Partai Golkar tengah berada di titik nadir, saat Airlangga Hartarto mulai mengambil alih pucuk pimpinan. Mampu membawa Golkar finish di peringkat kedua pada Pemilu 2019, adalah sebuah prestasi.
Demikian
pandangan yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Tujuh
Belas Agustus (Untag) Surabaya, Bambang Kusbandrio, seperti dilansir Kantor Berita RMOL, Jumat (16/8).
Selama
hampir tiga tahun berturut-turut pasca Pemilu 2014, Golkar didera
konflik internal. Partai Beringin itu mengalami kepemimpinan ganda dan
melaksanakan musyawarah nasional sebanyak empat kali.
Baru
memulai konsolidasi internal pada 2017, prahara baru kembali datang.
Ketua Umum (saat itu), Setya Novanto menjadi tersangka dan ditahan oleh
KPK. Menyusul kemudian, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham serta
sejumlah elite Golkar lainnya.
Prahara tersebut tentu
berdampak besar pada elektabilitas Golkar. Saat itulah Airlangga
Hartarto mulai mengambil alih pucuk pimpinan.
Banyak pihak
pesimis, Golkar bakal tenggelam tertelan badai politik itu. Tapi
ternyata, Golkar masih berhasil bertahan di jajaran papan atas
perolehan suara Pemilu 2019.
Bambang menilai prestasi itu
berkat tangan dingin Airlangga, mengingat problematika yang dihadapi
Golkar begitu kompleks serta pendeknya waktu yang dimiliki untuk
konsolidasi.
"Dengan waktu hanya satu setengah tahun, sukses itu patut diapresiasi," tambah Bambang.
Tak
heran ketika Airlangga menyatakan diri siap kembali memimpin Golkar
periode mendatang, dukungan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I
dan II maupun elite terus mengalir kepadanya.
"Airlangga
merupakan sosok yang masih diperlukan untuk menuntaskan agenda besar
Golkar dan melanjutkan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum DPP Partai
Golkar," tutup Bambang. [fak]
© Copyright 2024, All Rights Reserved