Dia menceritakan sejak awal tahapan kampanye dialogis pihaknya sudah merasa dizolimi. \"Bayangkan, untuk mencari tempat kampanye dialogis kami dipersulit di seluruh daerah Sumut. Kami rasakan benar tekanan itu,\" tuturnya. Di kampanye terbuka pun begitu juga. \"Sangat sulit menggelar kampanye terbuka, baik itu izin dan penggunaan lokasi,\" jelasnya.
Setelah itu masuk masa tenang BPP dan seluruh tim yang berada di 02 merasa dintimidasi dan dijadikan target. \"Kami tahu persis kalau pendukung 02 jadi target,\" ucapnya. \"Kesalahan kami dicari-cari. Ada penangkapan kader, tuduhan kecurangan, Penahan aktivitas relawan. Semua ditarget,\" jelasnya.
Aparat negarapun bertindak penuh keberpihakan secara terstruktur, massif dan sistematis. \"Bahkan aparatur pemerintahan yang terdepan mulai Kades, Kepling, Lurah, Camat dan OPD hingga BUMN memihak secara massif. Masa tenang pun kita ditarget Gakkumdu,\" jelasnya. Saat pencoblosan berlangsung lebih kacau lagi \"Kecurangan menjadi-jadi,\" jelas gus Irawan Pasaribu.
\"Saat pencoblosan saksi kami dibuat tidak betah dan sulit mendapatkan salinan C-1. Misal dalam ketentuan perudangan harusnya hasil pilpres dihitung terlebih dulu. Setelah itu baru diberikan salinan C-1. Faktanya saksi malah tidak dapat. Perhitungan dilakukan dulu dengan menyelesaiakan perhitungan Pileg disemua tingkatan, baru kemudian menyiapkan C1, itu bisa besok dan lusanya baru ditandatangani,\" kata dia.
\"Kami tidak tidur berhari-hari memantau semua proses. Untuk saksi saja mereka sulit dapat C-1. Apalagi untuk publik. Padahal jelas-jelas diamanatkan agar semua hasil pencoblosan dipublikasi di tempat yang mudah diakses warga,\" jelasnya. Karena melihat itu BPP sampai menyurati Bawaslu Sumut agar hasilnya dipublikasi sesuai ketentuan. \"Hanya beberapa saja yang melakukan itu,\" ujarnya.
Kecurangan lain yang ditemukan BPP, menurut dia, saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.
\"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis,\" ungkapnya.
Untuk memantau kecurangan BPP sebenarnya sudah membuat program dengan mentrace C1. \"Kami sudah mentrace 26 rib- an TPS. Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan,\" tambah Gus Irawan lagi.
Misalnya dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100. \"Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT,\" jelasnya lagi.
Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.
\"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus),\" sambungnya. Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. \"Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis,\" ungkap Gus Irawan.
Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.
\"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses,\" kata dia. Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.
Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan massif. \"Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu.\" Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. \"Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara,\" jelasnya.
Apalagi yang menjadi catatan BPP? \"Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh. Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau,\" sambungnya. Situng KPU itu abal-abal. Bagaimana itu di sebut sistem, karena input apa saja Situng terima. Padahal ketentuan sudah membatasi TPS itu maksimum 300 pemilih. Faktanya banyak surara yg di input ke 01 diatas seribuan Situng tetap terima.
Jadi BPP Sumut berkesimpulan penyelenggara tidak independen, aparat ikut main, pengawas yang tupoksinya untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan peraturan pun kurang berfungsi. Bayangkan pleno KPU Sumut baru selesai hari ini. Bahkan yang paling lama itu Medan dan Deli Serdang yang harusnya SDM nya lebih mumpuni. Ditengarai setiap delay waktu itu ada upaya kecurangan. Jawa Barat yang pemilihnya 3 kali Sumut pun sudah pleno minggu lalu.\"Pokoknya kami tolak hasil rekap KPU Sumut karena sudah cacat sejak awal,\" ujarnya." itemprop="description"/>
Dia menceritakan sejak awal tahapan kampanye dialogis pihaknya sudah merasa dizolimi. \"Bayangkan, untuk mencari tempat kampanye dialogis kami dipersulit di seluruh daerah Sumut. Kami rasakan benar tekanan itu,\" tuturnya. Di kampanye terbuka pun begitu juga. \"Sangat sulit menggelar kampanye terbuka, baik itu izin dan penggunaan lokasi,\" jelasnya.
