Himma sendiri terjerat perkara ini setelah memposting kalimat \"Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden\" dan \"ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang\" di akun Facebook miliknya. Status itu ditulis di rumahnya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Medan.
Postingan Himma menjadi viral di media sosial dan akhirnya sampai ke personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut pada Kamis (17/5/2018). Penyelidikan dilakukan, Himma pun diamankan dan ditahan.
\"Bahwa terdakwa membuat caption/tulisan di dalam akun Facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di mana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehariâ€\"hari pada naik/mahal,\" ujar Jaksa saat membaca dakwaannya.
Atas dakwaan yang ditujukan, penasehat hukum Himma dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan menyatakan beberapa keberatan. Hakim pun langsung memberi mereka kesempatan menyampaikan eksepsinya.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka, utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Justru penyidik sendiri yang menjadi pelapor.
\"Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma; Menyatakan surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,\" kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum. " itemprop="description"/>
Himma sendiri terjerat perkara ini setelah memposting kalimat \"Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden\" dan \"ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang\" di akun Facebook miliknya. Status itu ditulis di rumahnya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Medan.
Postingan Himma menjadi viral di media sosial dan akhirnya sampai ke personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut pada Kamis (17/5/2018). Penyelidikan dilakukan, Himma pun diamankan dan ditahan.
\"Bahwa terdakwa membuat caption/tulisan di dalam akun Facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di mana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehariâ€\"hari pada naik/mahal,\" ujar Jaksa saat membaca dakwaannya.
Atas dakwaan yang ditujukan, penasehat hukum Himma dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan menyatakan beberapa keberatan. Hakim pun langsung memberi mereka kesempatan menyampaikan eksepsinya.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka, utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Justru penyidik sendiri yang menjadi pelapor.
\"Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma; Menyatakan surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,\" kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum. "/>
Himma sendiri terjerat perkara ini setelah memposting kalimat \"Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden\" dan \"ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang\" di akun Facebook miliknya. Status itu ditulis di rumahnya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Medan.
Postingan Himma menjadi viral di media sosial dan akhirnya sampai ke personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut pada Kamis (17/5/2018). Penyelidikan dilakukan, Himma pun diamankan dan ditahan.
\"Bahwa terdakwa membuat caption/tulisan di dalam akun Facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di mana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehariâ€\"hari pada naik/mahal,\" ujar Jaksa saat membaca dakwaannya.
Atas dakwaan yang ditujukan, penasehat hukum Himma dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan menyatakan beberapa keberatan. Hakim pun langsung memberi mereka kesempatan menyampaikan eksepsinya.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka, utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Justru penyidik sendiri yang menjadi pelapor.
\"Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma; Menyatakan surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,\" kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum. "/>
Kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Himma Dewiyana Lubis (45) pasca teror bom Surabaya pada Mei 2018 lalu mulai disidangkan. Himma menjalani sidang perdana yang digelar dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU Tiorida Juliana Hutagaol di PN Medan, Rabu (9/1/2019).
Dosen di Fakultas Ilmu Budaya USU ini didakwa telah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," kata JPU Tiorida Juliana Hutagaol di hadapan majelis hakim yang diketuai Riana Pohan.
Himma sendiri terjerat perkara ini setelah memposting kalimat "Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden" dan "ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang" di akun Facebook miliknya. Status itu ditulis di rumahnya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Medan.
Postingan Himma menjadi viral di media sosial dan akhirnya sampai ke personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut pada Kamis (17/5/2018). Penyelidikan dilakukan, Himma pun diamankan dan ditahan.
"Bahwa terdakwa membuat caption/tulisan di dalam akun Facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di mana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehariâ€"hari pada naik/mahal," ujar Jaksa saat membaca dakwaannya.
Atas dakwaan yang ditujukan, penasehat hukum Himma dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan menyatakan beberapa keberatan. Hakim pun langsung memberi mereka kesempatan menyampaikan eksepsinya.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka, utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Justru penyidik sendiri yang menjadi pelapor.
"Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma; Menyatakan surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima," kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum.
Kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Himma Dewiyana Lubis (45) pasca teror bom Surabaya pada Mei 2018 lalu mulai disidangkan. Himma menjalani sidang perdana yang digelar dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU Tiorida Juliana Hutagaol di PN Medan, Rabu (9/1/2019).
Dosen di Fakultas Ilmu Budaya USU ini didakwa telah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," kata JPU Tiorida Juliana Hutagaol di hadapan majelis hakim yang diketuai Riana Pohan.
Himma sendiri terjerat perkara ini setelah memposting kalimat "Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden" dan "ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang" di akun Facebook miliknya. Status itu ditulis di rumahnya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Medan.
Postingan Himma menjadi viral di media sosial dan akhirnya sampai ke personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut pada Kamis (17/5/2018). Penyelidikan dilakukan, Himma pun diamankan dan ditahan.
"Bahwa terdakwa membuat caption/tulisan di dalam akun Facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di mana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehariâ€"hari pada naik/mahal," ujar Jaksa saat membaca dakwaannya.
Atas dakwaan yang ditujukan, penasehat hukum Himma dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan menyatakan beberapa keberatan. Hakim pun langsung memberi mereka kesempatan menyampaikan eksepsinya.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan mereka, utamanya terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Justru penyidik sendiri yang menjadi pelapor.
"Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami penasihat hukum terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma; Menyatakan surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima," kata Rina Melati Sitompul, salah seorang penasihat hukum.