Sejumlah warga yang tinggal di kawasan daerah pinggir rel (‘DPR’), mengaku terkejut atas datangnya surat dari PT KAI Regional I Sumut yang meminta pembongkaran hunian di atas lahan milik negara dalam tempo satu pekan. Hal ini dinilai mengabaikan pesan Gubernur Sumut yang meminta agar setiap proses dilakukan dengan cara yang humanis. Seorang warga yang tinggal di kawasan pinggir rel Medan-Binjai, Balen menyebutkan bahwa masyarakat menerima surat peringatan dari PT KAI Regional I Sumut terkait permintaan kepada penduduk untuk pembongkaran sendiri bangunan yang berdiri di lahan sekitar rel kereta api. Dalam surat tersebut, mereka diberi waktu sepekan untuk membongkar bangunan rumah. “Kita mengakui bahwa itu adalah lahan milik PT KAI, dan memang harus siap dengan segala resikonya bila sewaktu-waktu akan dibongkar dan digusur. Tetapi kalau waktunya hanya seminggu, tentu ini bukan sebentar. Sementara kita harus memikirkan mau pindah kemana dalam waktu 7 hari,” ujar Balen kepada wartawan, Rabu (22/7). Menurutnya sikap PT KAI Regional I Sumut tidak mencerminkan rasa kemanusiaan, mengingat saat ini kondisi pandemi Korona (Covid-19), sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. Apalagi mereka yang tinggal di kawasan pinggir rel, yang secara umum adalah warga kelas menengah ke bawah. “Kenapa dalam kondisi sekarang ini sedang sulit, PT KAI memberikan peringatan seperti ini dalam tempo yang singkat harus kita lakukan pembongkaran rumah,” katanya yang menyebutkan batas waktu pembongkaran hingga 27 Juli 2020. Sementara pengamat sosial pembangunan, A Riza Siregar menilai bahwa langkah yang dilakukan PT KAI sangat tidak populis. Sebab saat ini masyarakat sedang dalam kesulitan karena dampak wabah Covid-19 dan ia tidak melihat ada rencana pembangunan dalam waktu dekat oleh PT KAI di areal tersebut. Ditambah lagi surat permintaan pembongkaran sendiri itu, tidak mencerminkan rasa kemanusiaan seperti pesan yang pernah disampaikan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi terkait prinsip penertiban, beberapa waktu lalu untuk lahan PT KAI di kawasan Delitua. “Gubernur Sumatera Utara, Bapak Edy Rahmayadi pernah menyampaikan bahwa dalam mengambil langkah, PT KAI harus merencanakan dengan matang, sehingga tidak menjadi masalah besar mengarah pada konflik sosial. Bahkan kita menilai, PT KAI mengambil celah dari dukungan Gubernur terhadap renana tevitalisasi lahan mereka di kawasan bekas pasar di Delitua, melihat dari tanggalnya,” jelas Riza. Bahkan menurutnya PT KAI seperti tidak mengindahkan pesan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tentang bagaimana skema pemindahan atau penertiban yang pada prinsipnya berlaku umum mengingat banyaknya lahan PT KAI yang sekarang ditempati warga. Hal itu disampaikannya berdasarkan berita di berbagai media pada 9 Juli 2020 lalu. Bahwa Gubernur memaklumi jika PT KAI ingin menertibkan lahannya merupakn hak dan kewajiban masyarakat untuk mematuhinya. Namun sebelum eksekusi, mantan Pangkostrad itu pun mengingatkan perlunya perencanaan dalam waktu yang terukur serta pembentukan tim terpadu serta cipta kondisi. “Jangan sampai ada masalah lagi. Namun saya ingatkan, setiap mengambil langkah, lakukan dengan cara yang humanis. Pesan ini harusnya diindahkan PT KAI,” kata Riza Siregar membacakan berita yang pernah dimuat di media. Berdasarkan data yang disampaikan warga, surat pemberitahuanpenertiban ditandatangai Vice President Divre I Sumut (PT KAI), Johannes Daniel Hutabarat. Isinya antara lain telah melakukan pendataan dan sosialisasi pada 11-13 Juli 2020, atau dua hari setelah pertemuan bersama Gubernur di Delitua. Kalimat selanjutnya adalah, pendataan dan sosialisasi dilakukan tim dari internal perkeretaapian (PT KAI) sendiri. Surat tertanggal 20 Juli 2020 itu hanya ditembuskan kepada Pemko Medan dan jajarannya hingga tingkat lingkungan serta Polrestabes Medan dan Polsek setempat. “Kita meminta PT KAI lebih manusiawi dan melakukan pendekatan yang baik kepada masyarakat. Sebab kalau begini, tidak ada gunanya pesan Gubernur. Karena kalimat (Gubernur) itu, pada prinsipnya berlaku untuk tempat yang lain,” pungkas Riza.[R]
