lain diluar politisi dengan predikat tidak mengedepankan politik uang merupakan tantangan yang berat di Kota Medan. Hal ini mengingat politik transaksional sudah mengakar hingga kalangan masyarakat di 'akar rumput'. Pun demikian ia sangat yakin hal ini dapat diminimalisir dengan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tentang buruknya akibat dari politik transaksional tersebut.
"Mulailah dengan gelorakan diskusi diskusi dampak money politik," ujarnya.
Dalam perbincangan yang sama Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara, Nazir Salim Manik mengatakan dirinya sangat setuju kalangan akademisi muncul dalam Pilkada. Dalam beberapa persoalan kepemimpinan dan juga gagasan untuk kemajuan, kalangan akademisi menurutnya terbukti memiliki gagasan dan ide-ide yang baik dalam menata pemerintahan.
"Setuju sekali, tapi akademisi jangan juga sampai ikut-ikutan money politik," ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz yang menimpali perbincangan tersebut mengatakan wacana untuk mendorong sosok dari kalangan akademisi ikut bertarung dalam Pilkada Bupati/Walikota merupakan hal yang sangat wajar muncul. Hal ini tidak terlepas dari munculnya beberapa kepala daerah dari kalangan akademisi yang memenangkan pilkada dan hal tersebut dianggap sebagai bentuk terobosan baru dalam agenda pilkada yang biasanya didominasi oleh para politisi. Akan tetapi kata Muhri soal ambisi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa ambisi hanya untuk meraih kekuasaan tidak ada pada sosok dari kalangan akademisi.
"Kadang akademisi tidak berani melawan money politics. Bahkan ambisi akademisi kadang lebih 'berbahaya' dari politisi," sebutnya
Pernyataan ini langsung ditimpali kembali oleh Bengkel Ginting. Menurutnya semangat untuk melawan politik uang sepenuhnya harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat.
"Kalau dobrakan tidak mulai dari civil siciety, Medan tetap akan dipimpin oleh walikota 3 tahun asik mengembalikan ongkos politiknya. Tahun ke empat dan ke lima mulai konsolidasi pemilu dan pilkada selanjutnya. Akibatnya tak ada inovasi dan terjebak rutinitas," pungkasnya.
Pemerhati politik, Bengkel Ginting mengatakan masyarakat secara luas harus didorong untuk dapat memenangkan calon walikota Medan yang memiliki cost politik (biaya politik) yang terbilang dalam tahapan wajar. Hal ini disampaikannya menyikapi berbagai wacana untuk memunculkan kalangan lain selain politisi untuk bertarung di Pilkada Medan 2020.
Menurut Ginting, wacana untuk memunculkan sosok lain diluar politisi untuk bertarung pada Pilkada menjadi alternatif yang sangat baik dengan patokan bahwa munculnya kalangan tersebut harus tetap menghindarkan Pilkada dari aksi politik uang.
"Mungkinkah medan dipimpin akademisi tanpa money politic seperti Sumbar, Sulsel dan Sulut? Jawabnya hanya parpol yang tahu. Yang jelas harus kita menangkan walikota dengan cost politic yg wajar baru ada terobosan," katanya dalam bincang-bincang sesama pemerhati politik pada salah satu wa grup, Minggu (14/7/2019).
Dosen FISIP USU yang juga mantan komisioner KPU Sumut ini menjelaskan, semangat untuk memunculkan sosok lain diluar politisi dengan predikat tidak mengedepankan politik uang merupakan tantangan yang berat di Kota Medan. Hal ini mengingat politik transaksional sudah mengakar hingga kalangan masyarakat di 'akar rumput'. Pun demikian ia sangat yakin hal ini dapat diminimalisir dengan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tentang buruknya akibat dari politik transaksional tersebut.
"Mulailah dengan gelorakan diskusi diskusi dampak money politik," ujarnya.
Dalam perbincangan yang sama Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara, Nazir Salim Manik mengatakan dirinya sangat setuju kalangan akademisi muncul dalam Pilkada. Dalam beberapa persoalan kepemimpinan dan juga gagasan untuk kemajuan, kalangan akademisi menurutnya terbukti memiliki gagasan dan ide-ide yang baik dalam menata pemerintahan.
"Setuju sekali, tapi akademisi jangan juga sampai ikut-ikutan money politik," ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz yang menimpali perbincangan tersebut mengatakan wacana untuk mendorong sosok dari kalangan akademisi ikut bertarung dalam Pilkada Bupati/Walikota merupakan hal yang sangat wajar muncul. Hal ini tidak terlepas dari munculnya beberapa kepala daerah dari kalangan akademisi yang memenangkan pilkada dan hal tersebut dianggap sebagai bentuk terobosan baru dalam agenda pilkada yang biasanya didominasi oleh para politisi. Akan tetapi kata Muhri soal ambisi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa ambisi hanya untuk meraih kekuasaan tidak ada pada sosok dari kalangan akademisi.
"Kadang akademisi tidak berani melawan money politics. Bahkan ambisi akademisi kadang lebih 'berbahaya' dari politisi," sebutnya
Pernyataan ini langsung ditimpali kembali oleh Bengkel Ginting. Menurutnya semangat untuk melawan politik uang sepenuhnya harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat.
"Kalau dobrakan tidak mulai dari civil siciety, Medan tetap akan dipimpin oleh walikota 3 tahun asik mengembalikan ongkos politiknya. Tahun ke empat dan ke lima mulai konsolidasi pemilu dan pilkada selanjutnya. Akibatnya tak ada inovasi dan terjebak rutinitas," pungkasnya.