Gerakan Mahasiswa Nasinalis Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH-USU) menlak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang kini masih terus dibahas di DPR. Komisaris GMNI FH USU, Mike Situmeang mengatakan penolakan ini karena substansi RUU Cipta Kerja tidak memihak buruh. RUU ini juga dinilai berorientasi kapitalisme yang menguntungkan perusahaan dan segelintir orang (oligarki), tidak berorientasi Marhaen atau orang-orang kecil, termasuk buruh, nelayan, Petani. Hal ini menurutnya dapat dilihat dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang sangat buruk dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Dalam UUK 13/2003 Pasal 77 waktu hari dan jam kerja, diatur 7 jam dalam satu hari untuk 6 hari kerja, sedangkan RUU Cipta Kerja mengatur 8 jam dalam satu hari kerja dan 40 jam untuk 1 minggu. "Artinya RUU Cipta Kerja tidak memberikan hari libur untuk para pekerja, hal ini akan cenderung mengeksploitasi buruh," katanya kepada RMOLSumut, Kamis (16/7). Lebih lanjut Mike Situmeang mengatakan, dalam Pasal 93 UUK 13/2003 buruh ketika sakit, sedang haid, ketika menikah atau menikahkan, sedang melaksanakan kewajiban agama harus tetap di upah. Sedangkan didalam RUU Cipta Kerja keadaan tersebut tidak diberi upah. "Dapat kita lihat RUU Cipta Kerja bersubstansi pengurangan perlindungan terhadap buruh," ujarnya. Selain alasan tersebut, Mike menilai pembahasan Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir juga menunjukkan pemerintah tidak sensitif dengan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. "Seharusnya Pemerintah dan DPR fokus menanggulangi bencana global ini bukan malah fokus untuk membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat. Pelanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja menunjukkan bahwa Pemerintah dan DPR main-main dalam penanggulangan COVID-19," pungkasnya.[R]
Gerakan Mahasiswa Nasinalis Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH-USU) menlak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang kini masih terus dibahas di DPR. Komisaris GMNI FH USU, Mike Situmeang mengatakan penolakan ini karena substansi RUU Cipta Kerja tidak memihak buruh. RUU ini juga dinilai berorientasi kapitalisme yang menguntungkan perusahaan dan segelintir orang (oligarki), tidak berorientasi Marhaen atau orang-orang kecil, termasuk buruh, nelayan, Petani. Hal ini menurutnya dapat dilihat dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang sangat buruk dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Dalam UUK 13/2003 Pasal 77 waktu hari dan jam kerja, diatur 7 jam dalam satu hari untuk 6 hari kerja, sedangkan RUU Cipta Kerja mengatur 8 jam dalam satu hari kerja dan 40 jam untuk 1 minggu. "Artinya RUU Cipta Kerja tidak memberikan hari libur untuk para pekerja, hal ini akan cenderung mengeksploitasi buruh," katanya kepada RMOLSumut, Kamis (16/7). Lebih lanjut Mike Situmeang mengatakan, dalam Pasal 93 UUK 13/2003 buruh ketika sakit, sedang haid, ketika menikah atau menikahkan, sedang melaksanakan kewajiban agama harus tetap di upah. Sedangkan didalam RUU Cipta Kerja keadaan tersebut tidak diberi upah. "Dapat kita lihat RUU Cipta Kerja bersubstansi pengurangan perlindungan terhadap buruh," ujarnya. Selain alasan tersebut, Mike menilai pembahasan Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir juga menunjukkan pemerintah tidak sensitif dengan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. "Seharusnya Pemerintah dan DPR fokus menanggulangi bencana global ini bukan malah fokus untuk membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat. Pelanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja menunjukkan bahwa Pemerintah dan DPR main-main dalam penanggulangan COVID-19," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved