Salah satu pelajaran mendasar dan penting yang didapat dari proses pendidikan adalah kemampuan mencari, mengakses, memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi. Di masa lalu, tidak mudah mendapatkan informasi yang valid, karena dibutuhkan skil yang tinggi. Skil itu didapat dari proses latihan yang berat dan membutuhkan waktu lama. Informasi yang bernilai tinggi adalah informasi terpilih, tersaring melalui proses pengujian dari tumpukan menggunung informasi yang ada. Semakin padat, semakin sederhana, semakin teratur suatu informasi, semakin bernilai informasi itu. Informasi bernilai tinggi adalah hasil ekstraksi dari sekumpulan besar informasi. Sementara informasi itu didapat dari hasil mengekstraksi sekumpulan besar data. Sekumpulan besar data mentah, diolah, diatur, ditata menurut sistem klasifikasi/ taksonomi tertentu. Bahkan dibutuhkan berbagai prosedur metodologi dan software canggih untuk dapat dihasilkan sekumpulan data yang valid, terpercaya. Data adalah hasil ekstraksi dari sekumpulan besar fakta. Sementara untuk dapat menghampiri fakta dibutuhkan berbagai metode observasi dan pengukuran mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Di samping itu dibutuhkan juga berbagai peralatan instrumentasi dari yang sederhana sampai yang berbasiskan teknologi nano. Dari kumpulan fakta terpilih itu dilakukan ekstraksi untuk dapat dihasilkan data yang valid. Singkatnya untuk memperoleh informasi yang valid dibutuhkan skil tingkat tinggi, waktu yang lama, usaha keras, daya kritis yang tajam, kejujuran dan mentalitas independen. Semua kondisi yang di uraikan di atas adalah situasi pada masa pra era informasi. Pada masa era informasi yang sedang berlangsung, situasi dan kondisinya berbeda jauh. Dengan kemajuan teknologi komputasi, teknologi informasi, setiap orang bahkan dengan kemampuan ala kadarnya, dapat mengakses informasi. Setiap detik kita dihujani dengan kelimpahan infofmasi. Sampai sampai kita tidak punya waktu untuk menyaring informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi kesempatan untuk menilai kebenaran, reliabilitas dan validitasnya. Kecepatan, intensitas lalu lintas informasi saat ini sudah melampaui batas daya serap sebagian besar orang. Hanya segelintir orang orang yang terlatih yang masih dapat memelihara kemampuan berstandar tinggi untuk menyaring, memanfaatkan informasi. Kemampuan yang paling dibutuhkan pada masa kini, berkenaan dengan pemanfaatan informasi adalah kemampuan membuang sebagian besar informasi, khususnya yang masuk kategori sampah. Inilah paradoks pertama yang terjadi. Informasi dihasilkan hanya untuk kemudian dibuang, tidak dimanfaatkan Ironisnya kemampuan mendasar yang paling dibutuhkan untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut yaitu daya kritis, semakin tumpul. Inilah paradoks kedua. Semakin banyak informasi, daya kritis justru semakin tumpul. Penggunaan perangkat smartphone berbasis teknologi digital yang semakin meluas, diikuti dengan semakin banyaknya aplikasi dan media sosial. Dengan demikian seharusnya terbentuk lebih banyak titik titik simpul penyebaran informasi. Di samping itu terjadi lonjakan jumlah grup media sosial seperti Whats App. Kehadiran grup grup itu seharusnya mendorong semakin intens tukar menukar informasi/ gagasan dan diskusi diskusi. Fakta yang terjadi justru semakin tumpul daya kritis dan sepinya aktivitas diskusi. Bahkan muncul fenomena yang melawan akal sehat. Idealnya sebuah evaluasi baru muncul setelah adanya upaya kajian dan kritik yang intensif. Sebuah postingan yang luncurkan, baru dievaluasi setelah ditelaah lebih dahulu. Anehnya tanpa ada upaya telaah kritis, suatu postingan mendapat evaluasi berupa simbol acungan jempol, bahkan sering jumlahnya lebih dari satu. Hal ini diketahui dengan melihat selisih durasi waktu yang sangat singkat antara munculnya postingan dengan munculnya respon yang memuat pujian. Yang diharapkan adalah kritik atau diskusi yang