SELAIN membahas dan berdiskusi terkait penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang membuat kepanikan pasar global, perlu diingat kembali bahwa pada 10 Februari 2020 lalu United States Trade Representative/USTR atau Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat telah menetapkan Indonesia sebagai negara maju. India, Tiongkok, Malaysia, Thailand dan negara-negara lain tersebut juga berdasarkan ketetapan Lembaga Perdagangan Amerika Serikat ini. Yang menjadi alasan mendasar Indonesia ditetapkan menjadi negara maju oleh USTR karena, (1) Negara dengan Pendapatan per kapita di atas US$ 12,000 per tahun, (2) Share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5% sejak 2017 lalu berkisar mencapai 0,91% per tahun sehingga Indonesia dianggap telah berkontribusi secara meluas pada kebutuhan pasar dunia, dan (3) Keanggotaan di organisasi ekonomi internasional Uni Eropa dan G20 serta masuk kelompok kenggotaan negara maju Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD). Sedangkan Bank Dunia (World Bank) mengklasifikasi negara-negara di dunia menjadi 4 kelompok kelas ekonomi berdasarkan pendapatan, (1) Negara dengan penghasilan tinggi atau negara maju dengan Pendapatan per kapita di atas US$ 12,375 per tahun, (2) Negara dengan berpendapatan menengah ke atas dengan Pendapatan per kapita (upper-middle income) US$ 3,856 per tahun dan US$ 11,905 per tahun, (3) Negara berpenghasilan menengah bawah dengan Pendapatan per kapita (lower-middle) US$ 976 per tahun dan US$ 3,855 per tahun, dan (4) Negara berpendapatan rendah dengan Pendapatan per kapita di bawah US$ 975 per tahun. Berdasarkan data bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto/PDB Indonesia 2015 (4,88%), 2016 (5,03%), 2017 (5,07%), 2018 (5,17%) dan 2019 (5,02%). Menjadi negara maju, mudahnya AS memonitor terkait praktik perdagangan. Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas tarif dalam perdagangan internasional yang diatur dalam World Trade Organization/WTO. Pengenaan bea tambahan terhadap produk impor suatu negara sebagai upaya anti-dumping. Batas maksimal pembebasan bea masuk turun dari 2 persen menjadi 1 persen. Terjadi perubahan cara negosiasi dan kerja sama bidang ekonomi ekspor-impor. Termasuk Indonesia tak lagi bisa mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences/GSP. GSP adalah sistem tarif preferensial yang memberikan pengurangan tarif ke berbagai produk pada negara-negara berkembang. Ini merupakan kebijakan keringanan bea masuk barang-barang impor. Selama ini memang pemerintah dan atau perusahaan negara (BUMN) tidak memberikan subsidi kepada industri, pengusaha, eksportir sehingga meloloskan kita dari pengenaan bea masuk anti subsidi. Dampak negatif ini mengancam kinerja perdagangan Indonesia di pasar dunia, apalagi adanya fenomena global Covid-19 saat ini dan kehilangan GSP semakin memungkinkan terjadinya defisit neraca perdagangan. Januari 2020, neraca dagang Indonesia defisit sebesar US$ 864 juta jika pemerintah tidak segera memperbaiki bentuk kebijakan perdagangan maka akan beresiko lebih mendalam pada posisi neraca dagang Indonesia sehingga menurunkan angka pertumbuhan ekonomi < 5% termasuk mengancam stabilitas nilai tukar rupiah di masa mendatang. Lalu apa yang menjadi pesan positif dan penting bagi Indonesia? Bisa mendorong dengan meningkatkan daya saing produk sesuai yang kita ketahui begitu banyak list/daftar komoditi unggulan berasal dari setiap daerah di Indonesia yang menjadi produk barang-barang konsumsi bagi negara-negara di belahan dunia sebagai konsumen tetap Indonesia. Ini potensi dalam memperbaiki defisit menuju surplus neraca perdagangan di periode mendatang. Yang pada akhirnya sehingga Indonesia memiliki hak inisiatif membantu negara lain dalam praktik perdagangan internasional menuju kesejahteraan penduduk dunia.*** Dewi Mahrani Rangkuty, S.E., M.Si, Dosen Prodi EP UNPAB Medan
