Pengamat politik Sohibul Ansor Siregar mengatakan konflik di dalam partai politik tetap akan muncul terutama jelang agenda-agenda pergantian kepengurusan. Hal ini menurutnya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah yang memiliki kepentingan secara langsung terhadap keberadaan partai-partai politik tersebut. Demikian disampaikannya menanggapi hasil Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) di Kendari yang dimenangkan oleh Zulkifli Hasan pada posisi Ketua Umum PAN hingga satu periode kedepan. "Semua partai politik berorientasi kekuasaan dan karena itu partai yang berpotensi melawan pemerintahan akan disikapi dengan kekuasaan," katanya kepada redaksi, Kamis (13/2). Ia menyebutkan campur tangan pemerintah ini sudah terlihat sejak zaman Soekarno dimana banyak partai politik yang dibubarkan. Begitu juga pada zaman Soeharto yang menata partai agar semua tunduk, meskipun secara formal tetap terkesan sebagai institusi demokrasi. "Semuanya itu melukiskan pengalaman demokrasi dan politik yang menegaskan keniscayaan kekuasaan," ujarnya. Ia mencontohkan, Golkar yang merupakan partai yang dibangun Soeharto juga tercatat berulangkali gagal mempertahankan soliditas hingga lahir partai-partai baru seperti Gerindra, Hanura, Nasdem dan lain-lain. PAN juga pernah gagal mengakomodasi gejolak internal hingga melahirkan Partai Matahari Bangsa (PMB) meskipun hanya pernah ikut sekali pemilu dan bubar selamanya. Terakhir hal ini juga terjadi pada PKS. "Meski tidak persis sama apa yang dialami PKS kelihatan dalam PAN dengan barisan yang menginginkan konsistensi sikap reformatif atau kencenderungan pragmatis. Berapa pun kandidat yang maju pada kongres itu dapat diklasifikasi kepada dua kategori, yakni reformatif dan pragmatis. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh kalangan kedua. Bahkan kalangan reformatif seakan tak bergaung sama sekali," ungkapnya. Menurut Sohibul, PAN sudah lama membangun tradisi yang kurang demokratis sehingga permusyawaratan di daerah kurang menghargai aspirasi yang digantikan oleh argumen komando. Hal ini mungkin masuk akal dengan alasan untuk mengeliminasi money politic dalam musyawarah pergantian pengurus dan span of control yang kuat dari pusat. "Tetapi dampaknya sangat besar dan luas. Bahwa tanpa disadari kini PAN mengalami kerugian besar dengan tradisi baru itu dengan apatisnya kader idealis dan keraguan yang semakin besar atas keamanahan yang terus diharapkan oleh kinstituen kepada partai ini," pungkasnya.[R]
Pengamat politik Sohibul Ansor Siregar mengatakan konflik di dalam partai politik tetap akan muncul terutama jelang agenda-agenda pergantian kepengurusan. Hal ini menurutnya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah yang memiliki kepentingan secara langsung terhadap keberadaan partai-partai politik tersebut. Demikian disampaikannya menanggapi hasil Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) di Kendari yang dimenangkan oleh Zulkifli Hasan pada posisi Ketua Umum PAN hingga satu periode kedepan. "Semua partai politik berorientasi kekuasaan dan karena itu partai yang berpotensi melawan pemerintahan akan disikapi dengan kekuasaan," katanya kepada redaksi, Kamis (13/2). Ia menyebutkan campur tangan pemerintah ini sudah terlihat sejak zaman Soekarno dimana banyak partai politik yang dibubarkan. Begitu juga pada zaman Soeharto yang menata partai agar semua tunduk, meskipun secara formal tetap terkesan sebagai institusi demokrasi. "Semuanya itu melukiskan pengalaman demokrasi dan politik yang menegaskan keniscayaan kekuasaan," ujarnya. Ia mencontohkan, Golkar yang merupakan partai yang dibangun Soeharto juga tercatat berulangkali gagal mempertahankan soliditas hingga lahir partai-partai baru seperti Gerindra, Hanura, Nasdem dan lain-lain. PAN juga pernah gagal mengakomodasi gejolak internal hingga melahirkan Partai Matahari Bangsa (PMB) meskipun hanya pernah ikut sekali pemilu dan bubar selamanya. Terakhir hal ini juga terjadi pada PKS. "Meski tidak persis sama apa yang dialami PKS kelihatan dalam PAN dengan barisan yang menginginkan konsistensi sikap reformatif atau kencenderungan pragmatis. Berapa pun kandidat yang maju pada kongres itu dapat diklasifikasi kepada dua kategori, yakni reformatif dan pragmatis. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh kalangan kedua. Bahkan kalangan reformatif seakan tak bergaung sama sekali," ungkapnya. Menurut Sohibul, PAN sudah lama membangun tradisi yang kurang demokratis sehingga permusyawaratan di daerah kurang menghargai aspirasi yang digantikan oleh argumen komando. Hal ini mungkin masuk akal dengan alasan untuk mengeliminasi money politic dalam musyawarah pergantian pengurus dan span of control yang kuat dari pusat. "Tetapi dampaknya sangat besar dan luas. Bahwa tanpa disadari kini PAN mengalami kerugian besar dengan tradisi baru itu dengan apatisnya kader idealis dan keraguan yang semakin besar atas keamanahan yang terus diharapkan oleh kinstituen kepada partai ini," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved