Saya tau betul itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, melainkan sindiran yang disengaja untuk membuat saya \'kalah\' sebelum berdebat. Tapi apapun itu, teguran itulah yang menjadi awal kami kembali intens berkomunikasi jarak jauh karena ia tinggal di Surabaya. Dulu dia teman kuliah yang selalu saya panggil Barat (Batak Rantau) karena dia memang lahir dari keluarga suku Batak yang sudah dari dulunya merantau ke sana.
Seminggu sudah obrolan itu berlalu dan menjadi teringat kembali saat saya menghadiri diskusi di salah satu cafe di Medan Johor. Adalah seorang aktifis di Kota Medan Rurita Ningrum yang membuat saya teringat kembali \'sindiran\' si Barat itu. Ruri dalam diskusi yang membahas soal \'pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur\' tersebut menyebutkan salah satu contoh pembangunan yang tidak tepat karena terindikasi dikerjakan tanpa melibatkan pihak-pihak yang tepat di Kota Medan yaitu pembuatan Guiding Block yang merupakan pembuatan jalur khusus untuk kaum difabel khususnya tuna netra yang dibangun pada trotoar.
\"Kami mendapat keluhan dari warga bernama Merlin salah seorang penyandang tuna netra. Dia berkali-kali jatuh saat mencoba berjalan diatas guiding block tersebut,\" kata Rurita.
Penyebab jatuhnya Merlin kata Rurita dikarenakan Guiding Block yang dibangun belum sesuai dengan aturan untuk memenuhi kebutuhan dari kalangan masyarakat yang akan menjadi penggunanya. Padahal anggaran untuk pembuatannya dipastikannya punya jumlah yang sangat besar.
\"Ada kesan pihak pelaksana proyek menganggap guiding block itu sebagai aksesoris. Inilah yang membuat banyak guiding block yang terhalang tiang listrik, pot bunga, pohon dan lain,\" ujarnya.
Ruri menyebutkan, Walikota Medan harus punya kepedulian atas persoalan-persoalan seperti ini. Karena hak untuk mendapatkan akses layanan publik bagi warga merupakan hal yang harus difasilitasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemko Medan harus memanggil kontraktor untuk melakukan perbaikan.
\"Evaluasi dan perbaiki jangan justru membahayakan bagi penggunanya,\" tambahnya.
Apa benar seperti itu?. Saya kemudian menelusuri beberapa trotoar yang punya guiding block. Sepanjang trotoar disisi Jalan Diponegoro hingga Jalan Imam Bonjol. Secara kasat mata saya bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Rurita Ningrum tidak berbohong. Karena faktanya Guiding Blok yang saya telusuri memang banyak yang membahayakan penggunanya. Ada yang terhalang tiang reklame, terhalang pot dan ironisnya pada salah satu titik terhalang dinding warung pinggir jalan.
Dalam hati saya menggumam Ironis Kota Medan, Walikota \"Visioner Leader\" Tapi Tuna Netra Dituntun \'Nabrak\' Pohon, Hingga Warung*** " itemprop="description"/>
Saya tau betul itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, melainkan sindiran yang disengaja untuk membuat saya \'kalah\' sebelum berdebat. Tapi apapun itu, teguran itulah yang menjadi awal kami kembali intens berkomunikasi jarak jauh karena ia tinggal di Surabaya. Dulu dia teman kuliah yang selalu saya panggil Barat (Batak Rantau) karena dia memang lahir dari keluarga suku Batak yang sudah dari dulunya merantau ke sana.
Seminggu sudah obrolan itu berlalu dan menjadi teringat kembali saat saya menghadiri diskusi di salah satu cafe di Medan Johor. Adalah seorang aktifis di Kota Medan Rurita Ningrum yang membuat saya teringat kembali \'sindiran\' si Barat itu. Ruri dalam diskusi yang membahas soal \'pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur\' tersebut menyebutkan salah satu contoh pembangunan yang tidak tepat karena terindikasi dikerjakan tanpa melibatkan pihak-pihak yang tepat di Kota Medan yaitu pembuatan Guiding Block yang merupakan pembuatan jalur khusus untuk kaum difabel khususnya tuna netra yang dibangun pada trotoar.
