Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, harga rumah subsidi pun mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
\"Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya,\" ujar pakar tata kota dan kebijakan publik ini.
Alhasil, kata dia, fenomena urban sprawl akan terjadi yakni maraknya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan.
\"Ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan,\" imbuhnya.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat makin menurun dan modal sosial makin merosot.
\"Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air,\" kata dia.
Oleh karenanya, kembali ia menenkankan sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut. Idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan untuk segelintir kalangan atas.
\"Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN,\" pungkas Asnawi.[R] " itemprop="description"/>
Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, harga rumah subsidi pun mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
\"Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya,\" ujar pakar tata kota dan kebijakan publik ini.
Alhasil, kata dia, fenomena urban sprawl akan terjadi yakni maraknya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan.
\"Ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan,\" imbuhnya.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat makin menurun dan modal sosial makin merosot.
\"Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air,\" kata dia.
Oleh karenanya, kembali ia menenkankan sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut. Idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan untuk segelintir kalangan atas.
\"Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN,\" pungkas Asnawi.[R] "/>
Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, harga rumah subsidi pun mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
\"Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya,\" ujar pakar tata kota dan kebijakan publik ini.
Alhasil, kata dia, fenomena urban sprawl akan terjadi yakni maraknya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan.
\"Ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan,\" imbuhnya.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat makin menurun dan modal sosial makin merosot.
\"Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air,\" kata dia.
Oleh karenanya, kembali ia menenkankan sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut. Idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan untuk segelintir kalangan atas.
\"Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN,\" pungkas Asnawi.[R] "/>
Penting bagi panelis debat capres kedua menanyakan soal urgensi pembangunan infrastruktur. Untuk siapa dan apakah pembangunan infrastruktur berdampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mayoritas rakyat Indonesia?
Begitu pandangan Direktur Center for Housing and Urban Development Studies (CHUDS) Asnawi Manaf dalam keterangan yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/2).
Asnawi mengatakan berdasarkan data World Bank, 60 persen keluarga di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp2,5 juta per bulan. Dengan begitu, sambung dia, bisa dipastikan mereka akan makin termarginalkan bila pemerintah tak hadir.
"Mereka akan tinggal makin jauh dari layanan serta sarana dan prasarana pembangunan infrastruktur kota. Mayoritas masyarakat ini terdesak makin ke tepi karena tak mampu mengakses lahan di daerah pusat perkotaan," katanya.
Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, harga rumah subsidi pun mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
"Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya," ujar pakar tata kota dan kebijakan publik ini.
Alhasil, kata dia, fenomena urban sprawl akan terjadi yakni maraknya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan.
"Ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan," imbuhnya.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat makin menurun dan modal sosial makin merosot.
"Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air," kata dia.
Oleh karenanya, kembali ia menenkankan sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut. Idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan untuk segelintir kalangan atas.
"Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN," pungkas Asnawi.[R]
Penting bagi panelis debat capres kedua menanyakan soal urgensi pembangunan infrastruktur. Untuk siapa dan apakah pembangunan infrastruktur berdampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mayoritas rakyat Indonesia?
Begitu pandangan Direktur Center for Housing and Urban Development Studies (CHUDS) Asnawi Manaf dalam keterangan yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/2).
Asnawi mengatakan berdasarkan data World Bank, 60 persen keluarga di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp2,5 juta per bulan. Dengan begitu, sambung dia, bisa dipastikan mereka akan makin termarginalkan bila pemerintah tak hadir.
"Mereka akan tinggal makin jauh dari layanan serta sarana dan prasarana pembangunan infrastruktur kota. Mayoritas masyarakat ini terdesak makin ke tepi karena tak mampu mengakses lahan di daerah pusat perkotaan," katanya.
Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, harga rumah subsidi pun mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
"Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya," ujar pakar tata kota dan kebijakan publik ini.
Alhasil, kata dia, fenomena urban sprawl akan terjadi yakni maraknya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan.
"Ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan," imbuhnya.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat makin menurun dan modal sosial makin merosot.
"Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air," kata dia.
Oleh karenanya, kembali ia menenkankan sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut. Idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan untuk segelintir kalangan atas.
"Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN," pungkas Asnawi.