Setelah itu masuk masa tenang BPP dan seluruh tim yang berada di 02 merasa dintimidasi dan dijadikan target. \"Kami tahu persis kalau pendukung 02 jadi target,\" ucapnya. \"Kesalahan kami dicari-cari. Ada penangkapan kader, tuduhan kecurangan, Penahan aktivitas relawan. Semua ditarget,\" jelasnya.
Aparat negarapun bertindak penuh keberpihakan secara terstruktur, massif dan sistematis. \"Bahkan aparatur pemerintahan yang terdepan mulai Kades, Kepling, Lurah, Camat dan OPD hingga BUMN memihak secara massif. Masa tenang pun kita ditarget Gakkumdu,\" jelasnya. Saat pencoblosan berlangsung lebih kacau lagi \"Kecurangan menjadi-jadi,\" jelas gus Irawan Pasaribu.
\"Saat pencoblosan saksi kami dibuat tidak betah dan sulit mendapatkan salinan C-1. Misal dalam ketentuan perudangan harusnya hasil pilpres dihitung terlebih dulu. Setelah itu baru diberikan salinan C-1. Faktanya saksi malah tidak dapat. Perhitungan dilakukan dulu dengan menyelesaiakan perhitungan Pileg disemua tingkatan, baru kemudian menyiapkan C1, itu bisa besok dan lusanya baru ditandatangani,\" kata dia.
\"Kami tidak tidur berhari-hari memantau semua proses. Untuk saksi saja mereka sulit dapat C-1. Apalagi untuk publik. Padahal jelas-jelas diamanatkan agar semua hasil pencoblosan dipublikasi di tempat yang mudah diakses warga,\" jelasnya. Karena melihat itu BPP sampai menyurati Bawaslu Sumut agar hasilnya dipublikasi sesuai ketentuan. \"Hanya beberapa saja yang melakukan itu,\" ujarnya.
Kecurangan lain yang ditemukan BPP, menurut dia, saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.
\"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis,\" ungkapnya.
Untuk memantau kecurangan BPP sebenarnya sudah membuat program dengan mentrace C1. \"Kami sudah mentrace 26 rib- an TPS. Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan,\" tambah Gus Irawan lagi.
Misalnya dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100. \"Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT,\" jelasnya lagi.
Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.
\"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus),\" sambungnya. Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. \"Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis,\" ungkap Gus Irawan.
Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.
\"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses,\" kata dia. Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.
Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan massif. \"Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu.\" Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. \"Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara,\" jelasnya.
Apalagi yang menjadi catatan BPP? \"Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh. Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau,\" sambungnya. Situng KPU itu abal-abal. Bagaimana itu di sebut sistem, karena input apa saja Situng terima. Padahal ketentuan sudah membatasi TPS itu maksimum 300 pemilih. Faktanya banyak surara yg di input ke 01 diatas seribuan Situng tetap terima.
Jadi BPP Sumut berkesimpulan penyelenggara tidak independen, aparat ikut main, pengawas yang tupoksinya untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan peraturan pun kurang berfungsi. Bayangkan pleno KPU Sumut baru selesai hari ini. Bahkan yang paling lama itu Medan dan Deli Serdang yang harusnya SDM nya lebih mumpuni. Ditengarai setiap delay waktu itu ada upaya kecurangan. Jawa Barat yang pemilihnya 3 kali Sumut pun sudah pleno minggu lalu.\"Pokoknya kami tolak hasil rekap KPU Sumut karena sudah cacat sejak awal,\" ujarnya."/>
Dia menceritakan sejak awal tahapan kampanye dialogis pihaknya sudah merasa dizolimi. \"Bayangkan, untuk mencari tempat kampanye dialogis kami dipersulit di seluruh daerah Sumut. Kami rasakan benar tekanan itu,\" tuturnya. Di kampanye terbuka pun begitu juga. \"Sangat sulit menggelar kampanye terbuka, baik itu izin dan penggunaan lokasi,\" jelasnya.
