Menurut dosen berdarah Belanda ini, pengelolaan sampah sudah diatur dalam UU RI nomor 18 tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sejak 2008 tidak boleh lagi ada tempat pembuangan sampah akhir yang terbuka, melainkan harus dalam bentuk pengelolaan tertutup. Pemko Medan sendiri menurutnya sudah melanggar UU tersebut terlihat dari pengelolaan sampah akhir yang masih mengandalkan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
\"Jangankan untuk membuat pengelolaan sampah tertutup, survey lahannya saja belum ada terdengar. Berapa lama coba kita tertinggal dan itu melanggar UU,\" ujarnya.
Persoalan pengelolaan sampah di Medan ini lanjutnya sudah semakin terlihat dari TPA Terjun yang sudah penuh, begitu juga Namo Gajah. Saat ini TPA ditempatkan di kawasan Marelan dan dipastikan akan bernasib sama yakni penuh. Karena itu, solusi yang harus ditempuh sejak saat ini yakni menyediakan fasilitas pengelolaan sampah tertutup.
\"Di Singapura dan negara-negara eropa seperti Swiss sampah itu menjadi pembangkit listrik. Mereka saat ini bahkan kekurangan sampah dan mengimpornya dari Afrika. Jadi pengelolaan sampah ini bisa dibilang ringan dan bisa berat tergantung cara menanganinya,\" ungkapnya.
Meski melanggar undang-undang, Pemko Medan menurut Yance masih bisa selamat karena peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU nomor 18 tahun 2018 tentang sampah tersebut banyak yang belum selesai. Ia mengaku tidak paham mengapa hal tersebut terjadi, dan ini menjadi alasan bagi Pemko Medan untuk belum mengimplementasikannya.
\"Tapi memang sejak awal sudah terlihat, pemerintah tidak punya itikad yang jelas dan kebijakan yang jelas soal pengelolaan sampah. Indikasinya, uu nya ditelantarkan. Kalau masyarakat mau menggugat itu bisa kena pemerintah,\" demikian Yance." itemprop="description"/>
Menurut dosen berdarah Belanda ini, pengelolaan sampah sudah diatur dalam UU RI nomor 18 tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sejak 2008 tidak boleh lagi ada tempat pembuangan sampah akhir yang terbuka, melainkan harus dalam bentuk pengelolaan tertutup. Pemko Medan sendiri menurutnya sudah melanggar UU tersebut terlihat dari pengelolaan sampah akhir yang masih mengandalkan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
\"Jangankan untuk membuat pengelolaan sampah tertutup, survey lahannya saja belum ada terdengar. Berapa lama coba kita tertinggal dan itu melanggar UU,\" ujarnya.
Persoalan pengelolaan sampah di Medan ini lanjutnya sudah semakin terlihat dari TPA Terjun yang sudah penuh, begitu juga Namo Gajah. Saat ini TPA ditempatkan di kawasan Marelan dan dipastikan akan bernasib sama yakni penuh. Karena itu, solusi yang harus ditempuh sejak saat ini yakni menyediakan fasilitas pengelolaan sampah tertutup.
\"Di Singapura dan negara-negara eropa seperti Swiss sampah itu menjadi pembangkit listrik. Mereka saat ini bahkan kekurangan sampah dan mengimpornya dari Afrika. Jadi pengelolaan sampah ini bisa dibilang ringan dan bisa berat tergantung cara menanganinya,\" ungkapnya.
Meski melanggar undang-undang, Pemko Medan menurut Yance masih bisa selamat karena peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU nomor 18 tahun 2018 tentang sampah tersebut banyak yang belum selesai. Ia mengaku tidak paham mengapa hal tersebut terjadi, dan ini menjadi alasan bagi Pemko Medan untuk belum mengimplementasikannya.
\"Tapi memang sejak awal sudah terlihat, pemerintah tidak punya itikad yang jelas dan kebijakan yang jelas soal pengelolaan sampah. Indikasinya, uu nya ditelantarkan. Kalau masyarakat mau menggugat itu bisa kena pemerintah,\" demikian Yance."/>
Menurut dosen berdarah Belanda ini, pengelolaan sampah sudah diatur dalam UU RI nomor 18 tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sejak 2008 tidak boleh lagi ada tempat pembuangan sampah akhir yang terbuka, melainkan harus dalam bentuk pengelolaan tertutup. Pemko Medan sendiri menurutnya sudah melanggar UU tersebut terlihat dari pengelolaan sampah akhir yang masih mengandalkan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
\"Jangankan untuk membuat pengelolaan sampah tertutup, survey lahannya saja belum ada terdengar. Berapa lama coba kita tertinggal dan itu melanggar UU,\" ujarnya.
Persoalan pengelolaan sampah di Medan ini lanjutnya sudah semakin terlihat dari TPA Terjun yang sudah penuh, begitu juga Namo Gajah. Saat ini TPA ditempatkan di kawasan Marelan dan dipastikan akan bernasib sama yakni penuh. Karena itu, solusi yang harus ditempuh sejak saat ini yakni menyediakan fasilitas pengelolaan sampah tertutup.
\"Di Singapura dan negara-negara eropa seperti Swiss sampah itu menjadi pembangkit listrik. Mereka saat ini bahkan kekurangan sampah dan mengimpornya dari Afrika. Jadi pengelolaan sampah ini bisa dibilang ringan dan bisa berat tergantung cara menanganinya,\" ungkapnya.
Meski melanggar undang-undang, Pemko Medan menurut Yance masih bisa selamat karena peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU nomor 18 tahun 2018 tentang sampah tersebut banyak yang belum selesai. Ia mengaku tidak paham mengapa hal tersebut terjadi, dan ini menjadi alasan bagi Pemko Medan untuk belum mengimplementasikannya.
