AHMAD Riza Patria akhirnya terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan rekan se-partainya di Gerindra Sandiaga Uno. Riza Patria menang atas Nurmansjah Lubis dari PKS lewat mekanisme voting tertutup para pemilik suara. Pada pemilihan tersebut, dari total 106 orang di DPRD DKI Jakarta, sebanyak 100 anggota menggunakan hak pilihnya pada Senin 6 April 2020 Riza Patria meraih suara 81 suara, sedangkan Nurmanjah Lubis hanya mendapatakan 17 suara. Suara tidak sah sebanyak 2 orang. Pasca keberhasilan Gerindra mendudukkan Riza Patria di kursi DKI 2. Linimasa media sosial kemudian diriuhkan oleh pemberitaan beberapa waktu lalu, yang menuliskan bahwa dua elit Gerindra, baik Prabowo maupun Sandi berkali-kali menegaskan bahwa kursi wakil gubernur menjadi jatah PKS. Tapi apa daya, komitmen sudah kadung diucapkan dan hasilnya kesepakatan itu ternyata sirna. Gerindra lebih memilih ingkar dan menyerahkan kursi wakil pada kadernya, Riza Patria. Wajar PKS meradang. Merasa dikhianati dan kecewa pada Prabowo. Sebab, selama ini PKS selalu senantiasa menjadikan Gerindra sebagai sahabat strategis di 2 (dua) kali Pilpres dan banyak Pilkada. Sebaliknya, justru Gerindra hanya menganggap PKS sebagai teman taktis dalam proses elektoral. Tidak lebih. Apalagi setelah Prabowo bergabung dengan koalisi Jokowi dan meninggalkan PKS sendirian membuat kekecewaan itu sebelumnya sudah ada. Malang bagi PKS, pada proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta kemarin tak bisa berbuat banyak. PKS yang memiliki 16 kursi bahkan hanya bisa menambah 1 suara untuk raihan 17 suara Nurmanjah Lubis. Artinya semua partai politik koalisi pemerintah seperti : PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PSI hingga PPP memilih bergabung dengan koalisi yang dibangun Partai Gerindra. Tidak hanya itu saja, PAN dan Demokrat pun sama saja, sama-sama ogah bergabung dengan PKS di pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pada bacaan saya, ini tidak hanya soal pertarungan posisi wakil gubernur DKI yang akan habis periode di tahun 2022. Jauh daripada itu ini soal langkah strategis Partai Gerindra dan Prabowo menuju Pilpres 2024. Semua orang tahu tentang ambisi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin menjadi presiden. Itu sudah lama terpendam dalam hatinya, sejak Anies ikut menjadi peserta Konvensi Calon Partai Demokrat yang dilaksanakan tahun 2014 yang lalu. Waktu itu, Anies bersaing dengan 10 nama untuk dirilis Partai Demokrat menjadi calon presiden mereka. Termasuk : Dahlan Iskan, Marzuki Alie, Pramono Edhi, Gita Wijawan, Haryono Isman, Dino Patti Djalal, Irman Gusman, Sarundajang, Ali Masykur dan Endriartono Sutarto. Pada konvensi tersebut akhirnya dimenangkan oleh Dahlan Iskan sebagai calon presiden dari Demokrat. Namun, karena alasan suara Demokrat tidak memenuhi angka 20% presidential threshold (ambang batas calon presiden). Pun karena gagalnya partai berlambang merci tersebut menggalang koalisi, membuat Demokrat memilih netral. Tidak ke pasangan Jokowi-JK atau tidak pula ke pasangan Prabowo-Hatta secara kelembagaan partai. Singkatnya, pasca kalah di konvensi, Anies lalu memilih bergabung mendukung pasangan Jokowi-JK. Setelah Jokowi menang, Anies diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan berakhir dengan pemecatan di tahun 2016. Pasca diberhentikan oleh Jokowi, Anies yang didampingi Sandi kemudian maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2016 dengan usungan Partai Gerindra dan PKS. Pasangan Anies-Sandi akhirnya menang dan terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022. Soal kekuasaan harus diakui penciuman Anies sangat tajam. Ia sudah menang berkali-kali, dalam pertarungan sejak masih menjadi mahasiswa. Anies adalah ketua senat UGM tahun 1992. Pun sebagai akademisi, Anies pernah pula mempecundangi Yudi Latif dalam pemilihan rektor di Universitas Paramadina tahun 2007. Seorang Prabowo tentu paham isi hati Anies Baswedan. Setidaknya secara semiotik, pernah diucapkan Prabowo sendiri pada peringatan hari jadi Partai Gerindra yang ke-12. "Yang saya hormati, Gubernur Jakarta Bapak Anies Baswedan, walaupun tidak resmi menjadi kader Gerindra, tapi hatinya...." Ucap Prabowo secara verbatim waktu itu (6/2). "Gerindra !!!" jawab kader yang hadir. "Kira-kira begitu !" timpal Prabowo. Anies tentu bukan siapa-siapa di Gerindra. Ia bukan kader partai. Tapi elektabilitas pada rilis pelbagai lembaga survei, nama Anies bercokol diurutan kedua setelah