\"Kami mendapat keluhan dari warga bernama Merlin salah seorang penyandang tuna netra. Dia berkali-kali jatuh saat mencoba berjalan diatas guiding block tersebut,\" kata Rurita.
Penyebab jatuhnya Merlin kata Rurita dikarenakan Guiding Block yang dibangun belum sesuai dengan aturan untuk memenuhi kebutuhan dari kalangan masyarakat yang akan menjadi penggunanya. Padahal anggaran untuk pembuatannya dipastikannya punya jumlah yang sangat besar.
\"Ada kesan pihak pelaksana proyek menganggap guiding block itu sebagai aksesoris. Inilah yang membuat banyak guiding block yang terhalang tiang listrik, pot bunga, pohon dan lain,\" ujarnya.
Ruri menyebutkan, Walikota Medan harus punya kepedulian atas persoalan-persoalan seperti ini. Karena hak untuk mendapatkan akses layanan publik bagi warga merupakan hal yang harus difasilitasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemko Medan harus memanggil kontraktor untuk melakukan perbaikan.
\"Evaluasi dan perbaiki jangan justru membahayakan bagi penggunanya,\" tambahnya.
Apa benar seperti itu?. Saya kemudian menelusuri beberapa trotoar yang punya guiding block. Sepanjang trotoar disisi Jalan Diponegoro hingga Jalan Imam Bonjol. Secara kasat mata saya bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Rurita Ningrum tidak berbohong. Karena faktanya Guiding Blok yang saya telusuri memang banyak yang membahayakan penggunanya. Ada yang terhalang tiang reklame, terhalang pot dan ironisnya pada salah satu titik terhalang dinding warung pinggir jalan.
Dalam hati saya menggumam Ironis Kota Medan, Walikota \"Visioner Leader\" Tapi Tuna Netra Dituntun \'Nabrak\' Pohon, Hingga Warung*** "/>
Saya tau betul itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, melainkan sindiran yang disengaja untuk membuat saya \'kalah\' sebelum berdebat. Tapi apapun itu, teguran itulah yang menjadi awal kami kembali intens berkomunikasi jarak jauh karena ia tinggal di Surabaya. Dulu dia teman kuliah yang selalu saya panggil Barat (Batak Rantau) karena dia memang lahir dari keluarga suku Batak yang sudah dari dulunya merantau ke sana.
Seminggu sudah obrolan itu berlalu dan menjadi teringat kembali saat saya menghadiri diskusi di salah satu cafe di Medan Johor. Adalah seorang aktifis di Kota Medan Rurita Ningrum yang membuat saya teringat kembali \'sindiran\' si Barat itu. Ruri dalam diskusi yang membahas soal \'pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur\' tersebut menyebutkan salah satu contoh pembangunan yang tidak tepat karena terindikasi dikerjakan tanpa melibatkan pihak-pihak yang tepat di Kota Medan yaitu pembuatan Guiding Block yang merupakan pembuatan jalur khusus untuk kaum difabel khususnya tuna netra yang dibangun pada trotoar.
\"Kami mendapat keluhan dari warga bernama Merlin salah seorang penyandang tuna netra. Dia berkali-kali jatuh saat mencoba berjalan diatas guiding block tersebut,\" kata Rurita.
Penyebab jatuhnya Merlin kata Rurita dikarenakan Guiding Block yang dibangun belum sesuai dengan aturan untuk memenuhi kebutuhan dari kalangan masyarakat yang akan menjadi penggunanya. Padahal anggaran untuk pembuatannya dipastikannya punya jumlah yang sangat besar.
