Eko menjelaskan, skema kerjasama dengan pihak asing untuk membangun infrastruktur menjadi hal yang sangat lazim. Hal ini karena berbagai pertimbangan seperti ketersediaan dana jika hanya mengandalkan dana dari dalam negeri. Disisi lain dana global itu memang sangat banyak dan bunganya sangat rendah.
\"Jadi ketika diinvestasikan ke infrastruktur juga bunganya rendah. Kalau Indonesia itu bunganya 8 persen, sementara di luar itu hanya sekitar 1 persen. Bahkan Jepang misalnya berani untuk 0 persen, jadi itu menggiurkan,\" ungkapnya.
Hanya saja menurut Eko, salah satu yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar pola kerjasama ini ikut menstimulus perkembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini, tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia atas proyek yang ada harus tinggi. Hal inilah yang kemudian menurutnya banyak yang tidak masuk dalam skema kerjasama oleh beberapa negara maju saat diundang untuk join dalam pembangunan infrastruktur.
\"China misalnya, mereka sangat terbuka untuk menerima kerjasama. Namun skema mereka biasanya mulai dari penyediaan tenaga kerja hingga tenaga ahli. Nah kalau ini yang terjadi tentu ini tidak menstimulus ekonomi lokal karena para pekerjanya didatangkan dari sana,\" ujarnya.
Pola-pola seperti inilah yang menurutnya saat ini membuat banyak kritikan atas kerjasama pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak China.
\"Karena dinilai kerjasama ini tidak mendongkrak perbaikan ekonomi didalam negeri karena itu tadi, tenaga kerja kita juga tidak dipakai,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Eko menjelaskan, skema kerjasama dengan pihak asing untuk membangun infrastruktur menjadi hal yang sangat lazim. Hal ini karena berbagai pertimbangan seperti ketersediaan dana jika hanya mengandalkan dana dari dalam negeri. Disisi lain dana global itu memang sangat banyak dan bunganya sangat rendah.
\"Jadi ketika diinvestasikan ke infrastruktur juga bunganya rendah. Kalau Indonesia itu bunganya 8 persen, sementara di luar itu hanya sekitar 1 persen. Bahkan Jepang misalnya berani untuk 0 persen, jadi itu menggiurkan,\" ungkapnya.
Hanya saja menurut Eko, salah satu yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar pola kerjasama ini ikut menstimulus perkembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini, tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia atas proyek yang ada harus tinggi. Hal inilah yang kemudian menurutnya banyak yang tidak masuk dalam skema kerjasama oleh beberapa negara maju saat diundang untuk join dalam pembangunan infrastruktur.
\"China misalnya, mereka sangat terbuka untuk menerima kerjasama. Namun skema mereka biasanya mulai dari penyediaan tenaga kerja hingga tenaga ahli. Nah kalau ini yang terjadi tentu ini tidak menstimulus ekonomi lokal karena para pekerjanya didatangkan dari sana,\" ujarnya.
Pola-pola seperti inilah yang menurutnya saat ini membuat banyak kritikan atas kerjasama pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak China.
\"Karena dinilai kerjasama ini tidak mendongkrak perbaikan ekonomi didalam negeri karena itu tadi, tenaga kerja kita juga tidak dipakai,\" pungkasnya."/>
Eko menjelaskan, skema kerjasama dengan pihak asing untuk membangun infrastruktur menjadi hal yang sangat lazim. Hal ini karena berbagai pertimbangan seperti ketersediaan dana jika hanya mengandalkan dana dari dalam negeri. Disisi lain dana global itu memang sangat banyak dan bunganya sangat rendah.
\"Jadi ketika diinvestasikan ke infrastruktur juga bunganya rendah. Kalau Indonesia itu bunganya 8 persen, sementara di luar itu hanya sekitar 1 persen. Bahkan Jepang misalnya berani untuk 0 persen, jadi itu menggiurkan,\" ungkapnya.
Hanya saja menurut Eko, salah satu yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar pola kerjasama ini ikut menstimulus perkembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini, tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia atas proyek yang ada harus tinggi. Hal inilah yang kemudian menurutnya banyak yang tidak masuk dalam skema kerjasama oleh beberapa negara maju saat diundang untuk join dalam pembangunan infrastruktur.
\"China misalnya, mereka sangat terbuka untuk menerima kerjasama. Namun skema mereka biasanya mulai dari penyediaan tenaga kerja hingga tenaga ahli. Nah kalau ini yang terjadi tentu ini tidak menstimulus ekonomi lokal karena para pekerjanya didatangkan dari sana,\" ujarnya.
