Syafrida menjelaskan, para prinsipnya mereka sudah mengajukan anggaran pada masing-masing pemda sesuai dengan kebutuhan. Besarannya disesuaikan berdasarkan berbagai standar seperti standar biaya, standar kebutuhan, satuan harga dan lainnya. Namun hal ini sepertinya tidak langsung dipahami oleh masing-masing pemda sehingga menilai jumlah anggaran yang diajukan oleh Bawaslu terlalu besar.
\"Mereka menganggap kenaikan yang terjadi diatas 100 persen itu sebagai hal yang tidak tepat. Padahal kita menyusunnya berdasarkan standar yang ada. Dulu pilkada 2015 itu didasarkan pada standar APBD, sekarang kan harga satuannya berdasarkan APBN,\" ungkapnya.
Pada beberapa daerah menurut Syafrida, belum adanya penandatanganan NPHD ini karena Pemda langsung menetapkan anggaran yang mereka sediakan tanpa melihat penganggaran yang disusun oleh Bawaslu. Hal ini membuat jumlahnya dipastikan tidak mampu menampung kebutuhan biaya pengawasan selama pilkada. Ironisnya saat diminta untuk duduk bersama membahas item-item, pihak pemda menurutnya menolak.
\"Mereka nggak mau membahasnya. Padahal ada beberapa hal yang kebutuhan itu tidak bisa ditawar misalnya soal honor, jumlah orang yang menerima itu tidak bisa ditawar. Paling yang bisa ditawar itu adalah volume kegiatan seperti bimtek dan sosialisasi,\" sebutnya.
Atas kondisi ini, Bawaslu menurutnya masih tetap berharap ada perkembangan positif hingga tanggal 14 Oktober 2019 yang sesuai dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri merupakan batas terakhir bagi Pemda untuk menetapkan anggaran pilkada.
\"Kalau sampai tanggal 14 tidak juga diakomodir, maka akan kami nyatakan kamit tidak siap melakukan pengawasan pada daerah tersebut. Silahkan pilkada berjalan tanpa pengawasan,\" pungkasnya.[R]
" itemprop="description"/>Syafrida menjelaskan, para prinsipnya mereka sudah mengajukan anggaran pada masing-masing pemda sesuai dengan kebutuhan. Besarannya disesuaikan berdasarkan berbagai standar seperti standar biaya, standar kebutuhan, satuan harga dan lainnya. Namun hal ini sepertinya tidak langsung dipahami oleh masing-masing pemda sehingga menilai jumlah anggaran yang diajukan oleh Bawaslu terlalu besar.
\"Mereka menganggap kenaikan yang terjadi diatas 100 persen itu sebagai hal yang tidak tepat. Padahal kita menyusunnya berdasarkan standar yang ada. Dulu pilkada 2015 itu didasarkan pada standar APBD, sekarang kan harga satuannya berdasarkan APBN,\" ungkapnya.
Pada beberapa daerah menurut Syafrida, belum adanya penandatanganan NPHD ini karena Pemda langsung menetapkan anggaran yang mereka sediakan tanpa melihat penganggaran yang disusun oleh Bawaslu. Hal ini membuat jumlahnya dipastikan tidak mampu menampung kebutuhan biaya pengawasan selama pilkada. Ironisnya saat diminta untuk duduk bersama membahas item-item, pihak pemda menurutnya menolak.
\"Mereka nggak mau membahasnya. Padahal ada beberapa hal yang kebutuhan itu tidak bisa ditawar misalnya soal honor, jumlah orang yang menerima itu tidak bisa ditawar. Paling yang bisa ditawar itu adalah volume kegiatan seperti bimtek dan sosialisasi,\" sebutnya.
Atas kondisi ini, Bawaslu menurutnya masih tetap berharap ada perkembangan positif hingga tanggal 14 Oktober 2019 yang sesuai dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri merupakan batas terakhir bagi Pemda untuk menetapkan anggaran pilkada.
\"Kalau sampai tanggal 14 tidak juga diakomodir, maka akan kami nyatakan kamit tidak siap melakukan pengawasan pada daerah tersebut. Silahkan pilkada berjalan tanpa pengawasan,\" pungkasnya.[R]
"/>Syafrida menjelaskan, para prinsipnya mereka sudah mengajukan anggaran pada masing-masing pemda sesuai dengan kebutuhan. Besarannya disesuaikan berdasarkan berbagai standar seperti standar biaya, standar kebutuhan, satuan harga dan lainnya. Namun hal ini sepertinya tidak langsung dipahami oleh masing-masing pemda sehingga menilai jumlah anggaran yang diajukan oleh Bawaslu terlalu besar.
\"Mereka menganggap kenaikan yang terjadi diatas 100 persen itu sebagai hal yang tidak tepat. Padahal kita menyusunnya berdasarkan standar yang ada. Dulu pilkada 2015 itu didasarkan pada standar APBD, sekarang kan harga satuannya berdasarkan APBN,\" ungkapnya.
Pada beberapa daerah menurut Syafrida, belum adanya penandatanganan NPHD ini karena Pemda langsung menetapkan anggaran yang mereka sediakan tanpa melihat penganggaran yang disusun oleh Bawaslu. Hal ini membuat jumlahnya dipastikan tidak mampu menampung kebutuhan biaya pengawasan selama pilkada. Ironisnya saat diminta untuk duduk bersama membahas item-item, pihak pemda menurutnya menolak.
\"Mereka nggak mau membahasnya. Padahal ada beberapa hal yang kebutuhan itu tidak bisa ditawar misalnya soal honor, jumlah orang yang menerima itu tidak bisa ditawar. Paling yang bisa ditawar itu adalah volume kegiatan seperti bimtek dan sosialisasi,\" sebutnya.
Atas kondisi ini, Bawaslu menurutnya masih tetap berharap ada perkembangan positif hingga tanggal 14 Oktober 2019 yang sesuai dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri merupakan batas terakhir bagi Pemda untuk menetapkan anggaran pilkada.
\"Kalau sampai tanggal 14 tidak juga diakomodir, maka akan kami nyatakan kamit tidak siap melakukan pengawasan pada daerah tersebut. Silahkan pilkada berjalan tanpa pengawasan,\" pungkasnya.[R]
"/>