Setelah itu masuk masa tenang BPP dan seluruh tim yang berada di 02 merasa dintimidasi dan dijadikan target. \"Kami tahu persis kalau pendukung 02 jadi target,\" ucapnya. \"Kesalahan kami dicari-cari. Ada penangkapan kader, tuduhan kecurangan, Penahan aktivitas relawan. Semua ditarget,\" jelasnya.
Aparat negarapun bertindak penuh keberpihakan secara terstruktur, massif dan sistematis. \"Bahkan aparatur pemerintahan yang terdepan mulai Kades, Kepling, Lurah, Camat dan OPD hingga BUMN memihak secara massif. Masa tenang pun kita ditarget Gakkumdu,\" jelasnya. Saat pencoblosan berlangsung lebih kacau lagi \"Kecurangan menjadi-jadi,\" jelas gus Irawan Pasaribu.
\"Saat pencoblosan saksi kami dibuat tidak betah dan sulit mendapatkan salinan C-1. Misal dalam ketentuan perudangan harusnya hasil pilpres dihitung terlebih dulu. Setelah itu baru diberikan salinan C-1. Faktanya saksi malah tidak dapat. Perhitungan dilakukan dulu dengan menyelesaiakan perhitungan Pileg disemua tingkatan, baru kemudian menyiapkan C1, itu bisa besok dan lusanya baru ditandatangani,\" kata dia.
\"Kami tidak tidur berhari-hari memantau semua proses. Untuk saksi saja mereka sulit dapat C-1. Apalagi untuk publik. Padahal jelas-jelas diamanatkan agar semua hasil pencoblosan dipublikasi di tempat yang mudah diakses warga,\" jelasnya. Karena melihat itu BPP sampai menyurati Bawaslu Sumut agar hasilnya dipublikasi sesuai ketentuan. \"Hanya beberapa saja yang melakukan itu,\" ujarnya.
Kecurangan lain yang ditemukan BPP, menurut dia, saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.
\"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis,\" ungkapnya.
Untuk memantau kecurangan BPP sebenarnya sudah membuat program dengan mentrace C1. \"Kami sudah mentrace 26 rib- an TPS. Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan,\" tambah Gus Irawan lagi.
Misalnya dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100. \"Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT,\" jelasnya lagi.
Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.
\"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus),\" sambungnya. Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. \"Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis,\" ungkap Gus Irawan.
Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.
\"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses,\" kata dia. Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.
Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan massif. \"Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu.\" Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. \"Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara,\" jelasnya.
Apalagi yang menjadi catatan BPP? \"Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh. Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau,\" sambungnya. Situng KPU itu abal-abal. Bagaimana itu di sebut sistem, karena input apa saja Situng terima. Padahal ketentuan sudah membatasi TPS itu maksimum 300 pemilih. Faktanya banyak surara yg di input ke 01 diatas seribuan Situng tetap terima.
Jadi BPP Sumut berkesimpulan penyelenggara tidak independen, aparat ikut main, pengawas yang tupoksinya untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan peraturan pun kurang berfungsi. Bayangkan pleno KPU Sumut baru selesai hari ini. Bahkan yang paling lama itu Medan dan Deli Serdang yang harusnya SDM nya lebih mumpuni. Ditengarai setiap delay waktu itu ada upaya kecurangan. Jawa Barat yang pemilihnya 3 kali Sumut pun sudah pleno minggu lalu.\"Pokoknya kami tolak hasil rekap KPU Sumut karena sudah cacat sejak awal,\" ujarnya."/>
Ketua DPD Gerindra Sumut Gus Irawan Pasaribu sekaligus Ketua BPP (Badan Pemenangan Provinsi) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara resmi menyatakan menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 di Sumut yang sudah direkap final dalam rapat pleno KPU Provinsi Sumut.
Hal itu disampaikannya kepada wartawan di Medan, Senin dinihari (20/5), setelah para saksi diinstruksikannya tidak meneken hasil rekap dan menyuruh seluruhnya menarik diri dari proses rekapitulasi pada rapat pleno KPU Sumut.
Alasan mendasar yang disampaikan Gus Irawan Pasaribu terhadap penolakan karena hasil pemilu ini cacat hukum. "Pelaksanaannya sudah cacat dari awal. Bagaimana mau kita akui," ujarnya.
