Onrizal mengatakan cara-cara penanganan pengaduan warga seperti yang dilakukan oleh penyidik kepadanya menunjukkan Polda Sumatera Utara masih belum mampu bekerja dengan profesional. Yang lebih parah kata Onrizal, meski gelar perkara tidak jadi dilakukan namun penyidik Polda Sumatera Utara mengiriminya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang salah satu poinnya adalah meminta agar Onrizal selaku pelapor menunjukkan dokumen AMDAL asli yang disebutnya berisi tandatangannya yang dipalsukan tersebut.
\"Ini yang lebih tidak masuk akal. Dokumen AMDAL yang saya laporkan berisi tandatangan saya yang dipalsukan itu adalah barang bukti yang digunakan oleh Pemprov Sumut sidang gugatan yang dilakukan oleh Walhi di PTUN. Masa polisi beralasan tidak bisa mendapatkan dokumen tersebut,\" ujarnya.
Bagi Onrizal permintaan dari penyidik ini sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagai aparat penegak hukum yang resmi pihak kepolisian menurutnya mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen-dokumen yang diadukan oleh masyarakat karena dugaan berisi hal-hal yang mengandung unsur pidana.
\"Ini kan tidak, justru saya yang harus mencari sendiri. Bagaimana kita berharap keadilan kalau penegak hukumnya seperti ini. Bagaimana saya menjadi korban tapi disuruh mencari dokumennya sendiri, ini suatu hal yang aneh. Percuma mahal-mahal negara menyekolahkan penyidik tapi hasilnya begitu,\" ketusnya.
Dalam waktu dekat menurut Onrizal, kasus ini akan dia laporkan ke Mabes Polri. Ia berharap penanganan di Mabes Polri akan lebih profesional sehingga dugaan pemalsuan tandatangan yang merugikannya selaku ahli lingkungan hidup dapat dituntaskan.
\"Awal Agustus 2019 mungkin kita akan menyampaikan ini ke Mabes Polri,\" pungkasnya.
Pengaduan Onrizal ke Polda Sumut berkaitan dengan dokumen adendum AMDAL yang menjadi dasar terbitnya izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Onrizal mengatakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan kajian AMDAL tersebut namun dalam dokumen tersebut, ia disebut ikut terlibat dan didalamnya terdapat namanya lengkap dengan tandatangan. AMDAL ini juga pernah digugat oleh Walhi Sumut ke PTUN Medan namun mereka kalah." itemprop="description"/>
Onrizal mengatakan cara-cara penanganan pengaduan warga seperti yang dilakukan oleh penyidik kepadanya menunjukkan Polda Sumatera Utara masih belum mampu bekerja dengan profesional. Yang lebih parah kata Onrizal, meski gelar perkara tidak jadi dilakukan namun penyidik Polda Sumatera Utara mengiriminya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang salah satu poinnya adalah meminta agar Onrizal selaku pelapor menunjukkan dokumen AMDAL asli yang disebutnya berisi tandatangannya yang dipalsukan tersebut.
\"Ini yang lebih tidak masuk akal. Dokumen AMDAL yang saya laporkan berisi tandatangan saya yang dipalsukan itu adalah barang bukti yang digunakan oleh Pemprov Sumut sidang gugatan yang dilakukan oleh Walhi di PTUN. Masa polisi beralasan tidak bisa mendapatkan dokumen tersebut,\" ujarnya.
Bagi Onrizal permintaan dari penyidik ini sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagai aparat penegak hukum yang resmi pihak kepolisian menurutnya mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen-dokumen yang diadukan oleh masyarakat karena dugaan berisi hal-hal yang mengandung unsur pidana.
\"Ini kan tidak, justru saya yang harus mencari sendiri. Bagaimana kita berharap keadilan kalau penegak hukumnya seperti ini. Bagaimana saya menjadi korban tapi disuruh mencari dokumennya sendiri, ini suatu hal yang aneh. Percuma mahal-mahal negara menyekolahkan penyidik tapi hasilnya begitu,\" ketusnya.
Dalam waktu dekat menurut Onrizal, kasus ini akan dia laporkan ke Mabes Polri. Ia berharap penanganan di Mabes Polri akan lebih profesional sehingga dugaan pemalsuan tandatangan yang merugikannya selaku ahli lingkungan hidup dapat dituntaskan.
\"Awal Agustus 2019 mungkin kita akan menyampaikan ini ke Mabes Polri,\" pungkasnya.
Pengaduan Onrizal ke Polda Sumut berkaitan dengan dokumen adendum AMDAL yang menjadi dasar terbitnya izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Onrizal mengatakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan kajian AMDAL tersebut namun dalam dokumen tersebut, ia disebut ikut terlibat dan didalamnya terdapat namanya lengkap dengan tandatangan. AMDAL ini juga pernah digugat oleh Walhi Sumut ke PTUN Medan namun mereka kalah."/>
Onrizal mengatakan cara-cara penanganan pengaduan warga seperti yang dilakukan oleh penyidik kepadanya menunjukkan Polda Sumatera Utara masih belum mampu bekerja dengan profesional. Yang lebih parah kata Onrizal, meski gelar perkara tidak jadi dilakukan namun penyidik Polda Sumatera Utara mengiriminya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang salah satu poinnya adalah meminta agar Onrizal selaku pelapor menunjukkan dokumen AMDAL asli yang disebutnya berisi tandatangannya yang dipalsukan tersebut.
\"Ini yang lebih tidak masuk akal. Dokumen AMDAL yang saya laporkan berisi tandatangan saya yang dipalsukan itu adalah barang bukti yang digunakan oleh Pemprov Sumut sidang gugatan yang dilakukan oleh Walhi di PTUN. Masa polisi beralasan tidak bisa mendapatkan dokumen tersebut,\" ujarnya.
Bagi Onrizal permintaan dari penyidik ini sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagai aparat penegak hukum yang resmi pihak kepolisian menurutnya mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen-dokumen yang diadukan oleh masyarakat karena dugaan berisi hal-hal yang mengandung unsur pidana.
\"Ini kan tidak, justru saya yang harus mencari sendiri. Bagaimana kita berharap keadilan kalau penegak hukumnya seperti ini. Bagaimana saya menjadi korban tapi disuruh mencari dokumennya sendiri, ini suatu hal yang aneh. Percuma mahal-mahal negara menyekolahkan penyidik tapi hasilnya begitu,\" ketusnya.
Dalam waktu dekat menurut Onrizal, kasus ini akan dia laporkan ke Mabes Polri. Ia berharap penanganan di Mabes Polri akan lebih profesional sehingga dugaan pemalsuan tandatangan yang merugikannya selaku ahli lingkungan hidup dapat dituntaskan.
\"Awal Agustus 2019 mungkin kita akan menyampaikan ini ke Mabes Polri,\" pungkasnya.
Pengaduan Onrizal ke Polda Sumut berkaitan dengan dokumen adendum AMDAL yang menjadi dasar terbitnya izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Onrizal mengatakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan kajian AMDAL tersebut namun dalam dokumen tersebut, ia disebut ikut terlibat dan didalamnya terdapat namanya lengkap dengan tandatangan. AMDAL ini juga pernah digugat oleh Walhi Sumut ke PTUN Medan namun mereka kalah."/>
Ahli lingkungan hidup dari Universitas Sumatera Utara, Onrizal berencana membawa kasus dugaan pemalsuan tandatangannya dalam dokumen adendum AMDAL PLTA Batangtoru. Hal ini dilakukan karena menurutnya penanganan pengaduannya di Polda Sumatera Utara tidak menunjukkan progres yang jelas bahkan terkesan tidak diseriusi oleh penyidik.
"Mereka mengundang saya untuk gelar perkara hari Senin (22/7/2019) lalu. Tapi dibatalkan begitu saja dengan alasan atasan mereka tidak bisa hadir, ironisnya pembatalannya dilakukan begitu saja ketika saya sudah tiba di Polda Sumut," kata Onrizal kepada com, Rabu (24/7/2019).
Onrizal mengatakan cara-cara penanganan pengaduan warga seperti yang dilakukan oleh penyidik kepadanya menunjukkan Polda Sumatera Utara masih belum mampu bekerja dengan profesional. Yang lebih parah kata Onrizal, meski gelar perkara tidak jadi dilakukan namun penyidik Polda Sumatera Utara mengiriminya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang salah satu poinnya adalah meminta agar Onrizal selaku pelapor menunjukkan dokumen AMDAL asli yang disebutnya berisi tandatangannya yang dipalsukan tersebut.
"Ini yang lebih tidak masuk akal. Dokumen AMDAL yang saya laporkan berisi tandatangan saya yang dipalsukan itu adalah barang bukti yang digunakan oleh Pemprov Sumut sidang gugatan yang dilakukan oleh Walhi di PTUN. Masa polisi beralasan tidak bisa mendapatkan dokumen tersebut," ujarnya.
Bagi Onrizal permintaan dari penyidik ini sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagai aparat penegak hukum yang resmi pihak kepolisian menurutnya mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen-dokumen yang diadukan oleh masyarakat karena dugaan berisi hal-hal yang mengandung unsur pidana.
"Ini kan tidak, justru saya yang harus mencari sendiri. Bagaimana kita berharap keadilan kalau penegak hukumnya seperti ini. Bagaimana saya menjadi korban tapi disuruh mencari dokumennya sendiri, ini suatu hal yang aneh. Percuma mahal-mahal negara menyekolahkan penyidik tapi hasilnya begitu," ketusnya.
Dalam waktu dekat menurut Onrizal, kasus ini akan dia laporkan ke Mabes Polri. Ia berharap penanganan di Mabes Polri akan lebih profesional sehingga dugaan pemalsuan tandatangan yang merugikannya selaku ahli lingkungan hidup dapat dituntaskan.
"Awal Agustus 2019 mungkin kita akan menyampaikan ini ke Mabes Polri," pungkasnya.
Pengaduan Onrizal ke Polda Sumut berkaitan dengan dokumen adendum AMDAL yang menjadi dasar terbitnya izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Onrizal mengatakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan kajian AMDAL tersebut namun dalam dokumen tersebut, ia disebut ikut terlibat dan didalamnya terdapat namanya lengkap dengan tandatangan. AMDAL ini juga pernah digugat oleh Walhi Sumut ke PTUN Medan namun mereka kalah.
Ahli lingkungan hidup dari Universitas Sumatera Utara, Onrizal berencana membawa kasus dugaan pemalsuan tandatangannya dalam dokumen adendum AMDAL PLTA Batangtoru. Hal ini dilakukan karena menurutnya penanganan pengaduannya di Polda Sumatera Utara tidak menunjukkan progres yang jelas bahkan terkesan tidak diseriusi oleh penyidik.
"Mereka mengundang saya untuk gelar perkara hari Senin (22/7/2019) lalu. Tapi dibatalkan begitu saja dengan alasan atasan mereka tidak bisa hadir, ironisnya pembatalannya dilakukan begitu saja ketika saya sudah tiba di Polda Sumut," kata Onrizal kepada com, Rabu (24/7/2019).
Onrizal mengatakan cara-cara penanganan pengaduan warga seperti yang dilakukan oleh penyidik kepadanya menunjukkan Polda Sumatera Utara masih belum mampu bekerja dengan profesional. Yang lebih parah kata Onrizal, meski gelar perkara tidak jadi dilakukan namun penyidik Polda Sumatera Utara mengiriminya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang salah satu poinnya adalah meminta agar Onrizal selaku pelapor menunjukkan dokumen AMDAL asli yang disebutnya berisi tandatangannya yang dipalsukan tersebut.
"Ini yang lebih tidak masuk akal. Dokumen AMDAL yang saya laporkan berisi tandatangan saya yang dipalsukan itu adalah barang bukti yang digunakan oleh Pemprov Sumut sidang gugatan yang dilakukan oleh Walhi di PTUN. Masa polisi beralasan tidak bisa mendapatkan dokumen tersebut," ujarnya.
Bagi Onrizal permintaan dari penyidik ini sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagai aparat penegak hukum yang resmi pihak kepolisian menurutnya mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen-dokumen yang diadukan oleh masyarakat karena dugaan berisi hal-hal yang mengandung unsur pidana.
"Ini kan tidak, justru saya yang harus mencari sendiri. Bagaimana kita berharap keadilan kalau penegak hukumnya seperti ini. Bagaimana saya menjadi korban tapi disuruh mencari dokumennya sendiri, ini suatu hal yang aneh. Percuma mahal-mahal negara menyekolahkan penyidik tapi hasilnya begitu," ketusnya.
Dalam waktu dekat menurut Onrizal, kasus ini akan dia laporkan ke Mabes Polri. Ia berharap penanganan di Mabes Polri akan lebih profesional sehingga dugaan pemalsuan tandatangan yang merugikannya selaku ahli lingkungan hidup dapat dituntaskan.
"Awal Agustus 2019 mungkin kita akan menyampaikan ini ke Mabes Polri," pungkasnya.
Pengaduan Onrizal ke Polda Sumut berkaitan dengan dokumen adendum AMDAL yang menjadi dasar terbitnya izin pembangunan proyek PLTA Batangtoru. Onrizal mengatakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan kajian AMDAL tersebut namun dalam dokumen tersebut, ia disebut ikut terlibat dan didalamnya terdapat namanya lengkap dengan tandatangan. AMDAL ini juga pernah digugat oleh Walhi Sumut ke PTUN Medan namun mereka kalah.