Syahrial menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu berulang kali diterpa isu miring mulai dari 14 juta orang tidak waras atau tunagrahita masuk daftar pemilih tetap (DPT), kotak suara kardus hingga 7 kontainer surat suara yang tercoblos.
Ia menyebut KPU pertama kali diterpas isu tentang adanya 14 juta orang gila atau tunagrahita yang masuk DPT. Namun, setelah diteliti jumla tunagrahita yang masuk DPT nasional hanya 54.290 jiwa.
\"Jika dipersentasekan 0,28 %, tidak sampai 1 %. Di sumut dari 9.785 ribu lebih jumlah DPT. Orang yang dianggap tuna grahita atau kurang waras hanya 1.714 jiwa, sangat sedikit,\" paparnya.
Dimasukkannya tunagrahita kedalam DPT, diakuinya sudah berdasarkan ketentuan yang ada mulai dari UU hingga P-KPU. \"Ada juga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut bahwa tunagrahita tidak dicabut hak politiknya. Selain itu ada juga rekomendasi Bawaslu,\" paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JaDI Sumut, Nazir Salim Manik, menilai ada perbedaan atau isu yang muncul saat pemilu saat ini dengan pemilu sebelumnya. Di mana, dahulu literasi menyerang individu. Sedangkan saat ini merambahnke instansi. \"Isu hoax terus berganti mulai dari kotak suara kardus, kertas suara tercoblos. Besok kita tidak tahu apalagi isu hoax yang akan muncul,\" sebutnya.
Diakuinya, informasi hoax akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Selain itu, menggunakan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan tidak terpuji.
Mantan Komisioner Sumut ini meminta para penyelenggara pemilu untuk netral. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan upaya pemerintah untuk membangun demokrasi di Indonesia.
\"Apapun hasilnya semua peserta pemilu harus menerimanya. Bukan hanya siap menang tapi juga siap kalah. Selain itu hasil pemilu jangan sampai membuat masyarakat terbelah, karena apapun hasilnya kita semua tetap bersaudara,\" katanya.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Presidium JaDI Sumut, Aulia Andri. Anggota JaDi Sumut, Yeni Rambe serta Wakil Rektor III, Muhazul." itemprop="description"/>
Syahrial menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu berulang kali diterpa isu miring mulai dari 14 juta orang tidak waras atau tunagrahita masuk daftar pemilih tetap (DPT), kotak suara kardus hingga 7 kontainer surat suara yang tercoblos.
Ia menyebut KPU pertama kali diterpas isu tentang adanya 14 juta orang gila atau tunagrahita yang masuk DPT. Namun, setelah diteliti jumla tunagrahita yang masuk DPT nasional hanya 54.290 jiwa.
\"Jika dipersentasekan 0,28 %, tidak sampai 1 %. Di sumut dari 9.785 ribu lebih jumlah DPT. Orang yang dianggap tuna grahita atau kurang waras hanya 1.714 jiwa, sangat sedikit,\" paparnya.
Dimasukkannya tunagrahita kedalam DPT, diakuinya sudah berdasarkan ketentuan yang ada mulai dari UU hingga P-KPU. \"Ada juga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut bahwa tunagrahita tidak dicabut hak politiknya. Selain itu ada juga rekomendasi Bawaslu,\" paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JaDI Sumut, Nazir Salim Manik, menilai ada perbedaan atau isu yang muncul saat pemilu saat ini dengan pemilu sebelumnya. Di mana, dahulu literasi menyerang individu. Sedangkan saat ini merambahnke instansi. \"Isu hoax terus berganti mulai dari kotak suara kardus, kertas suara tercoblos. Besok kita tidak tahu apalagi isu hoax yang akan muncul,\" sebutnya.
Diakuinya, informasi hoax akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Selain itu, menggunakan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan tidak terpuji.
Mantan Komisioner Sumut ini meminta para penyelenggara pemilu untuk netral. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan upaya pemerintah untuk membangun demokrasi di Indonesia.
