Kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi khususnya orangutan masih terus terjadi. Menjelang akhir tahun 2019 masyarakat Sumatera Utara dikagetkan oleh penyitaan sepasang anak orangutan dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Data sebagaimana tercatat pada akun Instagram milik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), pada Minggu (24/11/2019), seorang pria berinisial A di Marelan pada pukul 21.00 WIB menyerahkan sepasang orangutan jantan dan betina yang disebutnya berasal dari Tapak Tuan, Aceh. Usianya diperkirakan 3 tahun. Pria tersebut mengaku mendapatkannya dari seorang anggota Komunitas Pecinta Burung Berkicau di Langkat. Orangutan yang kemudian dibawa ke Pusat Konservasi Orangutan Sumatera di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang itu diberi nama Marelan dan Marleni oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) Hotmauli Sianturi. Awal tahun 2020, sebuah rumah di Dusun Kwala Nibung, Desa Pula Rambung, Kecamatan Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, Kamis (9/1//2020) Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menyita sepasang orangutan jantan dan betina berusia 2 dan 1 tahun. Butuh waktu hampir satu bulan untuk Balai Gakkum Wilayah Sumatera menangkap pelaku yang menurut Kepala Seksi Wilayah I, Haluanto Ginting sempat melarikan diri saat digerebek. Namun, petugas berhasil menangkap pelaku pada 31 Januari 2020 di rumah orang tua pelaku di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumut. Lalu pada 27 Januari 2020, terungkap di rumah dinas Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan terdapat satu individu orangutan yang menurut informasi diserahkan oleh warga sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Belum sempat disita oleh BBKSDA Sumut dan mitranya, orangutan tersebut 'dilepasliarkan' ke alam tanpa dampingan pihak otoritas. Rentetan kasus tersebut menunjukkan masih maraknya perburuan dan perdagangan orangutan. Penegakan hukum terkait hal tersebut juga masih perlu dikuatkan. Apalagi jika ditambahkan dengan kasus-kasus di tahun-tahun sebelumnya, akan bertambah panjang. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan, sudah waktunya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa diperkuat. Tidak cukup hanya dilakukan secara persuasif. "Di Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Hayati, menurutnya, tidak ada perbedaan antara memburu, melukai, memelihara, memiliki, membunuh, memperdagangkan, kedudukannya sama," katanya, Jumat (27/3/2020) sore. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya edukasi yang menyeluruh akan mebuat perburuan dan perdangangan satwa yang dilindungi ini terus saja terjadi. Belum lagi kehancuran hutan yang menjadi habitat satwa belum juga terkendali. "Karena itu konflik manusia dengan satwa akan semakin tinggi habkan kepunahan juga akan segera terjadi jika tidak ada perbaikan," katanya. Dikatakannya, dalam hal penguatan terkait penegakan hukum, Walhi Sumut siap untuk dilibatkan mulai dari mitigasi (?), investigasi, kampanye dan membangun gerakan bersama untuk memutus rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. "Kita siap untuk melibatkan diri ataupun dilibatkan dalam gerakan bersama menghentikan rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. Gerakan bersama itu bisa dalam banyak bentuk," katanya.[R]
Kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi khususnya orangutan masih terus terjadi. Menjelang akhir tahun 2019 masyarakat Sumatera Utara dikagetkan oleh penyitaan sepasang anak orangutan dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Data sebagaimana tercatat pada akun Instagram milik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), pada Minggu (24/11/2019), seorang pria berinisial A di Marelan pada pukul 21.00 WIB menyerahkan sepasang orangutan jantan dan betina yang disebutnya berasal dari Tapak Tuan, Aceh. Usianya diperkirakan 3 tahun. Pria tersebut mengaku mendapatkannya dari seorang anggota Komunitas Pecinta Burung Berkicau di Langkat. Orangutan yang kemudian dibawa ke Pusat Konservasi Orangutan Sumatera di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang itu diberi nama Marelan dan Marleni oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) Hotmauli Sianturi. Awal tahun 2020, sebuah rumah di Dusun Kwala Nibung, Desa Pula Rambung, Kecamatan Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, Kamis (9/1//2020) Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menyita sepasang orangutan jantan dan betina berusia 2 dan 1 tahun. Butuh waktu hampir satu bulan untuk Balai Gakkum Wilayah Sumatera menangkap pelaku yang menurut Kepala Seksi Wilayah I, Haluanto Ginting sempat melarikan diri saat digerebek. Namun, petugas berhasil menangkap pelaku pada 31 Januari 2020 di rumah orang tua pelaku di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumut. Lalu pada 27 Januari 2020, terungkap di rumah dinas Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan terdapat satu individu orangutan yang menurut informasi diserahkan oleh warga sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Belum sempat disita oleh BBKSDA Sumut dan mitranya, orangutan tersebut 'dilepasliarkan' ke alam tanpa dampingan pihak otoritas. Rentetan kasus tersebut menunjukkan masih maraknya perburuan dan perdagangan orangutan. Penegakan hukum terkait hal tersebut juga masih perlu dikuatkan. Apalagi jika ditambahkan dengan kasus-kasus di tahun-tahun sebelumnya, akan bertambah panjang. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan, sudah waktunya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa diperkuat. Tidak cukup hanya dilakukan secara persuasif. "Di Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Hayati, menurutnya, tidak ada perbedaan antara memburu, melukai, memelihara, memiliki, membunuh, memperdagangkan, kedudukannya sama," katanya, Jumat (27/3/2020) sore. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya edukasi yang menyeluruh akan mebuat perburuan dan perdangangan satwa yang dilindungi ini terus saja terjadi. Belum lagi kehancuran hutan yang menjadi habitat satwa belum juga terkendali. "Karena itu konflik manusia dengan satwa akan semakin tinggi habkan kepunahan juga akan segera terjadi jika tidak ada perbaikan," katanya. Dikatakannya, dalam hal penguatan terkait penegakan hukum, Walhi Sumut siap untuk dilibatkan mulai dari mitigasi (?), investigasi, kampanye dan membangun gerakan bersama untuk memutus rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. "Kita siap untuk melibatkan diri ataupun dilibatkan dalam gerakan bersama menghentikan rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. Gerakan bersama itu bisa dalam banyak bentuk," katanya.© Copyright 2024, All Rights Reserved