Oleh : Dadang Darmawan (Ketua Pelaksana Gerakan Pembumian Pancasila (GPP DPD) Sumatera Utara)
" itemprop="description"/>Oleh : Dadang Darmawan (Ketua Pelaksana Gerakan Pembumian Pancasila (GPP DPD) Sumatera Utara)
"/>Oleh : Dadang Darmawan (Ketua Pelaksana Gerakan Pembumian Pancasila (GPP DPD) Sumatera Utara)
"/>
Tidak berlebihan jika pada bulan Juni ditetapkan sebagai bulannya Bung Karno. Tiga peristiwa sakral terkait Bung Karno terjadi pada bulan Juni. Pertama, Bung Karno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Kedua, Bung Karno wafat 21 Juni 1970 di Jakarta. Ketiga, yang luar biasa, Bung Karno pidato di depan Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 tentang penting adanya lima pondasi dasar Negara Indonesia yang akan Merdeka, yang ia namakan Pancasila, yang kelak ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.
Perjuangan Bung Karno
Kelahiran Bung Karno 6 Juni 1901 dan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, jelas memiliki hubungan historis dan sekaligus ideologis serta praktis. Bung Karno lahir tepat di tengah gelora api perjuangan melawan kolonialisme mulai menguat. Praktis secara alamiah dalam setiap kesempatan selama masa berpendidikan, ia bertemu dengan banyak tokoh sekaligus guru politik yang membimbingnya. Ia sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya sepanjang 1915-1920, dan indekos di rumah HOS Tjokroaminoto yang kerap dikunjungi Agus Salim, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Sneevliet, Semaun dan tokoh-tokoh pergerakan. Selama masa sekolah ia bergabung pada organisasi Tri Koro Dharmo 1916, yang kelak menjadi Jong Java tahun 1918.
Semasa kuliah di Technische Hogeschool Bandung tahun 1921-1926 akivitas pertemuannya dengan banyak tokoh politik semakin intens dan aktivitas penentangannya melawan penjajahan Belanda semakin menguat. Tahun 1922 untuk pertama sekali Ia sudah menunjukkan kemampuan berpidatonya yang memukau dan menghentak, dengan mengecam Belanda pada rapat radicale concentratie yang diadakan oleh organisasi/partai setempat dalam membela hak-hak pribumi yang tertindas. Wajar jika pasca tamat dari TH Bandung 1926 sebagai insinyur, Bung Karno justru lebih memilih “mengarsiteki” Indonesia Merdeka.
Bersama teman-temannya Bung Karno mendirikan PNI tahun 1927, dan mempertegas perjuangan kemerdekaan Indonesia lepas dari Belanda pada kongres pertama PNI 1928. Sejak itu Bung Karno menjadi “target” Belanda. Ia ditangkap di Jogjakarta saat berorasi tahun 1929, dan dibawa ke Penjara Banceuy Bandung menunggu pengadilan. Justru di pengadilan Bandunglah Bung Karno menggelorakan kemerdekaan melalui pembelaannya yang ia beri judul “Indonesia Menggugat” yang mengantarkannya ke penjara Sukamiskin.
Ia kemudian dilepaskan Belanda Desember 1931. Ia cepat kembali berpolitik, dan cepat pula kembali ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) 1934 hingga 1938. Di tengah penderitaanya selama pengasingan di Ende, dan atas protes teman-temannya di Volksraad, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu tahun 1938 hingga tahun 1942. Bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II, di mana Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda, Bung Karno kembali masuk ke Jakarta 1942 hingga memproklamirkan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.
Pendeknya Bung Karno, jelas adalah sosok pejuang yang pantas diteladani yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Indonesia Merdeka. Kesetiaan, pengorbanan, dan kegigihannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia telah menginspirasi banyak pejuang kemerdekaan. Bung Karno sosok pejuang yang lengkap, ia bukan hanya memahami strategi dan taktik untuk merdeka, melainkan ia juga membawa gagasan ideologis bagi dasar kemerdekaan Indonesia yaitu Pancasila.
Hanya di atas dasar itulah menurut Bung Karno Indonesia Merdeka pantas untuk didirikan. Ia bermimpi suatu Negara yang kelak semua kebijakannya dipersembahkan buat semua, bukan buat satu orang dan bukan buat satu golongan. Melainkan semua buat semua !!!
Bung Karno dan Warisannya
Di tengah-tengah pertarungan ideologi di dunia yang keras, yang turut menggoyang politik nasional, disertai menguatnya kekuatan militer di Indonesia, Bung Karno “dilengserkan” tahun 1967 sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk selanjutnya kekuasaan diserahan kepada Jenderal Soeharto. Hingga akhirnya Bung Karno wafat 21 Juni 1970 di Jakarta, di tengah-tengah kekuasaan Orde Baru yang militeristik. Setelahnya, setiap tahun pada setiap bulan Juni, rakyat Indonesia memperingati hari kelahirannya, mengenang jasa dan perjuangannya.
Salah satu warisan Bung Karno dan para pendiri bangsa yang luar biasa bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah ditetapkannya lima sila (dasar), yang berisi lima nilai-nilai luhur yang agung yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Musyawarah dan Keadilan yang kemudian disebut Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni sebagai Pancasila, yang menjadi dasar negara. Atas dasar pidato tersebutlah, hari lahir Pancasila ditetapkan tanggal 1 Juni 1945 yang kelak coba dikaburkan oleh Orde Baru menjadi 18 Agustus 1945.
Dengan lahirnya Pancasila maka bangsa Indonesia benar-benar siap menyongsong kemerdekaannya. Sebabnya, dengan nilai-nilai luhur yang termaktub di dalam Pancasila tersebut, Pancasila telah menjadi consensus bersama yang menjadi perekat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang nyata-nyata majemuk. Pancasila menjadi penuntun laksana bintang di langit dalam mewujudkan Indonesia yang medeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Namun demikian, Pancasila tidak hidup di ruang hampa, Pancasila hidup ditengah-tengah dinamika kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang dinamis. Baik secara internal dan eksternal, tekanan untuk “menumpas” dan “mematikan” nilai-nilai Pancasila tak pernah sepi dilakukan. Secara eksternal ideologi besar dunia seperti Liberalisme, Komunisme hingga Fundamentalisme Islam (transnasional) semakin menguat, berbenturan, berebut pengaruh satu dengan yang lain yang jelas-jelas mendesak dan menjadi ancaman bagi Pancasila.
Sementara secara internal, munculnya identitas kelompok yang berbasis Suku, Agama dan Ras serta Golongan semakin mengaburkan nilai-nilai Pancasila. Belum lagi diperparah oleh tafsir Negara atas Pancasila yang senantiasa bersifat “formalistik”, yang semakin membuat Pancasila semakin jauh untuk dipahami esensinya apalagi dipraktekkan.
Kita sadar betul, bahwa membangun nilai-nilai luhur sehingga tumbuh dan bersemi dalam sanubari bangsa sehingga menjadi gerak realitas dalam setiap kebijakan jelas tidak mudah dan bukan pekerjaan satu, dua atau sepuluh tahun. Melainkan suatu pekerjaan yang sangat panjang, hingga benar-benar meresap dalam kesadaran bangsa Indonesia. Kita sadar betul, bahwa hanya dengan ideologi Pancasilalah, bangsa Indonesia menjadi kuat sebagaimana kata Bung Karno, “a nation without faith can not stand”, bahwa tanpa ideologi suatu bangsa pasti akan hancur.
Karenanya, kita sadar membutuhkan banyak pihak yang tampil menjadi penjelas, penerang dan penuntun kepada rakyat dalam “menghunjamkan” nilai-nilai Pancasila ke dalam sanubari bangsa Indonesia. Terlebih-lebih di tengah-tengah banyaknya upaya “menyelewengkan” dan menegasikan nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila. Sudah fakta sejarah jika Pancasila tak sepi dari kritik tajam dan penentangan. Namun dengan penjelasan dan pemahaman yang arif dan bijaksana Pancasila mestinya dapat dipahami secara terang dan bermakna, hingga bisa dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata.
Terkait pentingnya penjelasan dan pemahaman atas Pancasila, ada yang menarik untuk kita ingat dari Bung karno.
Pada masa itu seorang pemuka agama mengkritik keras pemikiran Pancasilais yang merupakan hasil penggalian Bung Karno atas kehidupan bangsa Indonesia. Ia mengatakan bahwa Bung Karno jelas “kurang dalam” ketika menggali nilai-nilai luhur tersebut. Sebab kalau mendalam, maka Bung Karno akan menemukan “Islam” sebagai dasar bagi bangsa Indonesia bukan Pancasila.
Namun Bung Karno menjelaskan, bahwa ia telah menggali nilai-nilai luhur “sangat dalam”. Bahkan hingga menembus pengaruh Hindhu yang ada di Indonesia. Ia telah menyelami dasar mutiara nilai luhur yang hidup itu, jauh sebelum agama-agama masuk ke Nusantara.
Di dasar itulah Bung Karno menemukan nilai-nilai luhur Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Musyawarah, Keadilan yang sesungguhnya telah hidup dalam pergaulan bangsa Nusantra ribuan tahun yang silam. Nilai-nilai luhur tersebut tentu saja tidak ada satupun yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam semua agama.
Sudah fitrahnya jika semua nilai luhur sesungguhnya adalah universal, tidak berbaju dan tidak terkotak-kotak menjadi milik sekelompok orang. Karenanya menurut Bung Karno kita menghidupkan Pancasila bukan untuk kita semata, melainkan untuk dunia.
Dalam pidatonya di PBB yang berjudul “to build the world a new” dengan yakin Bung Karno menjelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila sangat pantas menjadi acuan dalam membangun dunia baru di masa depan.
Pancasila dengan demikian adalah suatu warisan berharga yang sangat penting bagi bangsa Indonesia juga bagi dunia. Karenanya dengan mengingat “kelahiran” Bung Karno pada tanggal 6 Juni 1901, kita semestinya kembali mengingat, merenungi dan menghidupkan kembali “esensi” nilai-nilai Pamcasila yang penuh dengan keluhuran tersebut dalam setiap jiwa bangsa Indonesia. Sehingga kita tidak serta merta terjebak pada acara ritualis setiap tahunnya.
Sehingga dengan mengingat kelahirannya kelak kita benar-benar mewarisi “apinya”, yaitu esensi yang menyala yang hidup menggelora dalam nilai-nilai luhur Pancasila, bukan sekedar mewarisi “debunya”, sekedar gelora acaranya, kegiatannya, dan hingar bingarnya yang jauh dari maknawinya.[R]
Oleh : Dadang Darmawan (Ketua Pelaksana Gerakan Pembumian Pancasila (GPP DPD) Sumatera Utara)
Tidak berlebihan jika pada bulan Juni ditetapkan sebagai bulannya Bung Karno. Tiga peristiwa sakral terkait Bung Karno terjadi pada bulan Juni. Pertama, Bung Karno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Kedua, Bung Karno wafat 21 Juni 1970 di Jakarta. Ketiga, yang luar biasa, Bung Karno pidato di depan Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 tentang penting adanya lima pondasi dasar Negara Indonesia yang akan Merdeka, yang ia namakan Pancasila, yang kelak ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.
Perjuangan Bung Karno
Kelahiran Bung Karno 6 Juni 1901 dan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, jelas memiliki hubungan historis dan sekaligus ideologis serta praktis. Bung Karno lahir tepat di tengah gelora api perjuangan melawan kolonialisme mulai menguat. Praktis secara alamiah dalam setiap kesempatan selama masa berpendidikan, ia bertemu dengan banyak tokoh sekaligus guru politik yang membimbingnya. Ia sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya sepanjang 1915-1920, dan indekos di rumah HOS Tjokroaminoto yang kerap dikunjungi Agus Salim, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Sneevliet, Semaun dan tokoh-tokoh pergerakan. Selama masa sekolah ia bergabung pada organisasi Tri Koro Dharmo 1916, yang kelak menjadi Jong Java tahun 1918.
Semasa kuliah di Technische Hogeschool Bandung tahun 1921-1926 akivitas pertemuannya dengan banyak tokoh politik semakin intens dan aktivitas penentangannya melawan penjajahan Belanda semakin menguat. Tahun 1922 untuk pertama sekali Ia sudah menunjukkan kemampuan berpidatonya yang memukau dan menghentak, dengan mengecam Belanda pada rapat radicale concentratie yang diadakan oleh organisasi/partai setempat dalam membela hak-hak pribumi yang tertindas. Wajar jika pasca tamat dari TH Bandung 1926 sebagai insinyur, Bung Karno justru lebih memilih “mengarsiteki” Indonesia Merdeka.
Bersama teman-temannya Bung Karno mendirikan PNI tahun 1927, dan mempertegas perjuangan kemerdekaan Indonesia lepas dari Belanda pada kongres pertama PNI 1928. Sejak itu Bung Karno menjadi “target” Belanda. Ia ditangkap di Jogjakarta saat berorasi tahun 1929, dan dibawa ke Penjara Banceuy Bandung menunggu pengadilan. Justru di pengadilan Bandunglah Bung Karno menggelorakan kemerdekaan melalui pembelaannya yang ia beri judul “Indonesia Menggugat” yang mengantarkannya ke penjara Sukamiskin.
Ia kemudian dilepaskan Belanda Desember 1931. Ia cepat kembali berpolitik, dan cepat pula kembali ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) 1934 hingga 1938. Di tengah penderitaanya selama pengasingan di Ende, dan atas protes teman-temannya di Volksraad, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu tahun 1938 hingga tahun 1942. Bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II, di mana Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda, Bung Karno kembali masuk ke Jakarta 1942 hingga memproklamirkan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.
Pendeknya Bung Karno, jelas adalah sosok pejuang yang pantas diteladani yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Indonesia Merdeka. Kesetiaan, pengorbanan, dan kegigihannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia telah menginspirasi banyak pejuang kemerdekaan. Bung Karno sosok pejuang yang lengkap, ia bukan hanya memahami strategi dan taktik untuk merdeka, melainkan ia juga membawa gagasan ideologis bagi dasar kemerdekaan Indonesia yaitu Pancasila.
Hanya di atas dasar itulah menurut Bung Karno Indonesia Merdeka pantas untuk didirikan. Ia bermimpi suatu Negara yang kelak semua kebijakannya dipersembahkan buat semua, bukan buat satu orang dan bukan buat satu golongan. Melainkan semua buat semua !!!
Bung Karno dan Warisannya
Di tengah-tengah pertarungan ideologi di dunia yang keras, yang turut menggoyang politik nasional, disertai menguatnya kekuatan militer di Indonesia, Bung Karno “dilengserkan” tahun 1967 sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk selanjutnya kekuasaan diserahan kepada Jenderal Soeharto. Hingga akhirnya Bung Karno wafat 21 Juni 1970 di Jakarta, di tengah-tengah kekuasaan Orde Baru yang militeristik. Setelahnya, setiap tahun pada setiap bulan Juni, rakyat Indonesia memperingati hari kelahirannya, mengenang jasa dan perjuangannya.
Salah satu warisan Bung Karno dan para pendiri bangsa yang luar biasa bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah ditetapkannya lima sila (dasar), yang berisi lima nilai-nilai luhur yang agung yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Musyawarah dan Keadilan yang kemudian disebut Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni sebagai Pancasila, yang menjadi dasar negara. Atas dasar pidato tersebutlah, hari lahir Pancasila ditetapkan tanggal 1 Juni 1945 yang kelak coba dikaburkan oleh Orde Baru menjadi 18 Agustus 1945.
Dengan lahirnya Pancasila maka bangsa Indonesia benar-benar siap menyongsong kemerdekaannya. Sebabnya, dengan nilai-nilai luhur yang termaktub di dalam Pancasila tersebut, Pancasila telah menjadi consensus bersama yang menjadi perekat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang nyata-nyata majemuk. Pancasila menjadi penuntun laksana bintang di langit dalam mewujudkan Indonesia yang medeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Namun demikian, Pancasila tidak hidup di ruang hampa, Pancasila hidup ditengah-tengah dinamika kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang dinamis. Baik secara internal dan eksternal, tekanan untuk “menumpas” dan “mematikan” nilai-nilai Pancasila tak pernah sepi dilakukan. Secara eksternal ideologi besar dunia seperti Liberalisme, Komunisme hingga Fundamentalisme Islam (transnasional) semakin menguat, berbenturan, berebut pengaruh satu dengan yang lain yang jelas-jelas mendesak dan menjadi ancaman bagi Pancasila.
