\"Artinya mereka tidak lagi punya hak atas lahan tersebut, lantas kenapa mereka menerima kompensasinya?, itu patut diduga menyalahi aturan,\" katanya, Senin (6/1).
Edi menjelaskan atas hal ini PTPN II dapat dikenakan pidana karena menerima kompensasi atas lahan yang merupakan lahan milik negara. Lahan yang sudah hapus buku tersebut seharusnya langsung dibayarkan kepada pihak Kementerian Keuangan.
“Sesuatu hal yang tidak ada, lalu diada-adakan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal, itu namanya perampokan. Bisa dipidana,” ujarnya.
Edi mempertanyakan aturan BPN yang mewajibkan untuk membayar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku. Edi menjelaskan secara hukum administrasi negara dan hukum perusahaan, lahan eks HGU yang telah dihapusbukukan secara hukum bukan lagi sebagai aset negara dan tidak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak yang baru untuk membayar sejumlah uang.
“Jika itu tetap diberlakukan berarti BPN telah melakukan pungli, tepatnya pungli yang dilegalkan karena bertentangan dengan hukum administrasi negara, hukum perusahaan,” ungkapnya.
Edi menyatakan seharusnya aparat penegak hukum sudah bisa bertindak mengusut kasus pungli pembayaran uang ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini karena itu bukan delik aduan.
“Kasus pungli pembayaran ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini delik umum, dimana aparat hukum bisa langsung melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu adanya laporan kasus,” pungkasnya.
Diketahui pekan lalu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membayar uang ganti rugi sebesar Rp 31,2 miliar untuk lahan eks HGU seluas 50 hektar dari PT PTPN II. Lahan tersebut rencananya akan digunakan Pemprop Sumut untuk pembangunan Islamic Centre.[R]
" itemprop="description"/>\"Artinya mereka tidak lagi punya hak atas lahan tersebut, lantas kenapa mereka menerima kompensasinya?, itu patut diduga menyalahi aturan,\" katanya, Senin (6/1).
Edi menjelaskan atas hal ini PTPN II dapat dikenakan pidana karena menerima kompensasi atas lahan yang merupakan lahan milik negara. Lahan yang sudah hapus buku tersebut seharusnya langsung dibayarkan kepada pihak Kementerian Keuangan.
“Sesuatu hal yang tidak ada, lalu diada-adakan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal, itu namanya perampokan. Bisa dipidana,” ujarnya.
Edi mempertanyakan aturan BPN yang mewajibkan untuk membayar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku. Edi menjelaskan secara hukum administrasi negara dan hukum perusahaan, lahan eks HGU yang telah dihapusbukukan secara hukum bukan lagi sebagai aset negara dan tidak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak yang baru untuk membayar sejumlah uang.
“Jika itu tetap diberlakukan berarti BPN telah melakukan pungli, tepatnya pungli yang dilegalkan karena bertentangan dengan hukum administrasi negara, hukum perusahaan,” ungkapnya.
Edi menyatakan seharusnya aparat penegak hukum sudah bisa bertindak mengusut kasus pungli pembayaran uang ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini karena itu bukan delik aduan.
“Kasus pungli pembayaran ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini delik umum, dimana aparat hukum bisa langsung melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu adanya laporan kasus,” pungkasnya.
Diketahui pekan lalu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membayar uang ganti rugi sebesar Rp 31,2 miliar untuk lahan eks HGU seluas 50 hektar dari PT PTPN II. Lahan tersebut rencananya akan digunakan Pemprop Sumut untuk pembangunan Islamic Centre.[R]
"/>\"Artinya mereka tidak lagi punya hak atas lahan tersebut, lantas kenapa mereka menerima kompensasinya?, itu patut diduga menyalahi aturan,\" katanya, Senin (6/1).
Edi menjelaskan atas hal ini PTPN II dapat dikenakan pidana karena menerima kompensasi atas lahan yang merupakan lahan milik negara. Lahan yang sudah hapus buku tersebut seharusnya langsung dibayarkan kepada pihak Kementerian Keuangan.
“Sesuatu hal yang tidak ada, lalu diada-adakan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal, itu namanya perampokan. Bisa dipidana,” ujarnya.
Edi mempertanyakan aturan BPN yang mewajibkan untuk membayar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku. Edi menjelaskan secara hukum administrasi negara dan hukum perusahaan, lahan eks HGU yang telah dihapusbukukan secara hukum bukan lagi sebagai aset negara dan tidak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak yang baru untuk membayar sejumlah uang.
“Jika itu tetap diberlakukan berarti BPN telah melakukan pungli, tepatnya pungli yang dilegalkan karena bertentangan dengan hukum administrasi negara, hukum perusahaan,” ungkapnya.
Edi menyatakan seharusnya aparat penegak hukum sudah bisa bertindak mengusut kasus pungli pembayaran uang ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini karena itu bukan delik aduan.
“Kasus pungli pembayaran ganti rugi lahan eks HGU PTPN II ini delik umum, dimana aparat hukum bisa langsung melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu adanya laporan kasus,” pungkasnya.
Diketahui pekan lalu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membayar uang ganti rugi sebesar Rp 31,2 miliar untuk lahan eks HGU seluas 50 hektar dari PT PTPN II. Lahan tersebut rencananya akan digunakan Pemprop Sumut untuk pembangunan Islamic Centre.[R]
"/>