Pola-pola seperti inilah yang menurutnya saat ini membuat banyak kritikan atas kerjasama pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak China.
\"Karena dinilai kerjasama ini tidak mendongkrak perbaikan ekonomi didalam negeri karena itu tadi, tenaga kerja kita juga tidak dipakai,\" pungkasnya."/>
Peneliti Institut For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan proporsionalitas bisnis menjadi hal yang sangat penting terkait pemakaian dana asing untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disampaikannya menanggapi gencarnya pembangunan infrastruktur yang menggunakan sistem join antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing saat ini.
"Yang penting itu adalah aspek proporsionalitasnya. Model kerjasama seperti apa yang dijalin, bagaimana pembagian keuntungannya dan lainnya," katanya.
Eko menjelaskan, skema kerjasama dengan pihak asing untuk membangun infrastruktur menjadi hal yang sangat lazim. Hal ini karena berbagai pertimbangan seperti ketersediaan dana jika hanya mengandalkan dana dari dalam negeri. Disisi lain dana global itu memang sangat banyak dan bunganya sangat rendah.
"Jadi ketika diinvestasikan ke infrastruktur juga bunganya rendah. Kalau Indonesia itu bunganya 8 persen, sementara di luar itu hanya sekitar 1 persen. Bahkan Jepang misalnya berani untuk 0 persen, jadi itu menggiurkan," ungkapnya.
Hanya saja menurut Eko, salah satu yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar pola kerjasama ini ikut menstimulus perkembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini, tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia atas proyek yang ada harus tinggi. Hal inilah yang kemudian menurutnya banyak yang tidak masuk dalam skema kerjasama oleh beberapa negara maju saat diundang untuk join dalam pembangunan infrastruktur.
"China misalnya, mereka sangat terbuka untuk menerima kerjasama. Namun skema mereka biasanya mulai dari penyediaan tenaga kerja hingga tenaga ahli. Nah kalau ini yang terjadi tentu ini tidak menstimulus ekonomi lokal karena para pekerjanya didatangkan dari sana," ujarnya.
Pola-pola seperti inilah yang menurutnya saat ini membuat banyak kritikan atas kerjasama pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak China.
"Karena dinilai kerjasama ini tidak mendongkrak perbaikan ekonomi didalam negeri karena itu tadi, tenaga kerja kita juga tidak dipakai," pungkasnya.
Peneliti Institut For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan proporsionalitas bisnis menjadi hal yang sangat penting terkait pemakaian dana asing untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disampaikannya menanggapi gencarnya pembangunan infrastruktur yang menggunakan sistem join antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing saat ini.
"Yang penting itu adalah aspek proporsionalitasnya. Model kerjasama seperti apa yang dijalin, bagaimana pembagian keuntungannya dan lainnya," katanya.
Eko menjelaskan, skema kerjasama dengan pihak asing untuk membangun infrastruktur menjadi hal yang sangat lazim. Hal ini karena berbagai pertimbangan seperti ketersediaan dana jika hanya mengandalkan dana dari dalam negeri. Disisi lain dana global itu memang sangat banyak dan bunganya sangat rendah.
"Jadi ketika diinvestasikan ke infrastruktur juga bunganya rendah. Kalau Indonesia itu bunganya 8 persen, sementara di luar itu hanya sekitar 1 persen. Bahkan Jepang misalnya berani untuk 0 persen, jadi itu menggiurkan," ungkapnya.
Hanya saja menurut Eko, salah satu yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar pola kerjasama ini ikut menstimulus perkembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini, tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia atas proyek yang ada harus tinggi. Hal inilah yang kemudian menurutnya banyak yang tidak masuk dalam skema kerjasama oleh beberapa negara maju saat diundang untuk join dalam pembangunan infrastruktur.
"China misalnya, mereka sangat terbuka untuk menerima kerjasama. Namun skema mereka biasanya mulai dari penyediaan tenaga kerja hingga tenaga ahli. Nah kalau ini yang terjadi tentu ini tidak menstimulus ekonomi lokal karena para pekerjanya didatangkan dari sana," ujarnya.
Pola-pola seperti inilah yang menurutnya saat ini membuat banyak kritikan atas kerjasama pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak China.
"Karena dinilai kerjasama ini tidak mendongkrak perbaikan ekonomi didalam negeri karena itu tadi, tenaga kerja kita juga tidak dipakai," pungkasnya.