SELAIN membahas dan berdiskusi terkait penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang membuat kepanikan pasar global, perlu diingat kembali bahwa pada 10 Februari 2020 lalu United States Trade Representative/USTR atau Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat telah menetapkan Indonesia sebagai negara maju. India, Tiongkok, Malaysia, Thailand dan negara-negara lain tersebut juga berdasarkan ketetapan Lembaga Perdagangan Amerika Serikat ini. Yang menjadi alasan mendasar Indonesia ditetapkan menjadi negara maju oleh USTR karena, (1) Negara dengan Pendapatan per kapita di atas US$ 12,000 per tahun, (2) Share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5% sejak 2017 lalu berkisar mencapai 0,91% per tahun sehingga Indonesia dianggap telah berkontribusi secara meluas pada kebutuhan pasar dunia, dan (3) Keanggotaan di organisasi ekonomi internasional Uni Eropa dan G20 serta masuk kelompok kenggotaan negara maju Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD). Sedangkan Bank Dunia (World Bank) mengklasifikasi negara-negara di dunia menjadi 4 kelompok kelas ekonomi berdasarkan pendapatan, (1) Negara dengan penghasilan tinggi atau negara maju dengan Pendapatan per kapita di atas US$ 12,375 per tahun, (2) Negara dengan berpendapatan menengah ke atas dengan Pendapatan per kapita (upper-middle income) US$ 3,856 per tahun dan US$ 11,905 per tahun, (3) Negara berpenghasilan menengah bawah dengan Pendapatan per kapita (lower-middle) US$ 976 per tahun dan US$ 3,855 per tahun, dan (4) Negara berpendapatan rendah dengan Pendapatan per kapita di bawah US$ 975 per tahun. Berdasarkan data bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto/PDB Indonesia 2015 (4,88%), 2016 (5,03%), 2017 (5,07%), 2018 (5,17%) dan 2019 (5,02%). Menjadi negara maju, mudahnya AS memonitor terkait praktik perdagangan. Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas tarif dalam perdagangan internasional yang diatur dalam World Trade Organization/WTO. Pengenaan bea tambahan terhadap produk impor suatu negara sebagai upaya anti-dumping. Batas maksimal pembebasan bea masuk turun dari 2 persen menjadi 1 persen. Terjadi perubahan cara negosiasi dan kerja sama bidang ekonomi ekspor-impor. Termasuk Indonesia tak lagi bisa mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences/GSP. GSP adalah sistem tarif preferensial yang memberikan pengurangan tarif ke berbagai produk pada negara-negara berkembang. Ini merupakan kebijakan keringanan bea masuk barang-barang impor. Selama ini memang pemerintah dan atau perusahaan negara (BUMN) tidak memberikan subsidi kepada industri, pengusaha, eksportir sehingga meloloskan kita dari pengenaan bea masuk anti subsidi. Dampak negatif ini mengancam kinerja perdagangan Indonesia di pasar dunia, apalagi adanya fenomena global Covid-19 saat ini dan kehilangan GSP semakin memungkinkan terjadinya defisit neraca perdagangan. Januari 2020, neraca dagang Indonesia defisit sebesar US$ 864 juta jika pemerintah tidak segera memperbaiki bentuk kebijakan perdagangan maka akan beresiko lebih mendalam pada posisi neraca dagang Indonesia sehingga menurunkan angka pertumbuhan ekonomi < 5% termasuk mengancam stabilitas nilai tukar rupiah di masa mendatang. Lalu apa yang menjadi pesan positif dan penting bagi Indonesia? Bisa mendorong dengan meningkatkan daya saing produk sesuai yang kita ketahui begitu banyak list/daftar komoditi unggulan berasal dari setiap daerah di Indonesia yang menjadi produk barang-barang konsumsi bagi negara-negara di belahan dunia sebagai konsumen tetap Indonesia. Ini potensi dalam memperbaiki defisit menuju surplus neraca perdagangan di periode mendatang. Yang pada akhirnya sehingga Indonesia memiliki hak inisiatif membantu negara lain dalam praktik perdagangan internasional menuju kesejahteraan penduduk dunia.*** Dewi Mahrani Rangkuty, S.E., M.Si, Dosen Prodi EP UNPAB Medan© Copyright 2024, All Rights Reserved