Prosedur penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemik Covid-19 dinilai terlalu rumit. Bahkan, kebijakan yang diklaim bisa mencegah sebaran corona tersebut kurang tepat. Demikian pandangan yang disampaikan pengamat Hukum dan Tata Negara dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, Rabu (8/4). “Kurang pas menurut saya dengan situasi darurat, mesti diajukan ke pusat dengan berbagai data yang menurut saya tidak mudah untuk dikumpulkan dengan cepat. Kemudian harus juga ada rekomendasi dari Satgas atau Gugus Tugas Covid-19 nasional yang dipimpin Pak Doni,” ujar Asep, dikutip Kantor Berita RMOLJabar. Asep menyebut, pengajuan PSBB secara prosedural agak terlalu birokratis, meski dalam Permenkes telah disebutkan akan dikerjakan dalam waktu dua hari. Kenyataannya, pemerintah daerah akan mengalami kendala dalam melengkapi berkas yang kurang. Lanjut Asep Warlan, semestinya dalam situasi saat ini pemerintah pusat dapat menyerahkan langsung wewenang penetapan PSBB kepada gubernur sebagai wakil dari presiden atau pemerintah pusat di daerah. “Kenapa itu tidak dijalankan saja pendayagunaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, sehingga tidak harus ke Jakarta, ke Menkes. Cukup didelegasikan kepada gubernur dari segi substansi,” ujarnya. Asep pun menyayangkan hal tersebut jika melihat undang-undang tentang karantina kesehatan. Sebab, penerapan PSBB sangat efektif mencegah dan memutus mata rantai penularan Covid-19, selain karantina wilayah atau lockdown yang belum mungkin dilakukan di Indonesia. “Jabar harusnya sudah menerapkan status PSBB. Kalau dilihat grafik statistik yang kita baca laporan resmi pemerintah, Jabar termasuk tinggi kedua setelah DKI. Hemat saya sangat tepat waktunya Jabar diterapkan PSBB yang sesuai kebutuhan, karena kemungkinan ada beberapa hal berbeda dengan DKI,” tutup Asep.[R]
Prosedur penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemik Covid-19 dinilai terlalu rumit. Bahkan, kebijakan yang diklaim bisa mencegah sebaran corona tersebut kurang tepat. Demikian pandangan yang disampaikan pengamat Hukum dan Tata Negara dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, Rabu (8/4). “Kurang pas menurut saya dengan situasi darurat, mesti diajukan ke pusat dengan berbagai data yang menurut saya tidak mudah untuk dikumpulkan dengan cepat. Kemudian harus juga ada rekomendasi dari Satgas atau Gugus Tugas Covid-19 nasional yang dipimpin Pak Doni,” ujar Asep, dikutip Kantor Berita RMOLJabar. Asep menyebut, pengajuan PSBB secara prosedural agak terlalu birokratis, meski dalam Permenkes telah disebutkan akan dikerjakan dalam waktu dua hari. Kenyataannya, pemerintah daerah akan mengalami kendala dalam melengkapi berkas yang kurang. Lanjut Asep Warlan, semestinya dalam situasi saat ini pemerintah pusat dapat menyerahkan langsung wewenang penetapan PSBB kepada gubernur sebagai wakil dari presiden atau pemerintah pusat di daerah. “Kenapa itu tidak dijalankan saja pendayagunaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, sehingga tidak harus ke Jakarta, ke Menkes. Cukup didelegasikan kepada gubernur dari segi substansi,” ujarnya. Asep pun menyayangkan hal tersebut jika melihat undang-undang tentang karantina kesehatan. Sebab, penerapan PSBB sangat efektif mencegah dan memutus mata rantai penularan Covid-19, selain karantina wilayah atau lockdown yang belum mungkin dilakukan di Indonesia. “Jabar harusnya sudah menerapkan status PSBB. Kalau dilihat grafik statistik yang kita baca laporan resmi pemerintah, Jabar termasuk tinggi kedua setelah DKI. Hemat saya sangat tepat waktunya Jabar diterapkan PSBB yang sesuai kebutuhan, karena kemungkinan ada beberapa hal berbeda dengan DKI,” tutup Asep.© Copyright 2024, All Rights Reserved