Sementara secara internal, munculnya identitas kelompok yang berbasis Suku, Agama dan Ras serta Golongan semakin mengaburkan nilai-nilai Pancasila. Belum lagi diperparah oleh tafsir Negara atas Pancasila yang senantiasa bersifat “formalistik”, yang semakin membuat Pancasila semakin jauh untuk dipahami esensinya apalagi dipraktekkan.
Kita sadar betul, bahwa membangun nilai-nilai luhur sehingga tumbuh dan bersemi dalam sanubari bangsa sehingga menjadi gerak realitas dalam setiap kebijakan jelas tidak mudah dan bukan pekerjaan satu, dua atau sepuluh tahun. Melainkan suatu pekerjaan yang sangat panjang, hingga benar-benar meresap dalam kesadaran bangsa Indonesia. Kita sadar betul, bahwa hanya dengan ideologi Pancasilalah, bangsa Indonesia menjadi kuat sebagaimana kata Bung Karno, “a nation without faith can not stand”, bahwa tanpa ideologi suatu bangsa pasti akan hancur.
Karenanya, kita sadar membutuhkan banyak pihak yang tampil menjadi penjelas, penerang dan penuntun kepada rakyat dalam “menghunjamkan” nilai-nilai Pancasila ke dalam sanubari bangsa Indonesia. Terlebih-lebih di tengah-tengah banyaknya upaya “menyelewengkan” dan menegasikan nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila. Sudah fakta sejarah jika Pancasila tak sepi dari kritik tajam dan penentangan. Namun dengan penjelasan dan pemahaman yang arif dan bijaksana Pancasila mestinya dapat dipahami secara terang dan bermakna, hingga bisa dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata.
Terkait pentingnya penjelasan dan pemahaman atas Pancasila, ada yang menarik untuk kita ingat dari Bung karno.
Pada masa itu seorang pemuka agama mengkritik keras pemikiran Pancasilais yang merupakan hasil penggalian Bung Karno atas kehidupan bangsa Indonesia. Ia mengatakan bahwa Bung Karno jelas “kurang dalam” ketika menggali nilai-nilai luhur tersebut. Sebab kalau mendalam, maka Bung Karno akan menemukan “Islam” sebagai dasar bagi bangsa Indonesia bukan Pancasila.
Namun Bung Karno menjelaskan, bahwa ia telah menggali nilai-nilai luhur “sangat dalam”. Bahkan hingga menembus pengaruh Hindhu yang ada di Indonesia. Ia telah menyelami dasar mutiara nilai luhur yang hidup itu, jauh sebelum agama-agama masuk ke Nusantara.
Di dasar itulah Bung Karno menemukan nilai-nilai luhur Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Musyawarah, Keadilan yang sesungguhnya telah hidup dalam pergaulan bangsa Nusantra ribuan tahun yang silam. Nilai-nilai luhur tersebut tentu saja tidak ada satupun yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam semua agama.
Sudah fitrahnya jika semua nilai luhur sesungguhnya adalah universal, tidak berbaju dan tidak terkotak-kotak menjadi milik sekelompok orang. Karenanya menurut Bung Karno kita menghidupkan Pancasila bukan untuk kita semata, melainkan untuk dunia.
Dalam pidatonya di PBB yang berjudul “to build the world a new” dengan yakin Bung Karno menjelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila sangat pantas menjadi acuan dalam membangun dunia baru di masa depan.
Pancasila dengan demikian adalah suatu warisan berharga yang sangat penting bagi bangsa Indonesia juga bagi dunia. Karenanya dengan mengingat “kelahiran” Bung Karno pada tanggal 6 Juni 1901, kita semestinya kembali mengingat, merenungi dan menghidupkan kembali “esensi” nilai-nilai Pamcasila yang penuh dengan keluhuran tersebut dalam setiap jiwa bangsa Indonesia. Sehingga kita tidak serta merta terjebak pada acara ritualis setiap tahunnya.
Sehingga dengan mengingat kelahirannya kelak kita benar-benar mewarisi “apinya”, yaitu esensi yang menyala yang hidup menggelora dalam nilai-nilai luhur Pancasila, bukan sekedar mewarisi “debunya”, sekedar gelora acaranya, kegiatannya, dan hingar bingarnya yang jauh dari maknawinya.
Oleh : Dadang Darmawan (Ketua Pelaksana Gerakan Pembumian Pancasila (GPP DPD) Sumatera Utara)
© Copyright 2024, All Rights Reserved