Penanganan atas aduan pelanggaran protokol kesehatan terkait pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020 akan sangat sulit ditangani. Hal ini mengingat belum ada payung hukum yang mengintegrasikan penanganan pelanggaran pada dua isu yang berbeda tersebut. Hal ini disampaikan Direktur Jaringan Demokrasi di Indonesia (JaDI) Sumatera Utara Nazir Salim Manik dalam diskusi tentang potensi pelanggaran di Pilkada serentak 2020. "Akan jadi pertanyaan, sejauh mana kewenangan dari Bawaslu misalnya selaku pengawas pemilu dalam menangani pelanggaran covid 19?, ini akan rancu," katanya, Selasa (22/9). Nazir mengatakan kewajiban untuk menerapkan protokol ketat pada setiap tahapan Pilkada 2020 merupakan hal yang harus diapresiasi sebagai bagian dari upaya untuk mencegah agar agenda politik lima tahunan tersebut tidak menjadi klaster baru penyebaran covid 19. Akan tetapi, kepastian hukum dan instrumen-instrumen dalam pelaksanaannya harus dibuat jelas, sehingga tidak ada kebingungan yang terjadi ketika pelanggaran protokol kesehatan menjadi delik aduan di Bawaslu. "Karena saya melihat, persoalan protokol kesehatan ini bisa menjadi isu yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik di Pilkada 2020," ungkapnya. Ia mencontohkan, dalam beberapa tahapan Pilkada seperti tahapan penetapan pasangan calon yang akan dilakukan pada 23 September 2020, KPU dapat melakukannya secara tertutup dalam satu ruangan dengan membatasi kehadiran peserta demi menegakkan protokol kesehatan. Akan tetapi, kerumunan massa pendukung para calon yang hadir dan berkerumun di luar ruangan tempat berlangsungnya acara tentu akan sulit jika dibebankan menjadi tanggung jawab KPU. "Dalam kasus seperti itu misalnya, apakah itu menjadi kesalahan KPU? lantas Bawaslu seperti apa akan memproses jika kerumunan ini merupakan pelanggaran protokol kesehatan terkait tahapan pilkada dan seterusnya. Ini yang akan membuat ribet mengurusi pelanggaran kesehatan pada saat pelaksanaan tahapan pilkada," pungkasnya.[R]
Penanganan atas aduan pelanggaran protokol kesehatan terkait pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020 akan sangat sulit ditangani. Hal ini mengingat belum ada payung hukum yang mengintegrasikan penanganan pelanggaran pada dua isu yang berbeda tersebut. Hal ini disampaikan Direktur Jaringan Demokrasi di Indonesia (JaDI) Sumatera Utara Nazir Salim Manik dalam diskusi tentang potensi pelanggaran di Pilkada serentak 2020. "Akan jadi pertanyaan, sejauh mana kewenangan dari Bawaslu misalnya selaku pengawas pemilu dalam menangani pelanggaran covid 19?, ini akan rancu," katanya, Selasa (22/9). Nazir mengatakan kewajiban untuk menerapkan protokol ketat pada setiap tahapan Pilkada 2020 merupakan hal yang harus diapresiasi sebagai bagian dari upaya untuk mencegah agar agenda politik lima tahunan tersebut tidak menjadi klaster baru penyebaran covid 19. Akan tetapi, kepastian hukum dan instrumen-instrumen dalam pelaksanaannya harus dibuat jelas, sehingga tidak ada kebingungan yang terjadi ketika pelanggaran protokol kesehatan menjadi delik aduan di Bawaslu. "Karena saya melihat, persoalan protokol kesehatan ini bisa menjadi isu yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik di Pilkada 2020," ungkapnya. Ia mencontohkan, dalam beberapa tahapan Pilkada seperti tahapan penetapan pasangan calon yang akan dilakukan pada 23 September 2020, KPU dapat melakukannya secara tertutup dalam satu ruangan dengan membatasi kehadiran peserta demi menegakkan protokol kesehatan. Akan tetapi, kerumunan massa pendukung para calon yang hadir dan berkerumun di luar ruangan tempat berlangsungnya acara tentu akan sulit jika dibebankan menjadi tanggung jawab KPU. "Dalam kasus seperti itu misalnya, apakah itu menjadi kesalahan KPU? lantas Bawaslu seperti apa akan memproses jika kerumunan ini merupakan pelanggaran protokol kesehatan terkait tahapan pilkada dan seterusnya. Ini yang akan membuat ribet mengurusi pelanggaran kesehatan pada saat pelaksanaan tahapan pilkada," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved