Hal ini disampaikannya pada Fokus Grup Diskusi \"Solusi Meningkatkan Harga dan Ekspor Karet Guna Meningkatkan Sumber Devisa Negara dan Kesejahteraan Petani\" di Hotel Antares Medan, Senin (11/11).
\"Yang pertama kita selalu mendorong agar petani karet dapat membentuk kelompok tani. Melalui kelompok tani ini kita memberikan penyuluhan agar mereka dapat menghasilkan getah atau bahan olah karet (bokar) yang bersih. Karena harganya akan lebih tinggi dibanding bokar yang belum bersih,\" katanya.
Selain persoalan mutu bokar, persoalan lain yang juga membuat harga karet ditingkat petani kerap rendah yakni karena mata rantai perdagangan yang harus mereka lalui dalam menjual getah karet mereka. Sampai saat ini menurut Edy, petani belum menjual langsung bokar mereka kepada pabrik, melainkan terlebih dahulu melalui pedagang kecil, yang diteruskan kepada pedagang sedang dan ke pedagang besar.
\"Sistem ijon ini membuat harga pada tingkat petani itu terus berada pada posisi harga paling murah. Nah, jika sudah terbentuk kelompok tani dan hasil bokar-nya sudah bersih, maka Gapkindo bisa memfasilitasi mereka langsung menjual ke pabrik. Tentu pemangkasan mata rantai perdagangan ini akan membuat harga yang mereka peroleh menjadi lebih tinggi,\" ujarnya.
Dua persoalan ini menurut Edy juga belum cukup untuk mendorong peningkatan harga di tingkat petani karet. Persoalan harga karet secara global, menurutnya juga masih memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi ini. Saat ini, persentase ekspor karet Indonesia masih sangat tinggi yakni mencapai 85 persen secara nasional. Khusus dari Sumatera Utara, bahkan 90 persen karet masih diekspor akibat minimnya serapan karet di dalam negeri. Dengan tingginya persentase ekspor tersebut, maka harga karet menurut Edy akan ditentukan oleh pasar global. Dalam hal inilah pemerintah Indonesia menurutnya perlu menjalin koordinasi dengan negara-negara produsen karet lainnya seperti Malaysia dan Thailand untuk menetapkan standart harga keekonomian.
\"Saat ini standart harga keekonomian adalan 1,8 US dollar untuk barang ekspor, namun untuk karet masih 1,3 US Dollar. Dan kita melihat end user masih belum menunjukkan keinginan untuk membeli karet pada harga keekonomian itu,\" ungkapnya.
Karena itulah pihaknya berharap pemerintah segera menjalin kesepakatan internasional dengan negara lain terkait standart harga karet tersebut disamping adanya upaya untuk meningkatkan serapan karet di dalam negeri.
\"Saat ini serapan karet kita yang terbesar itu masih hanya untuk industri ban. Nah, kita mendorong agar pemerintah membangun industri-industri karet khususnya pada daerah-daerah penghasil karet terbesar di dalam negeri dengan mengundang investor,\" pungkasnya.[R]
" itemprop="description"/>Hal ini disampaikannya pada Fokus Grup Diskusi \"Solusi Meningkatkan Harga dan Ekspor Karet Guna Meningkatkan Sumber Devisa Negara dan Kesejahteraan Petani\" di Hotel Antares Medan, Senin (11/11).
\"Yang pertama kita selalu mendorong agar petani karet dapat membentuk kelompok tani. Melalui kelompok tani ini kita memberikan penyuluhan agar mereka dapat menghasilkan getah atau bahan olah karet (bokar) yang bersih. Karena harganya akan lebih tinggi dibanding bokar yang belum bersih,\" katanya.
Selain persoalan mutu bokar, persoalan lain yang juga membuat harga karet ditingkat petani kerap rendah yakni karena mata rantai perdagangan yang harus mereka lalui dalam menjual getah karet mereka. Sampai saat ini menurut Edy, petani belum menjual langsung bokar mereka kepada pabrik, melainkan terlebih dahulu melalui pedagang kecil, yang diteruskan kepada pedagang sedang dan ke pedagang besar.
\"Sistem ijon ini membuat harga pada tingkat petani itu terus berada pada posisi harga paling murah. Nah, jika sudah terbentuk kelompok tani dan hasil bokar-nya sudah bersih, maka Gapkindo bisa memfasilitasi mereka langsung menjual ke pabrik. Tentu pemangkasan mata rantai perdagangan ini akan membuat harga yang mereka peroleh menjadi lebih tinggi,\" ujarnya.
