Kemajuan masyarakat terkini itu ditandai dengan berdirinya gedung-gedung mewah yang tinggi, mall berserak dimana-mana, jalanan aspal melicin, pusat-pusat hiburan berkilau, mobil penuh sesak di jalan. Begitulah sawah-sawah dikorbankan untuk tegaknya kompleks perumahan elit. Hal yang paling mengharu biru diterabasnya taman, bangunan-bangunan bersejarah, situs yang sudah ditetapkan jadi cagar budaya untuk mewujudkan impian kota metropolitan. Pembangunan negeri ini berlomba-lomba menghabisi sejarah lama berikut lanskap alamnya kemudian berubah wajah jadi sesuatu yang asing di catatan tarombo leluhur kita.
Kami pun tiba di desa yang sudah ditetapkan jadi cagar budaya. Pertama kali aku kesini sekitar tahun 2014 bersama pasukan Rumah Karya Indonesia untuk mewujudkan sebuah even tahunan, yaitu Dokan Arts Festival. Di penghujung 2022 bersama tim produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua kembali aku memasuki rumah yang dapat mengantarku ke abad yang lalu. Aku bahagia dan menyalakan semangat berlipat-lipat.
Hal itu disebabkan tak ada perubahan pada lima rumah yang kokoh dan berwibawa di antara rumah-rumah lainnya yang entah.
Lima Siwaluh Jabu yang mengembalikan rinduku pada suara ritus kulcapi, sordam, keteng-keteng, serunai dan nuri-nurian bibik sambil menyuntil sirih. Siwaluh Jabu adalah rumah yang membawa segala perangkat adat, tradisi, struktur sosial, pola hidup masyarakat Karo. Di pekarangannya aku menatap atap Siwaluh Jabu, penuh lumut dan kisah-kisah yang menggenapi. Jejak yang transparan menceritakan daya tahan orang-orang Karo merawat identitas tarombonya. Kayu-kayu rumah yang begitu liat dan besar, mustahil bisa ditemukan lagi di masa sekarang ini.
Bila kita telusuri lagi lebih khusuk, rumah-rumah adat di nusantara memiliki kemiripan; rumah panggung, seperti kapal, berbentuk segitiga, sangat detail memperhitungkan keseimbangan, ada ornamen. Siwaluh Jabu bila dilihat dari luar pun seperti bahtera. Dari bentuk rumah adat ini banyak pecahan waktu yang bisa kita telisik untuk menyusuri asal kita. Bahtera identik dengan peradaban bahari, tidak pegunungan. Lalu di Siwaluh Jabu ini ada tradisi penusur sira. Sira atau garam itu bersumber dari laut. Hal ini makin mengindikasikan kedekatan orang-orang Karo terhadap lautan, walau mereka banyak tersebar di pegunungan.
Memperhatikan Siwaluh Jabu dari dekat, mendekatkan perenunganku selama ini; hakekatnya gunung dan laut sedekat nafas dan tenggorokan. Seberapa besar pun usaha untuk memisahkannya, takkan berhasil karena keduanya saling terikat dan membutuhkan. Di Dokan, aku merasakan gelombang laut mengayun-ayun kesadaran dari Siwaluh Jabu. Lanskap Sumatera terukir lewat ornamen di depan pintunya.
Debar kagum dan gemuruh ritual menggelegak di setiap aliran darah ketika menaiki anak tangga dan masuk dalam keheningan Siwaluh Jabu. Rumah turun temurun yang dihuni delapan keluarga, tanpa sekat dan batas. Aku memasuki perut bahtera. Membayangkan betapa riuh dan ramainya delapan keluarga tumbuh berkembang dalam rumah tanpa dindinh. Tapi, tidak! Beberapa informasi menyebutkan para penghuni Siwaluh Jabu terikat dan mengaplikasikan nilai-nilai tradisi yang diwariskan turun temurun. Rakut Sitelu menjadi pedoman mereka dalam membangun kekerabatan dan relasi sosial. Ah, aku mesti menyiapkan diri dan waktuku untuk bisa lebih detail memasuki ruang-ruang di rumah ini. Tentunya banyak kisah dapat terbaca di setiap langkah yang membekas di lantai kayu rumah.
Kisahku hari itu diteduhkan sambutan bibik dan dua anaknya, tepat di bagian tengah rumah. Ternyata beliau yang ditelepon Benson tadi untuk menyiapkan arsik ikan nila. Ini momen langka, aku bisa menyaksikan secara langsung proses dari awal memasak arsik di depan tungku yang masih menggunakan kayu bakar. Cara bibik dan anak gadisnya mengolah rempah-rempah sampai kemudian menggilingnya, itu sangat eksotik. Cara penyambutan, prosesi memasak arsik hingga tatanan menghidangkan sungguh murni, polos tanpa tendensi apapun. Selayaknya tuan rumah yang bahagia menjamu tamu.
Melihat ramah dan teduhnya keluarga di Siwaluh Jabu, aku adalah orang pertama yang berharap kemajuan versi kota tak sampai menghabisi Siwaluh Jabu di sini. Apalagi sampai merusak nikmatnya makan arsik ikan nila. Seumur-umur baru hari itu aku mampu menghabisi tiga potong arsik ikan nila, dan tak mau sudah. Bila saja malam itu aku tidak harus bertugas memberi pelatihan teater ke anak-anak Dokan, pastinya aku terus mengarsik. Hm, semoga ada waktu lagi menikmati arsik di perut bahtera Siwaluh Jabu.
Bahtera akan tetap kokoh, walau badai gelombang selalu menerjang. Di Siwaluh Jabu ada kisah-kisah yang menerawang perjalanan abad di bumbungan rumah.
Bersambung ke bagian 8..
Sebundel Catatan Tim Artistik, Tour The Karo Vulkano Park, 26-30 Desember 2022, Produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua [Inseparable Souls In Tongging] ditulis oleh Pimpinan Teater Rumah Mata
© Copyright 2024, All Rights Reserved