\"Ada kesan pihak pelaksana proyek menganggap guiding block itu sebagai aksesoris. Inilah yang membuat banyak guiding block yang terhalang tiang listrik, pot bunga, pohon dan lain,\" ujarnya.
Ruri menyebutkan, Walikota Medan harus punya kepedulian atas persoalan-persoalan seperti ini. Karena hak untuk mendapatkan akses layanan publik bagi warga merupakan hal yang harus difasilitasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemko Medan harus memanggil kontraktor untuk melakukan perbaikan.
\"Evaluasi dan perbaiki jangan justru membahayakan bagi penggunanya,\" tambahnya.
Apa benar seperti itu?. Saya kemudian menelusuri beberapa trotoar yang punya guiding block. Sepanjang trotoar disisi Jalan Diponegoro hingga Jalan Imam Bonjol. Secara kasat mata saya bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Rurita Ningrum tidak berbohong. Karena faktanya Guiding Blok yang saya telusuri memang banyak yang membahayakan penggunanya. Ada yang terhalang tiang reklame, terhalang pot dan ironisnya pada salah satu titik terhalang dinding warung pinggir jalan.
Dalam hati saya menggumam Ironis Kota Medan, Walikota \"Visioner Leader\" Tapi Tuna Netra Dituntun \'Nabrak\' Pohon, Hingga Warung*** "/>
JANGAN bilang Medan kalau tak bisa jadi bahan ceritaan. Kira-kira begitulah makna yang saya tangkap dari guyonan yang dilontarkan oleh sesama war
"Apa kabar Medan bro, makin mantapnya dipimpin seorang yang visioner?," katanya.
Saya tau betul itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, melainkan sindiran yang disengaja untuk membuat saya 'kalah' sebelum berdebat. Tapi apapun itu, teguran itulah yang menjadi awal kami kembali intens berkomunikasi jarak jauh karena ia tinggal di Surabaya. Dulu dia teman kuliah yang selalu saya panggil Barat (Batak Rantau) karena dia memang lahir dari keluarga suku Batak yang sudah dari dulunya merantau ke sana.
Seminggu sudah obrolan itu berlalu dan menjadi teringat kembali saat saya menghadiri diskusi di salah satu cafe di Medan Johor. Adalah seorang aktifis di Kota Medan Rurita Ningrum yang membuat saya teringat kembali 'sindiran' si Barat itu. Ruri dalam diskusi yang membahas soal 'pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur' tersebut menyebutkan salah satu contoh pembangunan yang tidak tepat karena terindikasi dikerjakan tanpa melibatkan pihak-pihak yang tepat di Kota Medan yaitu pembuatan Guiding Block yang merupakan pembuatan jalur khusus untuk kaum difabel khususnya tuna netra yang dibangun pada trotoar.
"Kami mendapat keluhan dari warga bernama Merlin salah seorang penyandang tuna netra. Dia berkali-kali jatuh saat mencoba berjalan diatas guiding block tersebut," kata Rurita.
Penyebab jatuhnya Merlin kata Rurita dikarenakan Guiding Block yang dibangun belum sesuai dengan aturan untuk memenuhi kebutuhan dari kalangan masyarakat yang akan menjadi penggunanya. Padahal anggaran untuk pembuatannya dipastikannya punya jumlah yang sangat besar.
"Ada kesan pihak pelaksana proyek menganggap guiding block itu sebagai aksesoris. Inilah yang membuat banyak guiding block yang terhalang tiang listrik, pot bunga, pohon dan lain," ujarnya.
Ruri menyebutkan, Walikota Medan harus punya kepedulian atas persoalan-persoalan seperti ini. Karena hak untuk mendapatkan akses layanan publik bagi warga merupakan hal yang harus difasilitasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemko Medan harus memanggil kontraktor untuk melakukan perbaikan.
"Evaluasi dan perbaiki jangan justru membahayakan bagi penggunanya," tambahnya.