Dua persoalan ini menurut Edy juga belum cukup untuk mendorong peningkatan harga di tingkat petani karet. Persoalan harga karet secara global, menurutnya juga masih memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi ini. Saat ini, persentase ekspor karet Indonesia masih sangat tinggi yakni mencapai 85 persen secara nasional. Khusus dari Sumatera Utara, bahkan 90 persen karet masih diekspor akibat minimnya serapan karet di dalam negeri. Dengan tingginya persentase ekspor tersebut, maka harga karet menurut Edy akan ditentukan oleh pasar global. Dalam hal inilah pemerintah Indonesia menurutnya perlu menjalin koordinasi dengan negara-negara produsen karet lainnya seperti Malaysia dan Thailand untuk menetapkan standart harga keekonomian.
\"Saat ini standart harga keekonomian adalan 1,8 US dollar untuk barang ekspor, namun untuk karet masih 1,3 US Dollar. Dan kita melihat end user masih belum menunjukkan keinginan untuk membeli karet pada harga keekonomian itu,\" ungkapnya.
Karena itulah pihaknya berharap pemerintah segera menjalin kesepakatan internasional dengan negara lain terkait standart harga karet tersebut disamping adanya upaya untuk meningkatkan serapan karet di dalam negeri.
\"Saat ini serapan karet kita yang terbesar itu masih hanya untuk industri ban. Nah, kita mendorong agar pemerintah membangun industri-industri karet khususnya pada daerah-daerah penghasil karet terbesar di dalam negeri dengan mengundang investor,\" pungkasnya.[R]
"/>Hal ini disampaikannya pada Fokus Grup Diskusi \"Solusi Meningkatkan Harga dan Ekspor Karet Guna Meningkatkan Sumber Devisa Negara dan Kesejahteraan Petani\" di Hotel Antares Medan, Senin (11/11).
\"Yang pertama kita selalu mendorong agar petani karet dapat membentuk kelompok tani. Melalui kelompok tani ini kita memberikan penyuluhan agar mereka dapat menghasilkan getah atau bahan olah karet (bokar) yang bersih. Karena harganya akan lebih tinggi dibanding bokar yang belum bersih,\" katanya.
Selain persoalan mutu bokar, persoalan lain yang juga membuat harga karet ditingkat petani kerap rendah yakni karena mata rantai perdagangan yang harus mereka lalui dalam menjual getah karet mereka. Sampai saat ini menurut Edy, petani belum menjual langsung bokar mereka kepada pabrik, melainkan terlebih dahulu melalui pedagang kecil, yang diteruskan kepada pedagang sedang dan ke pedagang besar.
\"Sistem ijon ini membuat harga pada tingkat petani itu terus berada pada posisi harga paling murah. Nah, jika sudah terbentuk kelompok tani dan hasil bokar-nya sudah bersih, maka Gapkindo bisa memfasilitasi mereka langsung menjual ke pabrik. Tentu pemangkasan mata rantai perdagangan ini akan membuat harga yang mereka peroleh menjadi lebih tinggi,\" ujarnya.
Dua persoalan ini menurut Edy juga belum cukup untuk mendorong peningkatan harga di tingkat petani karet. Persoalan harga karet secara global, menurutnya juga masih memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi ini. Saat ini, persentase ekspor karet Indonesia masih sangat tinggi yakni mencapai 85 persen secara nasional. Khusus dari Sumatera Utara, bahkan 90 persen karet masih diekspor akibat minimnya serapan karet di dalam negeri. Dengan tingginya persentase ekspor tersebut, maka harga karet menurut Edy akan ditentukan oleh pasar global. Dalam hal inilah pemerintah Indonesia menurutnya perlu menjalin koordinasi dengan negara-negara produsen karet lainnya seperti Malaysia dan Thailand untuk menetapkan standart harga keekonomian.
\"Saat ini standart harga keekonomian adalan 1,8 US dollar untuk barang ekspor, namun untuk karet masih 1,3 US Dollar. Dan kita melihat end user masih belum menunjukkan keinginan untuk membeli karet pada harga keekonomian itu,\" ungkapnya.
Karena itulah pihaknya berharap pemerintah segera menjalin kesepakatan internasional dengan negara lain terkait standart harga karet tersebut disamping adanya upaya untuk meningkatkan serapan karet di dalam negeri.
\"Saat ini serapan karet kita yang terbesar itu masih hanya untuk industri ban. Nah, kita mendorong agar pemerintah membangun industri-industri karet khususnya pada daerah-daerah penghasil karet terbesar di dalam negeri dengan mengundang investor,\" pungkasnya.[R]
"/>