Saya berharap Ketua BPIP Yudian Wahyudi tak menyebutkan bahwa agama musuh terbesar Pancasila. Atau setidaknya, jika media memang tak salah kutip, saya sangat berharap Yudian itu khilaf. Setidaknya perasaan saya mengatakan mungkin Yudian itu mengalami kejadian slip of tongue (selip lidah). Pernyataan “Agama Musuh Terbesar Pancasila” kerap dianggap benar oleh pengusung ideologi-ideologi yang bertentangan diametral dengan agama, agama apa pun itu. Atau yang oleh pengalaman intelektual ateistik atau sekularistiknya orang itu tiba pada sebuah kesimpulan keliru bahwa agama itu tak mungkin dapat bersesuaian dengan Pancasila. Tetapi di atas segalanya, saya kira tak masalah jika saya ajak Yudian membaca kembali risalah persidangan BPUPKI. Di sana, Soekarno sendiri, yang beroleh kesempatan berbicara seolah penutup dari semua pidato, pada tanggal 1 Juni 1945, antara lain memaparkan pandangannya demikian: “Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen, itu adil, – fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”. Yudian mungkin lupa atau sama sekali tidak pernah memiliki akses terhadap sumber-sumber penting proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Seseorang boleh belajar banyak tentang banyak cabang ilmu namun harus dimaklumi juga jika tak pernah merasa penting mempelajari sejarah pembentukan negara-bangsanya. Itu bukan tragedi, hanya sebagai konsekuensi dari sistem pendidikan yang berlaku. Bisa saja malah jika menyimak narasi sebelumnya dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno, Yudian mungkin akan menggigil dan pingsan. Begini kata Bung Karno: Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sini lah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Yudian tentu pernah tahu soal Piagam Djakarta yang kemudian dikukuhkan menjadi Mukaddimah UUD 1945. Di sana Sila Pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal lain yang juga perlu diketahui oleh Yudian ialah bahwa kata demi kata dari seluruh isi Pancasila memiliki keterangan nilai dan sejarah yang tak begitu sulit dijejaki. Keseluruhannya terdiri dari jenis-jenis adjektiva (kata yang menjelaskan nomina atau pronomina), adverbia (kata yang menjelaskan verba, adjektiva, adverbia lain, atau kalimat), nomina (kata benda), numeralia (kata bilangan), partikel (kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang), pronomina (kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan kata tanya), dan verba (kata kerja). Jenis kata partikel dalam keseluruhan sila-sila Pancasila diduga berasal dari Melayu (Yang, Dan, Oleh). Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa terdiri dari kata Ketuhanan yang adalah jenis kata nomina (Tuhan) dan yang asal katanya adalah Tuan yang berasal dari bahasa Melayu. Maha (adjektiva) berasal dari bahasa Sanskerta, begitu juga Esa (nomina) dari bahasa yang sama. Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dapat diurai Kemanusiaan (nomina) yang akar katanya adalah manusya (Sanskerta), mens (Latin), man (Inggeris) ma nusiya (Arab). Kata Adil maupun beradab berasal keduanya berasal dari bahasa Arab. Dua kata dari sila ketiga “Persatuan Indonesia” berasal dari bahasa yang berbeda. Persatuan (satu) dari bahasa Melayu atau kemungkinan dapat juga dari akar kata “se itu” (Sanskerta). Sedangkan Indonesia kemungkinan merujuk kepada bahasa Yunani (Hindi-Nesia) atau Latin (Indu) atau Yunani (Nesia). “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan” disumbang oleh bahasa Arab (Kerakyatan dengan akar kata rakyat), dipimpin (Melayu) dengan akar kata pimpin, Hikmat (Arab), Kebijaksanaan (Sanskerta) dengan akar kata vicaksana, Permusyawaratan (syura) berasal dari Bahasa Arab, dan Perwakilan (Wakil) dari bahasa yang sama (Arab). Bahasa-bahasa Arab, Latin, Sanskerta, Melayu dan Yunani memiliki andil untuk pembentukan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan (Adil) dari bahasa Arab, Sosial (Latin), Bagi (bhaga) berasal dari bahasa Sanskerta, Rakyat (Arab) dan Indonesia, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya adalah berasal dari bahasa Yunani atau Latin. Secara keseluruhan di dalam sila-sila Pancasila tercatat andil dari bahasa Melayu yang terdiri dari ketuhanan (namun konsepsi Tuhan dalam hal ini berbasis agama, khususnya Islam), persatuan, pimpin, seluruh, yang, dan, dan oleh. Bahasa Sanskerta menyumbang kemanusiaan, se itu (Satu), kebijaksanaan, dan bagi. Bahasa Latin menyumbang manusia (mens), Indonesia (Indu), sosial. Dari bahasa Yunani ada Hindia-Nesia, dan atau Nesia. Satu sumbangan bahasa Inggeris yakni Manusia (jika ia terukti berasal dari kata man). Bahasa Arab menyumbang ma nusiya, adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, perwakilan, rakyat, keadilan. Terutama kepada mereka yang sembilan orang (Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mr Moehammad Yamin) dan para pendiri bangsa yang lain, kita wajib berterimakasih. Di tangan mereka determinisme nilai-nilai lokal dan nilai-nilai hegemonik dunia diharmonisasikan sedemikian rupa memengaruhi para pendiri bangsa itu dalam merumuskan identitas nasional dan dasar negara. Begitu eloknya penghargaan yang merangsang pertimbangan masyoritas untuk bertenggang rasa tak memancarkan energi penebar rasa waswas bagi yang lain (minoritas) dan malah dengan ihlas menyodorkan persetujuan. Ketika harus dinafikan bahwa mereka para pendiri bangsa itu dengan keputusan bulat tanpa voting pernah bersepakat Indonesia yang akan dimerdekakan itu adalah Negara berkarakteristik Islam, berarti keindonesiaan yang sejati sedang terancam. Sebuah keihlasan berkompromi untuk menanggalkan 7 kata dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tak mungkin tak menjadi monumen sejarah yang amat besar dan amat berharga bagi Indonesia. Itu tak perlu ditangisi oleh sesiapa pun lagi, apalagi tangisannya itu dimaksudkan untuk mendistorsi kebenaran narasi dan isi sejarah. Lalu mengapa kini adu penafsiran dan pertandingan klaim muncul atas kesepakatan yang sudah diselesaikan dengan bijaksana oleh para pendiri bangsa? Siapa yang sedang mengancam dan untuk apa ancaman-ancaman diobral? Semua ini perlu kejujuran dan jiwa besar. Bahwa sekiranya benar dua phobia sedang bergulat (phobia negara dan phobia Islam) di gelanggang, tiadakah jalan musyawarah dan mufakat untuk meredakan pertentangan? Dari semua itu Yudian mestinya tak keliru memahami atau malah ketakutan setelah tahu bahwa andil Islam dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara-bangsa bekas jajahan yang kemudian menjadi Indonesia sungguh tak terhitung. Justru itulah sebetulnya salah satu misi terpenting Yudian, yang adalah mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, di BPIP. Ia dengan bekal keilmuan yang dimiliknya, kesadaran dakwah dan kesadaran sebagai salah seorang pewaris Indonesia, mestinya dapat memberi pencerahan kepada yang keliru selama ini memandang agama, khususnya Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sesekali Yudian juga perlu pergi memperluas wawasan tentang bagaimana agama menjadi determinan penting dalam negara di Amerika yang terus berteriak my vote is my faith atau my faith is my vote, ke Eropa, ke Australia dan bahkan ke China untuk memeriksa konstitusi negara-negara itu agar ia tahu bagaimana agama dominan begitu penting di dalam kehidupan bernegara secara resmi. Ia, kalau alergi, tak usah pergi ke negara-negara Timur Tengah yang sebagiannya menyatakan diri sebagai Negara Islam. Tetapi tidak boleh tidak, Vatikan perlu dilihatnya secara dekat dan bicara dengan Paus. Begitu juga Filipina, Thailand, dan negara-negara tetangga dekat di situ selain ke negara tetangga eks jajahan Inggeris yang menyatakan Islam sebagai Negara meski dengan komposisi penduduk Islam hanya sekitar 67%, yakni Malaysia. Yudian juga sangat perlu berdiskusi dengan banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika yang setelah hampir 30 tahun mengabaikan determinan agama dalam politik internal dan eksternal (international relation) kini mulaimenyesal tak memberi perhatian atas agama yang rupanya demikian dahsyat memengaruhi. Samuel P Huntington dengan Clash of Civilization theorynya di Indonesia dan di negara-negara yang suka gumun (terperangah) kepada Barat umumnya diterima sebagai tesis menakut-nakuti diri karena di sana peta konflik yang dirumuskan, khususnya antara Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang pernah terlibat 200 tahun Perang Salib, begitu tegas. Kan sebetulnya tesis Samuel P Huntington itu sebaiknya dianggap sebagai peta kondisi yang seharusnya mendorong untuk pencarian model dialog Barat (hegemoni kulit putuh yang rasis) dengan Timur yang sejarahnya beroleh pengalaman sejarah buruk dijajah, untuk world harmony. Bukan justru ingin membantu Barat untuk memenangkan pertempuran. Inilah kekeliruan besar banyak ilmuan dan tokoh Indonesia selama ini yang sangat perlu dikoreksi. Yudian tidak perlu diajari bahwa umat Islam Indonesia bukan Alqaeda dan ISIS. Banyak sekali telaahan intelektual Barat dan Timur yang menunjukkan betapa toleran dan pengayomnya umat Islam Indonesia hingga tiada yang lebih baik dari negeri ini dalam hal bersikap dan memperlakukan minoritas. Yudian tentulah tahu, malah dengan sikap toleransi dan pengayomannya itulah umat Islam Indonesia akhirnya seperti maf’ulunbih (pelengkap penderita) dalam kehidupan politik, budaya dan ekonomi. [R] Shohibul Anshor Siregar Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Saya berharap Ketua BPIP Yudian Wahyudi tak menyebutkan bahwa agama musuh terbesar Pancasila. Atau setidaknya, jika media memang tak salah kutip, saya sangat berharap Yudian itu khilaf. Setidaknya perasaan saya mengatakan mungkin Yudian itu mengalami kejadian slip of tongue (selip lidah). Pernyataan “Agama Musuh Terbesar Pancasila” kerap dianggap benar oleh pengusung ideologi-ideologi yang bertentangan diametral dengan agama, agama apa pun itu. Atau yang oleh pengalaman intelektual ateistik atau sekularistiknya orang itu tiba pada sebuah kesimpulan keliru bahwa agama itu tak mungkin dapat bersesuaian dengan Pancasila. Tetapi di atas segalanya, saya kira tak masalah jika saya ajak Yudian membaca kembali risalah persidangan BPUPKI. Di sana, Soekarno sendiri, yang beroleh kesempatan berbicara seolah penutup dari semua pidato, pada tanggal 1 Juni 1945, antara lain memaparkan pandangannya demikian: “Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen, itu adil, – fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”. Yudian mungkin lupa atau sama sekali tidak pernah memiliki akses terhadap sumber-sumber penting proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Seseorang boleh belajar banyak tentang banyak cabang ilmu namun harus dimaklumi juga jika tak pernah merasa penting mempelajari sejarah pembentukan negara-bangsanya. Itu bukan tragedi, hanya sebagai konsekuensi dari sistem pendidikan yang berlaku. Bisa saja malah jika menyimak narasi sebelumnya dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno, Yudian mungkin akan menggigil dan pingsan. Begini kata Bung Karno: Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sini lah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Yudian tentu pernah tahu soal Piagam Djakarta yang kemudian dikukuhkan menjadi Mukaddimah UUD 1945. Di sana Sila Pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal lain yang juga perlu diketahui oleh Yudian ialah bahwa kata demi kata dari seluruh isi Pancasila memiliki keterangan nilai dan sejarah yang tak begitu sulit dijejaki. Keseluruhannya terdiri dari jenis-jenis adjektiva (kata yang menjelaskan nomina atau pronomina), adverbia (kata yang menjelaskan verba, adjektiva, adverbia lain, atau kalimat), nomina (kata benda), numeralia (kata bilangan), partikel (kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang), pronomina (kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan kata tanya), dan verba (kata kerja). Jenis kata partikel dalam keseluruhan sila-sila Pancasila diduga berasal dari Melayu (Yang, Dan, Oleh). Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa terdiri dari kata Ketuhanan yang adalah jenis kata nomina (Tuhan) dan yang asal katanya adalah Tuan yang berasal dari bahasa Melayu. Maha (adjektiva) berasal dari bahasa Sanskerta, begitu juga Esa (nomina) dari bahasa yang sama. Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dapat diurai Kemanusiaan (nomina) yang akar katanya adalah manusya (Sanskerta), mens (Latin), man (Inggeris) ma nusiya (Arab). Kata Adil maupun beradab berasal keduanya berasal dari bahasa Arab. Dua kata dari sila ketiga “Persatuan Indonesia” berasal dari bahasa yang berbeda. Persatuan (satu) dari bahasa Melayu atau kemungkinan dapat juga dari akar kata “se itu” (Sanskerta). Sedangkan Indonesia kemungkinan merujuk kepada bahasa Yunani (Hindi-Nesia) atau Latin (Indu) atau Yunani (Nesia). “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan” disumbang oleh bahasa Arab (Kerakyatan dengan akar kata rakyat), dipimpin (Melayu) dengan akar kata pimpin, Hikmat (Arab), Kebijaksanaan (Sanskerta) dengan akar kata vicaksana, Permusyawaratan (syura) berasal dari Bahasa Arab, dan Perwakilan (Wakil) dari bahasa yang sama (Arab). Bahasa-bahasa Arab, Latin, Sanskerta, Melayu dan Yunani memiliki andil untuk pembentukan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan (Adil) dari bahasa Arab, Sosial (Latin), Bagi (bhaga) berasal dari bahasa Sanskerta, Rakyat (Arab) dan Indonesia, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya adalah berasal dari bahasa Yunani atau Latin. Secara keseluruhan di dalam sila-sila Pancasila tercatat andil dari bahasa Melayu yang terdiri dari ketuhanan (namun konsepsi Tuhan dalam hal ini berbasis agama, khususnya Islam), persatuan, pimpin, seluruh, yang, dan, dan oleh. Bahasa Sanskerta menyumbang kemanusiaan, se itu (Satu), kebijaksanaan, dan bagi. Bahasa Latin menyumbang manusia (mens), Indonesia (Indu), sosial. Dari bahasa Yunani ada Hindia-Nesia, dan atau Nesia. Satu sumbangan bahasa Inggeris yakni Manusia (jika ia terukti berasal dari kata man). Bahasa Arab menyumbang ma nusiya, adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, perwakilan, rakyat, keadilan. Terutama kepada mereka yang sembilan orang (Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mr Moehammad Yamin) dan para pendiri bangsa yang lain, kita wajib berterimakasih. Di tangan mereka determinisme nilai-nilai lokal dan nilai-nilai hegemonik dunia diharmonisasikan sedemikian rupa memengaruhi para pendiri bangsa itu dalam merumuskan identitas nasional dan dasar negara. Begitu eloknya penghargaan yang merangsang pertimbangan masyoritas untuk bertenggang rasa tak memancarkan energi penebar rasa waswas bagi yang lain (minoritas) dan malah dengan ihlas menyodorkan persetujuan. Ketika harus dinafikan bahwa mereka para pendiri bangsa itu dengan keputusan bulat tanpa voting pernah bersepakat Indonesia yang akan dimerdekakan itu adalah Negara berkarakteristik Islam, berarti keindonesiaan yang sejati sedang terancam. Sebuah keihlasan berkompromi untuk menanggalkan 7 kata dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tak mungkin tak menjadi monumen sejarah yang amat besar dan amat berharga bagi Indonesia. Itu tak perlu ditangisi oleh sesiapa pun lagi, apalagi tangisannya itu dimaksudkan untuk mendistorsi kebenaran narasi dan isi sejarah. Lalu mengapa kini adu penafsiran dan pertandingan klaim muncul atas kesepakatan yang sudah diselesaikan dengan bijaksana oleh para pendiri bangsa? Siapa yang sedang mengancam dan untuk apa ancaman-ancaman diobral? Semua ini perlu kejujuran dan jiwa besar. Bahwa sekiranya benar dua phobia sedang bergulat (phobia negara dan phobia Islam) di gelanggang, tiadakah jalan musyawarah dan mufakat untuk meredakan pertentangan? Dari semua itu Yudian mestinya tak keliru memahami atau malah ketakutan setelah tahu bahwa andil Islam dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara-bangsa bekas jajahan yang kemudian menjadi Indonesia sungguh tak terhitung. Justru itulah sebetulnya salah satu misi terpenting Yudian, yang adalah mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, di BPIP. Ia dengan bekal keilmuan yang dimiliknya, kesadaran dakwah dan kesadaran sebagai salah seorang pewaris Indonesia, mestinya dapat memberi pencerahan kepada yang keliru selama ini memandang agama, khususnya Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sesekali Yudian juga perlu pergi memperluas wawasan tentang bagaimana agama menjadi determinan penting dalam negara di Amerika yang terus berteriak my vote is my faith atau my faith is my vote, ke Eropa, ke Australia dan bahkan ke China untuk memeriksa konstitusi negara-negara itu agar ia tahu bagaimana agama dominan begitu penting di dalam kehidupan bernegara secara resmi. Ia, kalau alergi, tak usah pergi ke negara-negara Timur Tengah yang sebagiannya menyatakan diri sebagai Negara Islam. Tetapi tidak boleh tidak, Vatikan perlu dilihatnya secara dekat dan bicara dengan Paus. Begitu juga Filipina, Thailand, dan negara-negara tetangga dekat di situ selain ke negara tetangga eks jajahan Inggeris yang menyatakan Islam sebagai Negara meski dengan komposisi penduduk Islam hanya sekitar 67%, yakni Malaysia. Yudian juga sangat perlu berdiskusi dengan banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika yang setelah hampir 30 tahun mengabaikan determinan agama dalam politik internal dan eksternal (international relation) kini mulaimenyesal tak memberi perhatian atas agama yang rupanya demikian dahsyat memengaruhi. Samuel P Huntington dengan Clash of Civilization theorynya di Indonesia dan di negara-negara yang suka gumun (terperangah) kepada Barat umumnya diterima sebagai tesis menakut-nakuti diri karena di sana peta konflik yang dirumuskan, khususnya antara Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang pernah terlibat 200 tahun Perang Salib, begitu tegas. Kan sebetulnya tesis Samuel P Huntington itu sebaiknya dianggap sebagai peta kondisi yang seharusnya mendorong untuk pencarian model dialog Barat (hegemoni kulit putuh yang rasis) dengan Timur yang sejarahnya beroleh pengalaman sejarah buruk dijajah, untuk world harmony. Bukan justru ingin membantu Barat untuk memenangkan pertempuran. Inilah kekeliruan besar banyak ilmuan dan tokoh Indonesia selama ini yang sangat perlu dikoreksi. Yudian tidak perlu diajari bahwa umat Islam Indonesia bukan Alqaeda dan ISIS. Banyak sekali telaahan intelektual Barat dan Timur yang menunjukkan betapa toleran dan pengayomnya umat Islam Indonesia hingga tiada yang lebih baik dari negeri ini dalam hal bersikap dan memperlakukan minoritas. Yudian tentulah tahu, malah dengan sikap toleransi dan pengayomannya itulah umat Islam Indonesia akhirnya seperti maf’ulunbih (pelengkap penderita) dalam kehidupan politik, budaya dan ekonomi. Shohibul Anshor Siregar Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)© Copyright 2024, All Rights Reserved