Apa benar seperti itu?. Saya kemudian menelusuri beberapa trotoar yang punya guiding block. Sepanjang trotoar disisi Jalan Diponegoro hingga Jalan Imam Bonjol. Secara kasat mata saya bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Rurita Ningrum tidak berbohong. Karena faktanya Guiding Blok yang saya telusuri memang banyak yang membahayakan penggunanya. Ada yang terhalang tiang reklame, terhalang pot dan ironisnya pada salah satu titik terhalang dinding warung pinggir jalan.
Dalam hati saya menggumam Ironis Kota Medan, Walikota "Visioner Leader" Tapi Tuna Netra Dituntun 'Nabrak' Pohon, Hingga Warung***
JANGAN bilang Medan kalau tak bisa jadi bahan ceritaan. Kira-kira begitulah makna yang saya tangkap dari guyonan yang dilontarkan oleh sesama war
"Apa kabar Medan bro, makin mantapnya dipimpin seorang yang visioner?," katanya.
Saya tau betul itu bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, melainkan sindiran yang disengaja untuk membuat saya 'kalah' sebelum berdebat. Tapi apapun itu, teguran itulah yang menjadi awal kami kembali intens berkomunikasi jarak jauh karena ia tinggal di Surabaya. Dulu dia teman kuliah yang selalu saya panggil Barat (Batak Rantau) karena dia memang lahir dari keluarga suku Batak yang sudah dari dulunya merantau ke sana.
Seminggu sudah obrolan itu berlalu dan menjadi teringat kembali saat saya menghadiri diskusi di salah satu cafe di Medan Johor. Adalah seorang aktifis di Kota Medan Rurita Ningrum yang membuat saya teringat kembali 'sindiran' si Barat itu. Ruri dalam diskusi yang membahas soal 'pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur' tersebut menyebutkan salah satu contoh pembangunan yang tidak tepat karena terindikasi dikerjakan tanpa melibatkan pihak-pihak yang tepat di Kota Medan yaitu pembuatan Guiding Block yang merupakan pembuatan jalur khusus untuk kaum difabel khususnya tuna netra yang dibangun pada trotoar.
"Kami mendapat keluhan dari warga bernama Merlin salah seorang penyandang tuna netra. Dia berkali-kali jatuh saat mencoba berjalan diatas guiding block tersebut," kata Rurita.
Penyebab jatuhnya Merlin kata Rurita dikarenakan Guiding Block yang dibangun belum sesuai dengan aturan untuk memenuhi kebutuhan dari kalangan masyarakat yang akan menjadi penggunanya. Padahal anggaran untuk pembuatannya dipastikannya punya jumlah yang sangat besar.
"Ada kesan pihak pelaksana proyek menganggap guiding block itu sebagai aksesoris. Inilah yang membuat banyak guiding block yang terhalang tiang listrik, pot bunga, pohon dan lain," ujarnya.
Ruri menyebutkan, Walikota Medan harus punya kepedulian atas persoalan-persoalan seperti ini. Karena hak untuk mendapatkan akses layanan publik bagi warga merupakan hal yang harus difasilitasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Pemko Medan harus memanggil kontraktor untuk melakukan perbaikan.
"Evaluasi dan perbaiki jangan justru membahayakan bagi penggunanya," tambahnya.
Apa benar seperti itu?. Saya kemudian menelusuri beberapa trotoar yang punya guiding block. Sepanjang trotoar disisi Jalan Diponegoro hingga Jalan Imam Bonjol. Secara kasat mata saya bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Rurita Ningrum tidak berbohong. Karena faktanya Guiding Blok yang saya telusuri memang banyak yang membahayakan penggunanya. Ada yang terhalang tiang reklame, terhalang pot dan ironisnya pada salah satu titik terhalang dinding warung pinggir jalan.
Dalam hati saya menggumam Ironis Kota Medan, Walikota "Visioner Leader" Tapi Tuna Netra Dituntun 'Nabrak' Pohon, Hingga Warung***