intens, bukan evaluasi berisi pujian tanpa dasar. Grup grup media sosial bahkan sudah menjadi semacam penjara virtual bagi anggota anggotanya. Buruknya kinerja seorang pejabat atau sebuah instansi tidak dikritisi, hanya karena ada seorang atau beberapa anggota grup yang bekerja di sana, atau ada rekan sesama alumni suatu univrsitas yang berdinas di sana. Inilah paradoks ketiga , Jumlah grup media sosial berbanding terbalik dengan daya kritis. Kebebasan informasi justru semakin membelenggu kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Retrospeksi, Introspeksi dan Reposisi Suatu produk teknologi pada dasarnya adalah suatu produk budaya dari masyarakat yang mendukungnya. Setiap produk budaya pasti mengandung nilai nilai tertentu. Nilai nilai itu in herent di dalam produk budayanya. Budaya dan ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai produk semata, tetapi juga harus dipandang sebagai proses. Dengan cara pandang ini, maka setiap ada upaya introdusir suatu budaya atau teknologi, harus dipahami benar nilai nilai yang mendasarinya. Tanpa ada upaya memahami nilai nilai yang terkandung di dalam dari suatu teknologi, maka akan terjadi kesenjangan budaya yang pada akhirnya terlihat pada berbagai paradoks yang terjadi. Paradoks adalah gejala tidak sehat di dalam kehidupan manusia. Contoh paradoks lain yang terjadi di masyarakat adalah: Teknologi diciptakan untuk meringankan beban kerja fisik manusia, tetapi yang terjadi, justru beban kerja makin berat dan waktu istirahat manusia makin berkurang. Uang adalah instrumen moneter yang diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, tetapi yang terjadi justru manusia yang menghambakan dirinya pada uang. Untuk keluar dari jebakan berbagai paradoks di dalam peradaban tidak dapat tidak, manusia harus melakukan upaya retrospeksi, introspeksi dan reposisi atas eksistensinya di alam. Drs. Yance M.Si, Dosen Antropologi Universitas Sumatera Utara dan Pengamat Sosial
Salah satu pelajaran mendasar dan penting yang didapat dari proses pendidikan adalah kemampuan mencari, mengakses, memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi. Di masa lalu, tidak mudah mendapatkan informasi yang valid, karena dibutuhkan skil yang tinggi. Skil itu didapat dari proses latihan yang berat dan membutuhkan waktu lama. Informasi yang bernilai tinggi adalah informasi terpilih, tersaring melalui proses pengujian dari tumpukan menggunung informasi yang ada. Semakin padat, semakin sederhana, semakin teratur suatu informasi, semakin bernilai informasi itu. Informasi bernilai tinggi adalah hasil ekstraksi dari sekumpulan besar informasi. Sementara informasi itu didapat dari hasil mengekstraksi sekumpulan besar data. Sekumpulan besar data mentah, diolah, diatur, ditata menurut sistem klasifikasi/ taksonomi tertentu. Bahkan dibutuhkan berbagai prosedur metodologi dan software canggih untuk dapat dihasilkan sekumpulan data yang valid, terpercaya. Data adalah hasil ekstraksi dari sekumpulan besar fakta. Sementara untuk dapat menghampiri fakta dibutuhkan berbagai metode observasi dan pengukuran mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Di samping itu dibutuhkan juga berbagai peralatan instrumentasi dari yang sederhana sampai yang berbasiskan teknologi nano. Dari kumpulan fakta terpilih itu dilakukan ekstraksi untuk dapat dihasilkan data yang valid. Singkatnya untuk memperoleh informasi yang valid dibutuhkan skil tingkat tinggi, waktu yang lama, usaha keras, daya kritis yang tajam, kejujuran dan mentalitas independen. Semua kondisi yang di uraikan di atas adalah situasi pada masa pra era informasi. Pada masa era informasi yang sedang berlangsung, situasi dan kondisinya berbeda jauh. Dengan kemajuan teknologi komputasi, teknologi informasi, setiap orang bahkan dengan kemampuan ala kadarnya, dapat mengakses informasi. Setiap detik kita dihujani dengan kelimpahan infofmasi. Sampai sampai kita tidak punya waktu untuk menyaring informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi kesempatan untuk menilai kebenaran, reliabilitas dan validitasnya. Kecepatan, intensitas lalu lintas informasi saat ini sudah melampaui batas daya serap sebagian besar orang. Hanya segelintir orang orang yang terlatih yang masih dapat memelihara kemampuan berstandar tinggi untuk menyaring, memanfaatkan informasi. Kemampuan yang paling dibutuhkan pada masa kini, berkenaan dengan pemanfaatan informasi adalah kemampuan membuang sebagian besar informasi, khususnya yang masuk kategori sampah. Inilah paradoks pertama yang terjadi. Informasi dihasilkan hanya untuk kemudian dibuang, tidak dimanfaatkan Ironisnya kemampuan mendasar yang paling dibutuhkan untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut yaitu daya kritis, semakin tumpul. Inilah paradoks kedua. Semakin banyak informasi, daya kritis justru semakin tumpul. Penggunaan perangkat smartphone berbasis teknologi digital yang semakin meluas, diikuti dengan semakin banyaknya aplikasi dan media sosial. Dengan demikian seharusnya terbentuk lebih banyak titik titik simpul penyebaran informasi. Di samping itu terjadi lonjakan jumlah grup media sosial seperti Whats App. Kehadiran grup grup itu seharusnya mendorong semakin intens tukar menukar informasi/ gagasan dan diskusi diskusi. Fakta yang terjadi justru semakin tumpul daya kritis dan sepinya aktivitas diskusi. Bahkan muncul fenomena yang melawan akal sehat. Idealnya sebuah evaluasi baru muncul setelah adanya upaya kajian dan kritik yang intensif. Sebuah postingan yang luncurkan, baru dievaluasi setelah ditelaah lebih dahulu. Anehnya tanpa ada upaya telaah kritis, suatu postingan mendapat evaluasi berupa simbol acungan jempol, bahkan sering jumlahnya lebih dari satu. Hal ini diketahui dengan melihat selisih durasi waktu yang sangat singkat antara munculnya postingan dengan munculnya respon yang memuat pujian. Yang diharapkan adalah kritik atau diskusi yang intens, bukan evaluasi berisi pujian tanpa dasar. Grup grup media sosial bahkan sudah menjadi semacam penjara virtual bagi anggota anggotanya. Buruknya kinerja seorang pejabat atau sebuah instansi tidak dikritisi, hanya karena ada seorang atau beberapa anggota grup yang bekerja di sana, atau ada rekan sesama alumni suatu univrsitas yang berdinas di sana. Inilah paradoks ketiga , Jumlah grup media sosial berbanding terbalik dengan daya kritis. Kebebasan informasi justru semakin membelenggu kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Retrospeksi, Introspeksi dan Reposisi Suatu produk teknologi pada dasarnya adalah suatu produk budaya dari masyarakat yang mendukungnya. Setiap produk budaya pasti mengandung nilai nilai tertentu. Nilai nilai itu in herent di dalam produk budayanya. Budaya dan ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai produk semata, tetapi juga harus dipandang sebagai proses. Dengan cara pandang ini, maka setiap ada upaya introdusir suatu budaya atau teknologi, harus dipahami benar nilai nilai yang mendasarinya. Tanpa ada upaya memahami nilai nilai yang terkandung di dalam dari suatu teknologi, maka akan terjadi kesenjangan budaya yang pada akhirnya terlihat pada berbagai paradoks yang terjadi. Paradoks adalah gejala tidak sehat di dalam kehidupan manusia. Contoh paradoks lain yang terjadi di masyarakat adalah: Teknologi diciptakan untuk meringankan beban kerja fisik manusia, tetapi yang terjadi, justru beban kerja makin berat dan waktu istirahat manusia makin berkurang. Uang adalah instrumen moneter yang diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, tetapi yang terjadi justru manusia yang menghambakan dirinya pada uang. Untuk keluar dari jebakan berbagai paradoks di dalam peradaban tidak dapat tidak, manusia harus melakukan upaya retrospeksi, introspeksi dan reposisi atas eksistensinya di alam. Drs. Yance M.Si, Dosen Antropologi Universitas Sumatera Utara dan Pengamat Sosial© Copyright 2024, All Rights Reserved