Prabowo untuk capres potensial calon presiden 2024 mendatang. Artinya bila Anies tidak dijaga, Ia berpotensi merusak harapan Prabowo di Pilpres mendatang. Prabowo tentu tidak mau lagi dikhianati, sebab sudah berkali-kali Ia dibohongi. Mulai dari ingkarnya Megawati Sokearnoputri dalam perjanjian batu tulis. Kemudian munculnya nama Jokowi sebagai Calon Presiden 2014, yang mana Jokowi sendiri adalah orang yang didukungnya di Pilkada Jakarta 2012. Hingga pengingkaran yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang juga didukung oleh Prabowo dan Gerindra menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012. Kenapa Riza Patria yang calonkan Partai Gerindra di Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta ? Pada hal ini, setidaknya ada tiga asumsi yang bisa diambil : Pertama, Riza Patria memang disiapkan untuk mengawal Anies dari Balai Kota, yang mana keduanya sejak mahasiswa, berasal dari organisasi sama yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pun sebagai sesama kader HMI, sedikit banyak Riza Patria bisa membaca arah dan pergerakan Anies. Kemampuan Riza dalam mengelola organisasi setidaknya bisa mengawal isu-isu yang ada di Jakarta. Apalagi, ditengah pandemi saat ini yang banyak menyorot wajah Jakarta sebagai episentrum pandemi Covid 19. Kedua, Riza Partria dipasang Gerindra tujuannya sebagai alarm bagi Anies terkait PKS dan ambisi capres 2024. Sebab, PKS saat ini tentu membutuhkan tokoh untuk mendulang suara untuk Pemilu 2024. Pun Anies menjadi sosok alternatif utama patron bagi PKS, mengingat sejak bergabungnya Prabowo ke pemerintahan. Basis-basis pendukung loyal Prabowo dan PKS banyak yang kecewa, sudah bergeser mendukung Anies. Ketiga, Riza Patria tentu mampu memberi garansi akan loyalitasnya pada Prabowo. Utamanya dalam pembagian tugas pemerintahan di DKI Jakarta yang selama ini yang hanya menyorot wajah Anies di media. Hati Anies Baswedan kemana, Prabowo yang tahu. Itu sebabnya, Prabowo memilih mengkhianati komitmennya terhadap PKS dan mendudukkan kadernya Riza Patria. Karena Prabowo tahu, bila maju kembali, lawannya di 2024 tidak lagi Jokowi tapi Anies Baswedan. Anwar Saragih, Dosen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
AHMAD Riza Patria akhirnya terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan rekan se-partainya di Gerindra Sandiaga Uno. Riza Patria menang atas Nurmansjah Lubis dari PKS lewat mekanisme voting tertutup para pemilik suara. Pada pemilihan tersebut, dari total 106 orang di DPRD DKI Jakarta, sebanyak 100 anggota menggunakan hak pilihnya pada Senin 6 April 2020 Riza Patria meraih suara 81 suara, sedangkan Nurmanjah Lubis hanya mendapatakan 17 suara. Suara tidak sah sebanyak 2 orang. Pasca keberhasilan Gerindra mendudukkan Riza Patria di kursi DKI 2. Linimasa media sosial kemudian diriuhkan oleh pemberitaan beberapa waktu lalu, yang menuliskan bahwa dua elit Gerindra, baik Prabowo maupun Sandi berkali-kali menegaskan bahwa kursi wakil gubernur menjadi jatah PKS. Tapi apa daya, komitmen sudah kadung diucapkan dan hasilnya kesepakatan itu ternyata sirna. Gerindra lebih memilih ingkar dan menyerahkan kursi wakil pada kadernya, Riza Patria. Wajar PKS meradang. Merasa dikhianati dan kecewa pada Prabowo. Sebab, selama ini PKS selalu senantiasa menjadikan Gerindra sebagai sahabat strategis di 2 (dua) kali Pilpres dan banyak Pilkada. Sebaliknya, justru Gerindra hanya menganggap PKS sebagai teman taktis dalam proses elektoral. Tidak lebih. Apalagi setelah Prabowo bergabung dengan koalisi Jokowi dan meninggalkan PKS sendirian membuat kekecewaan itu sebelumnya sudah ada. Malang bagi PKS, pada proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta kemarin tak bisa berbuat banyak. PKS yang memiliki 16 kursi bahkan hanya bisa menambah 1 suara untuk raihan 17 suara Nurmanjah Lubis. Artinya semua partai politik koalisi pemerintah seperti : PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PSI hingga PPP memilih bergabung dengan koalisi yang dibangun Partai Gerindra. Tidak hanya itu saja, PAN dan Demokrat pun sama saja, sama-sama ogah bergabung dengan PKS di pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pada bacaan saya, ini tidak hanya soal pertarungan posisi wakil gubernur DKI yang akan habis periode di tahun 2022. Jauh daripada itu ini soal langkah strategis Partai Gerindra dan Prabowo menuju Pilpres 2024. Semua orang tahu tentang ambisi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin menjadi presiden. Itu sudah lama terpendam dalam hatinya, sejak Anies ikut menjadi peserta Konvensi Calon Partai Demokrat yang dilaksanakan tahun 2014 yang lalu. Waktu itu, Anies bersaing dengan 10 nama untuk dirilis Partai Demokrat menjadi calon presiden mereka. Termasuk : Dahlan Iskan, Marzuki Alie, Pramono Edhi, Gita Wijawan, Haryono Isman, Dino Patti Djalal, Irman Gusman, Sarundajang, Ali Masykur dan Endriartono Sutarto. Pada konvensi tersebut akhirnya dimenangkan oleh Dahlan Iskan sebagai calon presiden dari Demokrat. Namun, karena alasan suara Demokrat tidak memenuhi angka 20% presidential threshold (ambang batas calon presiden). Pun karena gagalnya partai berlambang merci tersebut menggalang koalisi, membuat Demokrat memilih netral. Tidak ke pasangan Jokowi-JK atau tidak pula ke pasangan Prabowo-Hatta secara kelembagaan partai. Singkatnya, pasca kalah di konvensi, Anies lalu memilih bergabung mendukung pasangan Jokowi-JK. Setelah Jokowi menang, Anies diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan berakhir dengan pemecatan di tahun 2016. Pasca diberhentikan oleh Jokowi, Anies yang didampingi Sandi kemudian maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2016 dengan usungan Partai Gerindra dan PKS. Pasangan Anies-Sandi akhirnya menang dan terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022. Soal kekuasaan harus diakui penciuman Anies sangat tajam. Ia sudah menang berkali-kali, dalam pertarungan sejak masih menjadi mahasiswa. Anies adalah ketua senat UGM tahun 1992. Pun sebagai akademisi, Anies pernah pula mempecundangi Yudi Latif dalam pemilihan rektor di Universitas Paramadina tahun 2007. Seorang Prabowo tentu paham isi hati Anies Baswedan. Setidaknya secara semiotik, pernah diucapkan Prabowo sendiri pada peringatan hari jadi Partai Gerindra yang ke-12. "Yang saya hormati, Gubernur Jakarta Bapak Anies Baswedan, walaupun tidak resmi menjadi kader Gerindra, tapi hatinya...." Ucap Prabowo secara verbatim waktu itu (6/2). "Gerindra !!!" jawab kader yang hadir. "Kira-kira begitu !" timpal Prabowo. Anies tentu bukan siapa-siapa di Gerindra. Ia bukan kader partai. Tapi elektabilitas pada rilis pelbagai lembaga survei, nama Anies bercokol diurutan kedua setelah Prabowo untuk capres potensial calon presiden 2024 mendatang. Artinya bila Anies tidak dijaga, Ia berpotensi merusak harapan Prabowo di Pilpres mendatang. Prabowo tentu tidak mau lagi dikhianati, sebab sudah berkali-kali Ia dibohongi. Mulai dari ingkarnya Megawati Sokearnoputri dalam perjanjian batu tulis. Kemudian munculnya nama Jokowi sebagai Calon Presiden 2014, yang mana Jokowi sendiri adalah orang yang didukungnya di Pilkada Jakarta 2012. Hingga pengingkaran yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang juga didukung oleh Prabowo dan Gerindra menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012. Kenapa Riza Patria yang calonkan Partai Gerindra di Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta ? Pada hal ini, setidaknya ada tiga asumsi yang bisa diambil : Pertama, Riza Patria memang disiapkan untuk mengawal Anies dari Balai Kota, yang mana keduanya sejak mahasiswa, berasal dari organisasi sama yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pun sebagai sesama kader HMI, sedikit banyak Riza Patria bisa membaca arah dan pergerakan Anies. Kemampuan Riza dalam mengelola organisasi setidaknya bisa mengawal isu-isu yang ada di Jakarta. Apalagi, ditengah pandemi saat ini yang banyak menyorot wajah Jakarta sebagai episentrum pandemi Covid 19. Kedua, Riza Partria dipasang Gerindra tujuannya sebagai alarm bagi Anies terkait PKS dan ambisi capres 2024. Sebab, PKS saat ini tentu membutuhkan tokoh untuk mendulang suara untuk Pemilu 2024. Pun Anies menjadi sosok alternatif utama patron bagi PKS, mengingat sejak bergabungnya Prabowo ke pemerintahan. Basis-basis pendukung loyal Prabowo dan PKS banyak yang kecewa, sudah bergeser mendukung Anies. Ketiga, Riza Patria tentu mampu memberi garansi akan loyalitasnya pada Prabowo. Utamanya dalam pembagian tugas pemerintahan di DKI Jakarta yang selama ini yang hanya menyorot wajah Anies di media. Hati Anies Baswedan kemana, Prabowo yang tahu. Itu sebabnya, Prabowo memilih mengkhianati komitmennya terhadap PKS dan mendudukkan kadernya Riza Patria. Karena Prabowo tahu, bila maju kembali, lawannya di 2024 tidak lagi Jokowi tapi Anies Baswedan. Anwar Saragih, Dosen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara© Copyright 2024, All Rights Reserved