Sejumlah warga yang tinggal di kawasan daerah pinggir rel (‘DPR’), mengaku terkejut atas datangnya surat dari PT KAI Regional I Sumut yang meminta pembongkaran hunian di atas lahan milik negara dalam tempo satu pekan. Hal ini dinilai mengabaikan pesan Gubernur Sumut yang meminta agar setiap proses dilakukan dengan cara yang humanis. Seorang warga yang tinggal di kawasan pinggir rel Medan-Binjai, Balen menyebutkan bahwa masyarakat menerima surat peringatan dari PT KAI Regional I Sumut terkait permintaan kepada penduduk untuk pembongkaran sendiri bangunan yang berdiri di lahan sekitar rel kereta api. Dalam surat tersebut, mereka diberi waktu sepekan untuk membongkar bangunan rumah. “Kita mengakui bahwa itu adalah lahan milik PT KAI, dan memang harus siap dengan segala resikonya bila sewaktu-waktu akan dibongkar dan digusur. Tetapi kalau waktunya hanya seminggu, tentu ini bukan sebentar. Sementara kita harus memikirkan mau pindah kemana dalam waktu 7 hari,” ujar Balen kepada wartawan, Rabu (22/7). Menurutnya sikap PT KAI Regional I Sumut tidak mencerminkan rasa kemanusiaan, mengingat saat ini kondisi pandemi Korona (Covid-19), sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. Apalagi mereka yang tinggal di kawasan pinggir rel, yang secara umum adalah warga kelas menengah ke bawah. “Kenapa dalam kondisi sekarang ini sedang sulit, PT KAI memberikan peringatan seperti ini dalam tempo yang singkat harus kita lakukan pembongkaran rumah,” katanya yang menyebutkan batas waktu pembongkaran hingga 27 Juli 2020. Sementara pengamat sosial pembangunan, A Riza Siregar menilai bahwa langkah yang dilakukan PT KAI sangat tidak populis. Sebab saat ini masyarakat sedang dalam kesulitan karena dampak wabah Covid-19 dan ia tidak melihat ada rencana pembangunan dalam waktu dekat oleh PT KAI di areal tersebut. Ditambah lagi surat permintaan pembongkaran sendiri itu, tidak mencerminkan rasa kemanusiaan seperti pesan yang pernah disampaikan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi terkait prinsip penertiban, beberapa waktu lalu untuk lahan PT KAI di kawasan Delitua. “Gubernur Sumatera Utara, Bapak Edy Rahmayadi pernah menyampaikan bahwa dalam mengambil langkah, PT KAI harus merencanakan dengan matang, sehingga tidak menjadi masalah besar mengarah pada konflik sosial. Bahkan kita menilai, PT KAI mengambil celah dari dukungan Gubernur terhadap renana tevitalisasi lahan mereka di kawasan bekas pasar di Delitua, melihat dari tanggalnya,” jelas Riza. Bahkan menurutnya PT KAI seperti tidak mengindahkan pesan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tentang bagaimana skema pemindahan atau penertiban yang pada prinsipnya berlaku umum mengingat banyaknya lahan PT KAI yang sekarang ditempati warga. Hal itu disampaikannya berdasarkan berita di berbagai media pada 9 Juli 2020 lalu. Bahwa Gubernur memaklumi jika PT KAI ingin menertibkan lahannya merupakn hak dan kewajiban masyarakat untuk mematuhinya. Namun sebelum eksekusi, mantan Pangkostrad itu pun mengingatkan perlunya perencanaan dalam waktu yang terukur serta pembentukan tim terpadu serta cipta kondisi. “Jangan sampai ada masalah lagi. Namun saya ingatkan, setiap mengambil langkah, lakukan dengan cara yang humanis. Pesan ini harusnya diindahkan PT KAI,” kata Riza Siregar membacakan berita yang pernah dimuat di media. Berdasarkan data yang disampaikan warga, surat pemberitahuanpenertiban ditandatangai Vice President Divre I Sumut (PT KAI), Johannes Daniel Hutabarat. Isinya antara lain telah melakukan pendataan dan sosialisasi pada 11-13 Juli 2020, atau dua hari setelah pertemuan bersama Gubernur di Delitua. Kalimat selanjutnya adalah, pendataan dan sosialisasi dilakukan tim dari internal perkeretaapian (PT KAI) sendiri. Surat tertanggal 20 Juli 2020 itu hanya ditembuskan kepada Pemko Medan dan jajarannya hingga tingkat lingkungan serta Polrestabes Medan dan Polsek setempat. “Kita meminta PT KAI lebih manusiawi dan melakukan pendekatan yang baik kepada masyarakat. Sebab kalau begini, tidak ada gunanya pesan Gubernur. Karena kalimat (Gubernur) itu, pada prinsipnya berlaku untuk tempat yang lain,” pungkas Riza.© Copyright 2024, All Rights Reserved