Berbagai isu yang digiring ke ranah Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) diyakini akan terus muncul terutama jelang agenda politik Pilkada 2020. Karena itu, kecerdasan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyadari bahwa hal ini menjadi bagian dari strategi politik untuk kepentingan para elit politik dalam meraih simpati masyarakat. Hal ini disampaikan Pengamat Politik dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Bakhrul Khair Amal. "Yang membingkai ini adalah elit politik, bukan masyarakat. Ini rekayasa politik, seolah perbedaan pilihan politik dianggap karena perbedaan SARA," katanya kepada redaksi, Jumat (14/2). Bakhrul menjelaskan, padangan mengenai hal ini selalu bertolak belakang antara cara pandang kalangan akademisi dengan masyarakat umum. Secara akademis ia memastikan tidak ada hubungan langsung antara pilihan politik dengan identitas etnis maupun agama termasuk ras seseorang. Namun, dari logika masyarakat umum hal ini selalu saja dianggap memiliki kaitan erat tanpa merasa hal itu memang sengaja dimunculkan oleh kalangan elit politik sebagian bagian dari cara yang menguntungkan mereka. "Disinilah kemudian ada pengelompokan gestur politik yang tak pernah bisa duduk antara kajian akademis dengan logika masyarakat umum," ujarnya. Ia menegaskan, pilihan politik merupakan hak bagi seseorang dan tidak memiliki kaitan yang sifatnya langsung terhadap agama maupun etnis. Namun, khusus menjelang pilkada hal ini seolah selalu didesain seolah berkaitan langsung sehingga muncul cara-cara pandang yang lain mulai dari isu minoritas, mayoritas dan sebagainya. Hal inilah yang menurutnya harus sangat dipahami oleh masyarakat. "Dan itu hanya jelang pilkada saja, bisa dilihat setelah pilkada itu tidak ada lagi. Jadi ini hanya semacam kembang api, sifatnya hanya sesaat. Saat meledak percikannya kemana-mana tapi setelah itu tidak jadi apa-apa," pungkasnya.[R]
Berbagai isu yang digiring ke ranah Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) diyakini akan terus muncul terutama jelang agenda politik Pilkada 2020. Karena itu, kecerdasan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyadari bahwa hal ini menjadi bagian dari strategi politik untuk kepentingan para elit politik dalam meraih simpati masyarakat. Hal ini disampaikan Pengamat Politik dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Bakhrul Khair Amal. "Yang membingkai ini adalah elit politik, bukan masyarakat. Ini rekayasa politik, seolah perbedaan pilihan politik dianggap karena perbedaan SARA," katanya kepada redaksi, Jumat (14/2). Bakhrul menjelaskan, padangan mengenai hal ini selalu bertolak belakang antara cara pandang kalangan akademisi dengan masyarakat umum. Secara akademis ia memastikan tidak ada hubungan langsung antara pilihan politik dengan identitas etnis maupun agama termasuk ras seseorang. Namun, dari logika masyarakat umum hal ini selalu saja dianggap memiliki kaitan erat tanpa merasa hal itu memang sengaja dimunculkan oleh kalangan elit politik sebagian bagian dari cara yang menguntungkan mereka. "Disinilah kemudian ada pengelompokan gestur politik yang tak pernah bisa duduk antara kajian akademis dengan logika masyarakat umum," ujarnya. Ia menegaskan, pilihan politik merupakan hak bagi seseorang dan tidak memiliki kaitan yang sifatnya langsung terhadap agama maupun etnis. Namun, khusus menjelang pilkada hal ini seolah selalu didesain seolah berkaitan langsung sehingga muncul cara-cara pandang yang lain mulai dari isu minoritas, mayoritas dan sebagainya. Hal inilah yang menurutnya harus sangat dipahami oleh masyarakat. "Dan itu hanya jelang pilkada saja, bisa dilihat setelah pilkada itu tidak ada lagi. Jadi ini hanya semacam kembang api, sifatnya hanya sesaat. Saat meledak percikannya kemana-mana tapi setelah itu tidak jadi apa-apa," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved