Ucok menjelaskan, para nelayan yang ada di desa mereka pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi modern. Karena itu mereka biasanya hanya mengandalkan jarak pandang untuk kembali ke kampung mereka usai melaut.
\"Gimana, kami mau melaut. Sedangkan alat kami tradisional tidak ada navigasi di perahu. Jangan-jangan nelayan bisa nyasar, atau bahkan bisa sampai ke Samudera Hindia kalau tidak ada alat penunjuk arah,\" ujarnya.
Ketakutan mereka untuk tidak melaut mencari ikan cukup berasalan. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi udara yang sama, banyak pelaut di sana yang tersesat. Belum lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang mulai memasuki musim penghujan. Kadang hujan datang disertai angin kencang sehingga gelombang laut cukup tinggi.
\"Kami sekarang nangkap ikan hanya di pinggir pantai saja dan hasilnya pun jauh dari prediksi nelayan. Daripada kami nekat ke tengah laut, nyasar dan tenggelam. Risikonya lebih besar,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Ucok menjelaskan, para nelayan yang ada di desa mereka pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi modern. Karena itu mereka biasanya hanya mengandalkan jarak pandang untuk kembali ke kampung mereka usai melaut.
\"Gimana, kami mau melaut. Sedangkan alat kami tradisional tidak ada navigasi di perahu. Jangan-jangan nelayan bisa nyasar, atau bahkan bisa sampai ke Samudera Hindia kalau tidak ada alat penunjuk arah,\" ujarnya.
Ketakutan mereka untuk tidak melaut mencari ikan cukup berasalan. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi udara yang sama, banyak pelaut di sana yang tersesat. Belum lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang mulai memasuki musim penghujan. Kadang hujan datang disertai angin kencang sehingga gelombang laut cukup tinggi.
\"Kami sekarang nangkap ikan hanya di pinggir pantai saja dan hasilnya pun jauh dari prediksi nelayan. Daripada kami nekat ke tengah laut, nyasar dan tenggelam. Risikonya lebih besar,\" pungkasnya."/>
Ucok menjelaskan, para nelayan yang ada di desa mereka pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi modern. Karena itu mereka biasanya hanya mengandalkan jarak pandang untuk kembali ke kampung mereka usai melaut.
\"Gimana, kami mau melaut. Sedangkan alat kami tradisional tidak ada navigasi di perahu. Jangan-jangan nelayan bisa nyasar, atau bahkan bisa sampai ke Samudera Hindia kalau tidak ada alat penunjuk arah,\" ujarnya.
Ketakutan mereka untuk tidak melaut mencari ikan cukup berasalan. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi udara yang sama, banyak pelaut di sana yang tersesat. Belum lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang mulai memasuki musim penghujan. Kadang hujan datang disertai angin kencang sehingga gelombang laut cukup tinggi.
\"Kami sekarang nangkap ikan hanya di pinggir pantai saja dan hasilnya pun jauh dari prediksi nelayan. Daripada kami nekat ke tengah laut, nyasar dan tenggelam. Risikonya lebih besar,\" pungkasnya."/>
Sejumlah nelayan di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah memilih tidak melaut karena asap dari kebakaran hutan di Riau sangat mengganggu jarak pandang mereka. Mereka beralasan takut tersesat karena jarang pandang yang sangat terbatas tersebut. Kondisi ini sudah sekitar sepekan mereka alami
"Hampir sepekan, nelayan di sini takut melaut. Karena kabut asap yang tebal ini, kami takut nyasar," kata seorang nelayan, U Pasaribu, Rabu (18/9).
Ucok menjelaskan, para nelayan yang ada di desa mereka pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi modern. Karena itu mereka biasanya hanya mengandalkan jarak pandang untuk kembali ke kampung mereka usai melaut.
"Gimana, kami mau melaut. Sedangkan alat kami tradisional tidak ada navigasi di perahu. Jangan-jangan nelayan bisa nyasar, atau bahkan bisa sampai ke Samudera Hindia kalau tidak ada alat penunjuk arah," ujarnya.
Ketakutan mereka untuk tidak melaut mencari ikan cukup berasalan. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi udara yang sama, banyak pelaut di sana yang tersesat. Belum lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang mulai memasuki musim penghujan. Kadang hujan datang disertai angin kencang sehingga gelombang laut cukup tinggi.
"Kami sekarang nangkap ikan hanya di pinggir pantai saja dan hasilnya pun jauh dari prediksi nelayan. Daripada kami nekat ke tengah laut, nyasar dan tenggelam. Risikonya lebih besar," pungkasnya.
Sejumlah nelayan di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah memilih tidak melaut karena asap dari kebakaran hutan di Riau sangat mengganggu jarak pandang mereka. Mereka beralasan takut tersesat karena jarang pandang yang sangat terbatas tersebut. Kondisi ini sudah sekitar sepekan mereka alami
"Hampir sepekan, nelayan di sini takut melaut. Karena kabut asap yang tebal ini, kami takut nyasar," kata seorang nelayan, U Pasaribu, Rabu (18/9).
Ucok menjelaskan, para nelayan yang ada di desa mereka pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi modern. Karena itu mereka biasanya hanya mengandalkan jarak pandang untuk kembali ke kampung mereka usai melaut.
"Gimana, kami mau melaut. Sedangkan alat kami tradisional tidak ada navigasi di perahu. Jangan-jangan nelayan bisa nyasar, atau bahkan bisa sampai ke Samudera Hindia kalau tidak ada alat penunjuk arah," ujarnya.
Ketakutan mereka untuk tidak melaut mencari ikan cukup berasalan. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi udara yang sama, banyak pelaut di sana yang tersesat. Belum lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang mulai memasuki musim penghujan. Kadang hujan datang disertai angin kencang sehingga gelombang laut cukup tinggi.
"Kami sekarang nangkap ikan hanya di pinggir pantai saja dan hasilnya pun jauh dari prediksi nelayan. Daripada kami nekat ke tengah laut, nyasar dan tenggelam. Risikonya lebih besar," pungkasnya.