Mengurangi penggunaan uang cash tentu lebih menekan risiko, istilah ini disebut dengan cashless society. Tercatat 39 daftar perusahaan penerbit uang elektronik di Bank Indonesia sebagai penyedia jasa layanan topup dan atau sistem pembayaran melalui dodig. Dodig mempermudah dan menawarkan keuntungan bagi penggunanya. Dodig tak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan namun sekarang sudah dapat diakses pula oleh masyarakat daerah. Yang salah satunya diterapkan oleh merchant si pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Individu mengalokasikan income (pendapatan) pada dua variabel ekonomi yang disebut konsumsi (C) dan tabungan (S). Dan secara konseptual, konsumsi (C) terdiri atas dua unsur yakni (1) autonomous consumption adalah besaran konsumsi minimal pada saat pendapatan nol (karena setiap individu tetap melakukan konsumsi walau tidak memiliki pendapatan), dan (2) induced consumption adalah besaran konsumsi yang muncul akibat adanya income.
Terdapat istilah ekonomi Marginal Propensity to Consume (MPC) yang menunjukkan dampak perubahan penambahan disposable income (pendapatan setelah dikurangi pajak) pada besarnya konsumsi. Diilustrasikan apabila besaran MPC adalah 0,5 maka setiap tambahan Rp 1,- disposable income akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,5 x Rp 1 = Rp 0,5. Psikologi konsumsi menyampaikan bahwa saat individu memperoleh tambahan pendapatan maka konsumsinya pun ikut meningkat pula. Namun dengan proporsi yang lebih kecil daripada peningkatan pendapatan.
Diilustrasikan pula apabila pendapatan individu sebesar Rp 2.000.000,- per bulan, konsumsi mencapai Rp 800.000,- per bulan. Ketika pendapatan naik menjadi Rp 4.000.000,- per bulan maka konsumsi akan ikut naik menjadi lebih dari Rp 800.000,- per bulan namun tidak sampai Rp 1.600.000,- per bulan (atau dua kali lipatnya). Dan secara psikologi konsumsi pula, saat tertangkap oleh mata konsumen angka diskon atau potongan harga atau ada dikenal juga dengan istilah cashback ditawarkan oleh merchant, semakin cepat menarik minat untuk terus menggunakan dodig sebab penawaran lebih hanya diberlakukan pada penggunaan uang di dalam dodig tersebut.
Padahal pada prinsipnya harus mengorbankan nominal lebih banyak dalam dodig untuk mendapatkan diskon/potongan/cashback lebih yang ditawarkan. Jikalau kebutuhan, iya merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari namun apabila hanya sekedar keinginan untuk memperoleh keuntungan diskon/potongan/cashback tersebut yang tidak membawa nilai tambah pengembalian, ini bukanlah merupakan prinsip ekonomi sebab dampak daripada diskon/potongan/cashback tersebut secara langsung menarik kembali minat penggunaan dodig secara terus menerus dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kondisi ini mencerminkan kecenderungan perilaku konsumtif.
Individu sebagai pelaku ekonomi dapat secara bijak menyisihkan berapa persen dari income yang diterima per bulan untuk dialokasikan pada dodig, sesuai pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun pengeluaran rutin, tagihan dan lainnya. Karena pada dasar prinsip ekonomi, bertransaksilah sesuai kebutuhan bukan karena alasan lain.
Kecenderungan perilaku konsumtif akan menguras tabungan yang nantinya mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar sehingga pasar dengan cepat mendeteksi daya beli masyarakat yang nantiya akan berdampak pada inflasi.
Oleh: Dewi Mahrani Rangkuty, S.E., M.Si
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Panca Budi
Mengurangi penggunaan uang cash tentu lebih menekan risiko, istilah ini disebut dengan cashless society. Tercatat 39 daftar perusahaan penerbit uang elektronik di Bank Indonesia sebagai penyedia jasa layanan topup dan atau sistem pembayaran melalui dodig. Dodig mempermudah dan menawarkan keuntungan bagi penggunanya. Dodig tak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan namun sekarang sudah dapat diakses pula oleh masyarakat daerah. Yang salah satunya diterapkan oleh merchant si pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Individu mengalokasikan income (pendapatan) pada dua variabel ekonomi yang disebut konsumsi (C) dan tabungan (S). Dan secara konseptual, konsumsi (C) terdiri atas dua unsur yakni (1) autonomous consumption adalah besaran konsumsi minimal pada saat pendapatan nol (karena setiap individu tetap melakukan konsumsi walau tidak memiliki pendapatan), dan (2) induced consumption adalah besaran konsumsi yang muncul akibat adanya income.
Terdapat istilah ekonomi Marginal Propensity to Consume (MPC) yang menunjukkan dampak perubahan penambahan disposable income (pendapatan setelah dikurangi pajak) pada besarnya konsumsi. Diilustrasikan apabila besaran MPC adalah 0,5 maka setiap tambahan Rp 1,- disposable income akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,5 x Rp 1 = Rp 0,5. Psikologi konsumsi menyampaikan bahwa saat individu memperoleh tambahan pendapatan maka konsumsinya pun ikut meningkat pula. Namun dengan proporsi yang lebih kecil daripada peningkatan pendapatan.