Dia menceritakan sejak awal tahapan kampanye dialogis pihaknya sudah merasa dizolimi. "Bayangkan, untuk mencari tempat kampanye dialogis kami dipersulit di seluruh daerah Sumut. Kami rasakan benar tekanan itu," tuturnya. Di kampanye terbuka pun begitu juga. "Sangat sulit menggelar kampanye terbuka, baik itu izin dan penggunaan lokasi," jelasnya.
Setelah itu masuk masa tenang BPP dan seluruh tim yang berada di 02 merasa dintimidasi dan dijadikan target. "Kami tahu persis kalau pendukung 02 jadi target," ucapnya. "Kesalahan kami dicari-cari. Ada penangkapan kader, tuduhan kecurangan, Penahan aktivitas relawan. Semua ditarget," jelasnya.
Aparat negarapun bertindak penuh keberpihakan secara terstruktur, massif dan sistematis. "Bahkan aparatur pemerintahan yang terdepan mulai Kades, Kepling, Lurah, Camat dan OPD hingga BUMN memihak secara massif. Masa tenang pun kita ditarget Gakkumdu," jelasnya. Saat pencoblosan berlangsung lebih kacau lagi "Kecurangan menjadi-jadi," jelas gus Irawan Pasaribu.
"Saat pencoblosan saksi kami dibuat tidak betah dan sulit mendapatkan salinan C-1. Misal dalam ketentuan perudangan harusnya hasil pilpres dihitung terlebih dulu. Setelah itu baru diberikan salinan C-1. Faktanya saksi malah tidak dapat. Perhitungan dilakukan dulu dengan menyelesaiakan perhitungan Pileg disemua tingkatan, baru kemudian menyiapkan C1, itu bisa besok dan lusanya baru ditandatangani," kata dia.
"Kami tidak tidur berhari-hari memantau semua proses. Untuk saksi saja mereka sulit dapat C-1. Apalagi untuk publik. Padahal jelas-jelas diamanatkan agar semua hasil pencoblosan dipublikasi di tempat yang mudah diakses warga," jelasnya. Karena melihat itu BPP sampai menyurati Bawaslu Sumut agar hasilnya dipublikasi sesuai ketentuan. "Hanya beberapa saja yang melakukan itu," ujarnya.
Kecurangan lain yang ditemukan BPP, menurut dia, saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.
"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis," ungkapnya.
Untuk memantau kecurangan BPP sebenarnya sudah membuat program dengan mentrace C1. "Kami sudah mentrace 26 rib- an TPS. Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan," tambah Gus Irawan lagi.
Misalnya dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100. "Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT," jelasnya lagi.
Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.
"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus)," sambungnya. Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. "Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis," ungkap Gus Irawan.
Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.
"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses," kata dia. Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.
Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan massif. "Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu." Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. "Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara," jelasnya.
Apalagi yang menjadi catatan BPP? "Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh. Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau," sambungnya. Situng KPU itu abal-abal. Bagaimana itu di sebut sistem, karena input apa saja Situng terima. Padahal ketentuan sudah membatasi TPS itu maksimum 300 pemilih. Faktanya banyak surara yg di input ke 01 diatas seribuan Situng tetap terima.
Jadi BPP Sumut berkesimpulan penyelenggara tidak independen, aparat ikut main, pengawas yang tupoksinya untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan peraturan pun kurang berfungsi. Bayangkan pleno KPU Sumut baru selesai hari ini. Bahkan yang paling lama itu Medan dan Deli Serdang yang harusnya SDM nya lebih mumpuni. Ditengarai setiap delay waktu itu ada upaya kecurangan. Jawa Barat yang pemilihnya 3 kali Sumut pun sudah pleno minggu lalu."Pokoknya kami tolak hasil rekap KPU Sumut karena sudah cacat sejak awal," ujarnya.
Ketua DPD Gerindra Sumut Gus Irawan Pasaribu sekaligus Ketua BPP (Badan Pemenangan Provinsi) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara resmi menyatakan menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 di Sumut yang sudah direkap final dalam rapat pleno KPU Provinsi Sumut.
Hal itu disampaikannya kepada wartawan di Medan, Senin dinihari (20/5), setelah para saksi diinstruksikannya tidak meneken hasil rekap dan menyuruh seluruhnya menarik diri dari proses rekapitulasi pada rapat pleno KPU Sumut.
Alasan mendasar yang disampaikan Gus Irawan Pasaribu terhadap penolakan karena hasil pemilu ini cacat hukum. "Pelaksanaannya sudah cacat dari awal. Bagaimana mau kita akui," ujarnya.
Dia menceritakan sejak awal tahapan kampanye dialogis pihaknya sudah merasa dizolimi. "Bayangkan, untuk mencari tempat kampanye dialogis kami dipersulit di seluruh daerah Sumut. Kami rasakan benar tekanan itu," tuturnya. Di kampanye terbuka pun begitu juga. "Sangat sulit menggelar kampanye terbuka, baik itu izin dan penggunaan lokasi," jelasnya.
Setelah itu masuk masa tenang BPP dan seluruh tim yang berada di 02 merasa dintimidasi dan dijadikan target. "Kami tahu persis kalau pendukung 02 jadi target," ucapnya. "Kesalahan kami dicari-cari. Ada penangkapan kader, tuduhan kecurangan, Penahan aktivitas relawan. Semua ditarget," jelasnya.
Aparat negarapun bertindak penuh keberpihakan secara terstruktur, massif dan sistematis. "Bahkan aparatur pemerintahan yang terdepan mulai Kades, Kepling, Lurah, Camat dan OPD hingga BUMN memihak secara massif. Masa tenang pun kita ditarget Gakkumdu," jelasnya. Saat pencoblosan berlangsung lebih kacau lagi "Kecurangan menjadi-jadi," jelas gus Irawan Pasaribu.
"Saat pencoblosan saksi kami dibuat tidak betah dan sulit mendapatkan salinan C-1. Misal dalam ketentuan perudangan harusnya hasil pilpres dihitung terlebih dulu. Setelah itu baru diberikan salinan C-1. Faktanya saksi malah tidak dapat. Perhitungan dilakukan dulu dengan menyelesaiakan perhitungan Pileg disemua tingkatan, baru kemudian menyiapkan C1, itu bisa besok dan lusanya baru ditandatangani," kata dia.
"Kami tidak tidur berhari-hari memantau semua proses. Untuk saksi saja mereka sulit dapat C-1. Apalagi untuk publik. Padahal jelas-jelas diamanatkan agar semua hasil pencoblosan dipublikasi di tempat yang mudah diakses warga," jelasnya. Karena melihat itu BPP sampai menyurati Bawaslu Sumut agar hasilnya dipublikasi sesuai ketentuan. "Hanya beberapa saja yang melakukan itu," ujarnya.
Kecurangan lain yang ditemukan BPP, menurut dia, saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.
"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis," ungkapnya.
Untuk memantau kecurangan BPP sebenarnya sudah membuat program dengan mentrace C1. "Kami sudah mentrace 26 rib- an TPS. Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan," tambah Gus Irawan lagi.
Misalnya dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100. "Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT," jelasnya lagi.
Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.
"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus)," sambungnya. Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. "Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis," ungkap Gus Irawan.
Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.
"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses," kata dia. Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.
Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan massif. "Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu." Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. "Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara," jelasnya.
Apalagi yang menjadi catatan BPP? "Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh. Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau," sambungnya. Situng KPU itu abal-abal. Bagaimana itu di sebut sistem, karena input apa saja Situng terima. Padahal ketentuan sudah membatasi TPS itu maksimum 300 pemilih. Faktanya banyak surara yg di input ke 01 diatas seribuan Situng tetap terima.
Jadi BPP Sumut berkesimpulan penyelenggara tidak independen, aparat ikut main, pengawas yang tupoksinya untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan peraturan pun kurang berfungsi. Bayangkan pleno KPU Sumut baru selesai hari ini. Bahkan yang paling lama itu Medan dan Deli Serdang yang harusnya SDM nya lebih mumpuni. Ditengarai setiap delay waktu itu ada upaya kecurangan. Jawa Barat yang pemilihnya 3 kali Sumut pun sudah pleno minggu lalu."Pokoknya kami tolak hasil rekap KPU Sumut karena sudah cacat sejak awal," ujarnya.