\"Tapi memang sejak awal sudah terlihat, pemerintah tidak punya itikad yang jelas dan kebijakan yang jelas soal pengelolaan sampah. Indikasinya, uu nya ditelantarkan. Kalau masyarakat mau menggugat itu bisa kena pemerintah,\" demikian Yance."/>
Pengamat lingkungan Universitas Sumatera Utara, Drs Yance mengatakan persoalan sampah menjadi 'bom waktu' yang belum mampu diatasi di Kota Medan. Persoalan sampah ini jugalah yang menurutnya menjadi salah satu hal yang membuat Kota Medan mendapat predikat kota terjorok beberapa waktu lalu. Demikian disampaikannya dalam Social Infinity Meet up '429 Tahun Medan Masih Berkutat Dengan Banjir' di Kantor Redaksi com, Jalan Tempua, Komplek Taman Tempua Residence, Blok A6, Medan
"Persoalan utama Medan salah satunya sampah," katanya.
Menurut dosen berdarah Belanda ini, pengelolaan sampah sudah diatur dalam UU RI nomor 18 tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sejak 2008 tidak boleh lagi ada tempat pembuangan sampah akhir yang terbuka, melainkan harus dalam bentuk pengelolaan tertutup. Pemko Medan sendiri menurutnya sudah melanggar UU tersebut terlihat dari pengelolaan sampah akhir yang masih mengandalkan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Jangankan untuk membuat pengelolaan sampah tertutup, survey lahannya saja belum ada terdengar. Berapa lama coba kita tertinggal dan itu melanggar UU," ujarnya.
Persoalan pengelolaan sampah di Medan ini lanjutnya sudah semakin terlihat dari TPA Terjun yang sudah penuh, begitu juga Namo Gajah. Saat ini TPA ditempatkan di kawasan Marelan dan dipastikan akan bernasib sama yakni penuh. Karena itu, solusi yang harus ditempuh sejak saat ini yakni menyediakan fasilitas pengelolaan sampah tertutup.
"Di Singapura dan negara-negara eropa seperti Swiss sampah itu menjadi pembangkit listrik. Mereka saat ini bahkan kekurangan sampah dan mengimpornya dari Afrika. Jadi pengelolaan sampah ini bisa dibilang ringan dan bisa berat tergantung cara menanganinya," ungkapnya.
Meski melanggar undang-undang, Pemko Medan menurut Yance masih bisa selamat karena peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU nomor 18 tahun 2018 tentang sampah tersebut banyak yang belum selesai. Ia mengaku tidak paham mengapa hal tersebut terjadi, dan ini menjadi alasan bagi Pemko Medan untuk belum mengimplementasikannya.
"Tapi memang sejak awal sudah terlihat, pemerintah tidak punya itikad yang jelas dan kebijakan yang jelas soal pengelolaan sampah. Indikasinya, uu nya ditelantarkan. Kalau masyarakat mau menggugat itu bisa kena pemerintah," demikian Yance.
Pengamat lingkungan Universitas Sumatera Utara, Drs Yance mengatakan persoalan sampah menjadi 'bom waktu' yang belum mampu diatasi di Kota Medan. Persoalan sampah ini jugalah yang menurutnya menjadi salah satu hal yang membuat Kota Medan mendapat predikat kota terjorok beberapa waktu lalu. Demikian disampaikannya dalam Social Infinity Meet up '429 Tahun Medan Masih Berkutat Dengan Banjir' di Kantor Redaksi com, Jalan Tempua, Komplek Taman Tempua Residence, Blok A6, Medan
"Persoalan utama Medan salah satunya sampah," katanya.
Menurut dosen berdarah Belanda ini, pengelolaan sampah sudah diatur dalam UU RI nomor 18 tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sejak 2008 tidak boleh lagi ada tempat pembuangan sampah akhir yang terbuka, melainkan harus dalam bentuk pengelolaan tertutup. Pemko Medan sendiri menurutnya sudah melanggar UU tersebut terlihat dari pengelolaan sampah akhir yang masih mengandalkan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Jangankan untuk membuat pengelolaan sampah tertutup, survey lahannya saja belum ada terdengar. Berapa lama coba kita tertinggal dan itu melanggar UU," ujarnya.
Persoalan pengelolaan sampah di Medan ini lanjutnya sudah semakin terlihat dari TPA Terjun yang sudah penuh, begitu juga Namo Gajah. Saat ini TPA ditempatkan di kawasan Marelan dan dipastikan akan bernasib sama yakni penuh. Karena itu, solusi yang harus ditempuh sejak saat ini yakni menyediakan fasilitas pengelolaan sampah tertutup.
"Di Singapura dan negara-negara eropa seperti Swiss sampah itu menjadi pembangkit listrik. Mereka saat ini bahkan kekurangan sampah dan mengimpornya dari Afrika. Jadi pengelolaan sampah ini bisa dibilang ringan dan bisa berat tergantung cara menanganinya," ungkapnya.
Meski melanggar undang-undang, Pemko Medan menurut Yance masih bisa selamat karena peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU nomor 18 tahun 2018 tentang sampah tersebut banyak yang belum selesai. Ia mengaku tidak paham mengapa hal tersebut terjadi, dan ini menjadi alasan bagi Pemko Medan untuk belum mengimplementasikannya.
"Tapi memang sejak awal sudah terlihat, pemerintah tidak punya itikad yang jelas dan kebijakan yang jelas soal pengelolaan sampah. Indikasinya, uu nya ditelantarkan. Kalau masyarakat mau menggugat itu bisa kena pemerintah," demikian Yance.