Diilustrasikan pula apabila pendapatan individu sebesar Rp 2.000.000,- per bulan, konsumsi mencapai Rp 800.000,- per bulan. Ketika pendapatan naik menjadi Rp 4.000.000,- per bulan maka konsumsi akan ikut naik menjadi lebih dari Rp 800.000,- per bulan namun tidak sampai Rp 1.600.000,- per bulan (atau dua kali lipatnya). Dan secara psikologi konsumsi pula, saat tertangkap oleh mata konsumen angka diskon atau potongan harga atau ada dikenal juga dengan istilah cashback ditawarkan oleh merchant, semakin cepat menarik minat untuk terus menggunakan dodig sebab penawaran lebih hanya diberlakukan pada penggunaan uang di dalam dodig tersebut.
Padahal pada prinsipnya harus mengorbankan nominal lebih banyak dalam dodig untuk mendapatkan diskon/potongan/cashback lebih yang ditawarkan. Jikalau kebutuhan, iya merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari namun apabila hanya sekedar keinginan untuk memperoleh keuntungan diskon/potongan/cashback tersebut yang tidak membawa nilai tambah pengembalian, ini bukanlah merupakan prinsip ekonomi sebab dampak daripada diskon/potongan/cashback tersebut secara langsung menarik kembali minat penggunaan dodig secara terus menerus dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kondisi ini mencerminkan kecenderungan perilaku konsumtif.
Individu sebagai pelaku ekonomi dapat secara bijak menyisihkan berapa persen dari income yang diterima per bulan untuk dialokasikan pada dodig, sesuai pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun pengeluaran rutin, tagihan dan lainnya. Karena pada dasar prinsip ekonomi, bertransaksilah sesuai kebutuhan bukan karena alasan lain.
Kecenderungan perilaku konsumtif akan menguras tabungan yang nantinya mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar sehingga pasar dengan cepat mendeteksi daya beli masyarakat yang nantiya akan berdampak pada inflasi.
Oleh: Dewi Mahrani Rangkuty, S.E., M.Si
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Panca Budi
Mengurangi penggunaan uang cash tentu lebih menekan risiko, istilah ini disebut dengan cashless society. Tercatat 39 daftar perusahaan penerbit uang elektronik di Bank Indonesia sebagai penyedia jasa layanan topup dan atau sistem pembayaran melalui dodig. Dodig mempermudah dan menawarkan keuntungan bagi penggunanya. Dodig tak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan namun sekarang sudah dapat diakses pula oleh masyarakat daerah. Yang salah satunya diterapkan oleh merchant si pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Individu mengalokasikan income (pendapatan) pada dua variabel ekonomi yang disebut konsumsi (C) dan tabungan (S). Dan secara konseptual, konsumsi (C) terdiri atas dua unsur yakni (1) autonomous consumption adalah besaran konsumsi minimal pada saat pendapatan nol (karena setiap individu tetap melakukan konsumsi walau tidak memiliki pendapatan), dan (2) induced consumption adalah besaran konsumsi yang muncul akibat adanya income.
Terdapat istilah ekonomi Marginal Propensity to Consume (MPC) yang menunjukkan dampak perubahan penambahan disposable income (pendapatan setelah dikurangi pajak) pada besarnya konsumsi. Diilustrasikan apabila besaran MPC adalah 0,5 maka setiap tambahan Rp 1,- disposable income akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,5 x Rp 1 = Rp 0,5. Psikologi konsumsi menyampaikan bahwa saat individu memperoleh tambahan pendapatan maka konsumsinya pun ikut meningkat pula. Namun dengan proporsi yang lebih kecil daripada peningkatan pendapatan.
Diilustrasikan pula apabila pendapatan individu sebesar Rp 2.000.000,- per bulan, konsumsi mencapai Rp 800.000,- per bulan. Ketika pendapatan naik menjadi Rp 4.000.000,- per bulan maka konsumsi akan ikut naik menjadi lebih dari Rp 800.000,- per bulan namun tidak sampai Rp 1.600.000,- per bulan (atau dua kali lipatnya). Dan secara psikologi konsumsi pula, saat tertangkap oleh mata konsumen angka diskon atau potongan harga atau ada dikenal juga dengan istilah cashback ditawarkan oleh merchant, semakin cepat menarik minat untuk terus menggunakan dodig sebab penawaran lebih hanya diberlakukan pada penggunaan uang di dalam dodig tersebut.
Padahal pada prinsipnya harus mengorbankan nominal lebih banyak dalam dodig untuk mendapatkan diskon/potongan/cashback lebih yang ditawarkan. Jikalau kebutuhan, iya merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari namun apabila hanya sekedar keinginan untuk memperoleh keuntungan diskon/potongan/cashback tersebut yang tidak membawa nilai tambah pengembalian, ini bukanlah merupakan prinsip ekonomi sebab dampak daripada diskon/potongan/cashback tersebut secara langsung menarik kembali minat penggunaan dodig secara terus menerus dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kondisi ini mencerminkan kecenderungan perilaku konsumtif.
Individu sebagai pelaku ekonomi dapat secara bijak menyisihkan berapa persen dari income yang diterima per bulan untuk dialokasikan pada dodig, sesuai pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun pengeluaran rutin, tagihan dan lainnya. Karena pada dasar prinsip ekonomi, bertransaksilah sesuai kebutuhan bukan karena alasan lain.
Kecenderungan perilaku konsumtif akan menguras tabungan yang nantinya mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar sehingga pasar dengan cepat mendeteksi daya beli masyarakat yang nantiya akan berdampak pada inflasi.
Oleh: Dewi Mahrani Rangkuty, S.E., M.Si
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Panca Budi