\"Apapun hasilnya semua peserta pemilu harus menerimanya. Bukan hanya siap menang tapi juga siap kalah. Selain itu hasil pemilu jangan sampai membuat masyarakat terbelah, karena apapun hasilnya kita semua tetap bersaudara,\" katanya.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Presidium JaDI Sumut, Aulia Andri. Anggota JaDi Sumut, Yeni Rambe serta Wakil Rektor III, Muhazul."/>
Syahrial menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu berulang kali diterpa isu miring mulai dari 14 juta orang tidak waras atau tunagrahita masuk daftar pemilih tetap (DPT), kotak suara kardus hingga 7 kontainer surat suara yang tercoblos.
Ia menyebut KPU pertama kali diterpas isu tentang adanya 14 juta orang gila atau tunagrahita yang masuk DPT. Namun, setelah diteliti jumla tunagrahita yang masuk DPT nasional hanya 54.290 jiwa.
\"Jika dipersentasekan 0,28 %, tidak sampai 1 %. Di sumut dari 9.785 ribu lebih jumlah DPT. Orang yang dianggap tuna grahita atau kurang waras hanya 1.714 jiwa, sangat sedikit,\" paparnya.
Dimasukkannya tunagrahita kedalam DPT, diakuinya sudah berdasarkan ketentuan yang ada mulai dari UU hingga P-KPU. \"Ada juga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut bahwa tunagrahita tidak dicabut hak politiknya. Selain itu ada juga rekomendasi Bawaslu,\" paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JaDI Sumut, Nazir Salim Manik, menilai ada perbedaan atau isu yang muncul saat pemilu saat ini dengan pemilu sebelumnya. Di mana, dahulu literasi menyerang individu. Sedangkan saat ini merambahnke instansi. \"Isu hoax terus berganti mulai dari kotak suara kardus, kertas suara tercoblos. Besok kita tidak tahu apalagi isu hoax yang akan muncul,\" sebutnya.
Diakuinya, informasi hoax akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Selain itu, menggunakan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan tidak terpuji.
Mantan Komisioner Sumut ini meminta para penyelenggara pemilu untuk netral. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan upaya pemerintah untuk membangun demokrasi di Indonesia.
\"Apapun hasilnya semua peserta pemilu harus menerimanya. Bukan hanya siap menang tapi juga siap kalah. Selain itu hasil pemilu jangan sampai membuat masyarakat terbelah, karena apapun hasilnya kita semua tetap bersaudara,\" katanya.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Presidium JaDI Sumut, Aulia Andri. Anggota JaDi Sumut, Yeni Rambe serta Wakil Rektor III, Muhazul."/>
Informasi bohong alias hoax yang terus terjadi seputar Pemilu 2019 harus dilawan secara bersama. Sebab, informasi tersebut cenderung hanya akan membuat masyarakat menjadi tidak simpatik terhadap pelaksanaan pemilu yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak.
Demikian disampaikan Komisioner KPU Sumatera Utara, Syafrial Syah dalam diskusi 'Tolak Hoax dan Lawan Politisasi SARA' di Kampus Universitas Medan Area, Medan, Rabu (9/1/2019).
"Lawan terus hoax, karena itu harga mati. Kritisi silahkan. Tapi sehat dan membangun. Kedepan atau pemilu 2019 berjalan dengan baik," katanya.
Syahrial menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu berulang kali diterpa isu miring mulai dari 14 juta orang tidak waras atau tunagrahita masuk daftar pemilih tetap (DPT), kotak suara kardus hingga 7 kontainer surat suara yang tercoblos.
Ia menyebut KPU pertama kali diterpas isu tentang adanya 14 juta orang gila atau tunagrahita yang masuk DPT. Namun, setelah diteliti jumla tunagrahita yang masuk DPT nasional hanya 54.290 jiwa.
"Jika dipersentasekan 0,28 %, tidak sampai 1 %. Di sumut dari 9.785 ribu lebih jumlah DPT. Orang yang dianggap tuna grahita atau kurang waras hanya 1.714 jiwa, sangat sedikit," paparnya.
Dimasukkannya tunagrahita kedalam DPT, diakuinya sudah berdasarkan ketentuan yang ada mulai dari UU hingga P-KPU. "Ada juga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut bahwa tunagrahita tidak dicabut hak politiknya. Selain itu ada juga rekomendasi Bawaslu," paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JaDI Sumut, Nazir Salim Manik, menilai ada perbedaan atau isu yang muncul saat pemilu saat ini dengan pemilu sebelumnya. Di mana, dahulu literasi menyerang individu. Sedangkan saat ini merambahnke instansi. "Isu hoax terus berganti mulai dari kotak suara kardus, kertas suara tercoblos. Besok kita tidak tahu apalagi isu hoax yang akan muncul," sebutnya.
Diakuinya, informasi hoax akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Selain itu, menggunakan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan tidak terpuji.
Mantan Komisioner Sumut ini meminta para penyelenggara pemilu untuk netral. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan upaya pemerintah untuk membangun demokrasi di Indonesia.
"Apapun hasilnya semua peserta pemilu harus menerimanya. Bukan hanya siap menang tapi juga siap kalah. Selain itu hasil pemilu jangan sampai membuat masyarakat terbelah, karena apapun hasilnya kita semua tetap bersaudara," katanya.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Presidium JaDI Sumut, Aulia Andri. Anggota JaDi Sumut, Yeni Rambe serta Wakil Rektor III, Muhazul.
Informasi bohong alias hoax yang terus terjadi seputar Pemilu 2019 harus dilawan secara bersama. Sebab, informasi tersebut cenderung hanya akan membuat masyarakat menjadi tidak simpatik terhadap pelaksanaan pemilu yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak.
Demikian disampaikan Komisioner KPU Sumatera Utara, Syafrial Syah dalam diskusi 'Tolak Hoax dan Lawan Politisasi SARA' di Kampus Universitas Medan Area, Medan, Rabu (9/1/2019).
"Lawan terus hoax, karena itu harga mati. Kritisi silahkan. Tapi sehat dan membangun. Kedepan atau pemilu 2019 berjalan dengan baik," katanya.
Syahrial menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu berulang kali diterpa isu miring mulai dari 14 juta orang tidak waras atau tunagrahita masuk daftar pemilih tetap (DPT), kotak suara kardus hingga 7 kontainer surat suara yang tercoblos.
Ia menyebut KPU pertama kali diterpas isu tentang adanya 14 juta orang gila atau tunagrahita yang masuk DPT. Namun, setelah diteliti jumla tunagrahita yang masuk DPT nasional hanya 54.290 jiwa.
"Jika dipersentasekan 0,28 %, tidak sampai 1 %. Di sumut dari 9.785 ribu lebih jumlah DPT. Orang yang dianggap tuna grahita atau kurang waras hanya 1.714 jiwa, sangat sedikit," paparnya.
Dimasukkannya tunagrahita kedalam DPT, diakuinya sudah berdasarkan ketentuan yang ada mulai dari UU hingga P-KPU. "Ada juga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebut bahwa tunagrahita tidak dicabut hak politiknya. Selain itu ada juga rekomendasi Bawaslu," paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif JaDI Sumut, Nazir Salim Manik, menilai ada perbedaan atau isu yang muncul saat pemilu saat ini dengan pemilu sebelumnya. Di mana, dahulu literasi menyerang individu. Sedangkan saat ini merambahnke instansi. "Isu hoax terus berganti mulai dari kotak suara kardus, kertas suara tercoblos. Besok kita tidak tahu apalagi isu hoax yang akan muncul," sebutnya.
Diakuinya, informasi hoax akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Selain itu, menggunakan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan tidak terpuji.
Mantan Komisioner Sumut ini meminta para penyelenggara pemilu untuk netral. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan upaya pemerintah untuk membangun demokrasi di Indonesia.
"Apapun hasilnya semua peserta pemilu harus menerimanya. Bukan hanya siap menang tapi juga siap kalah. Selain itu hasil pemilu jangan sampai membuat masyarakat terbelah, karena apapun hasilnya kita semua tetap bersaudara," katanya.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Presidium JaDI Sumut, Aulia Andri. Anggota JaDi Sumut, Yeni Rambe serta Wakil Rektor III, Muhazul.