ESKALASI politik di Kota Medan, Sumatera Utara mulai bergeliat. Mengapa bergeliat? Karena tahapan pilkada memilih walikota dimulai September 2019 mendatang. Sejumlah figur pun santer diperbincangkan publik.
Jika bercermin dari Bruce Newman, marketing politik terletak pada proses memilih costumer dan strategi ke mana distribusi produk untuk dijual. Produk politik yang saya maksudkan, bagaimana image kepada politisi, pesan politik bahkan program yang dikirim ke audiens sesuai harapan konsumen. Jadi, figur yang muncul belakangan ini ikut menghiasi media, tidak terlepas dari kecerdasan mengemas produk, kemudian menjual produknya ke pasar politik. Muncullah branding, sebuah merek figur yang terekam di mata publik. Jika ini sukses, maka tak heran figur yang sukses menampakkan brandingnya, ia pun bakal terpilih untuk lima tahun ke depan.
Mengamati geliat politik itu, setidaknya ada tiga model figur bakal calon untuk mencalonkan diri di Medan. Pertama, ada yang didorong untuk maju oleh komunitasnya. Kedua, ada yang terkesan dipaksakan untuk turun gunung. Ketiga, ada juga atas kemauannya sendiri. Ketiga kiblat inilah menurut saya kerap sekali menghiasasi media mainstream maupun media sosial menjelang pilkada Kota Medan. Salah satu nama yang diperbincangkan itu mantan Jurubicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak. Apakah Dahnil layak merebut orang nomor satu di Kota Medan?
Salah satu nama yang belakangan menjadi populer di media mainstream dan media sosial di Kota Medan adalah Dahni Anzar Simanjuntak. Ia adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan mantan Jurubicara BPN Prabowo-Sandi. Saya mengenal Dahnil secara akrab, ketika saya menduduki posisi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2010-2014. Dahnil juga menduduki posisi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah bidang ekonomi. Saat itu Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay. Selang 4 tahun kemudian, Dahnil menggantikan Saleh Daulay sebagai ketua umum Pemuda Muhammadiyah pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Padang, Sumatera Barat tahun 2014 lalu.
Untuk Dahnil, saya kira belajarlah dari Joko Widodo dan Prabowo saat Pilpres 2019. Jokowi dan Prabowo menjelang pilpres hingga pilpres berakhir, piawai memasarkan dirinya lewat media massa. Intensitas kehadiran dua figur tersebut hampir tidak terputus dalam hitungan jam di media.
Saya yakin, semakin rajin turun ke Medan, adinda Dahnil semakin diperbincangkan. Saran saya, ketika turun ke Medan, ada dua modal yang sering saya ungkapkan. Modal ini juga telah terpapar dalam disertasi saya yang fokus membedah pencitraan politik. Pertama, modal sosial. Dahnil sudah memiliki modal sosial Ia dikenal luas melalui media. Tetapi, sangat dibutuhkan langsung turun dan bersentuhan dengan warga Medan. Kedua, modal kapital. Modal kedua ini memang tidak terelakkan dalam pasar politik. Ia datang seperti membuang air ke laut. Modal kapital mutlak ada. Jika tidak, jadilah kita seperti membuang air ludah ke atas terkena muka sendiri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved