Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menilai RUU Cipta Kerja sama sekali tidak tercermin adanya kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial. Dengan kata lain, omnibus law tersebut tidak memberi perlindungan bagi buruh, bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat oleh buruh. Atas dasar itu juga, KSPI menurutnya dengan tegas menolak RUU Omnibus Law tersebut. Said Iqbal menyebut ada sembilan alasan KSPI menolak isi omnibus law, khususnya untuk kluster ketenagakerjaan. Pertama karena omnibus law RUU Cipta Kerja menghilangkan upah minimum. Hal ini terlihat dengan munculnya pasal yang menyebutkan bahwa upah didasarkan per satuan waktu. “Ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, maka otomatis upah minimum akan hilang,” terangnya. Kedua adalah pesangon yang hilang. Kalau kita baca secara keseluruhan dari RUU ini, pesangon akan hilang. Hal ini, karena penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak seumur hidup dibebaskan sebebas-bebasnya. Outsourcing dan kontrak tidak mendapatkan pesangon. Dengan sendirinya, pesangon akan hilang. Selama ini, yang dimaksud pesangon ada tiga komponen. Pertama, uang pesangon itu sendiri. Kedua, penghargaan masa kerja, dan yang ketiga penggantian hak. “Dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak dihilangkan. Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan,” urai Said Iqbal. Ketiga, outsourcing seumur hidup. RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Bahkan bisa saja, buruh dikontrak seumur hidup. Karena kontrak kerja hanya didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh. Padahal, kata Said Iqbal, sebelumnya kerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap. “Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun,” tegasnya. Keempat, karyawan kontrak seumur hidup. Di dalam RUU Cipta Kerja, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di outsourcing seumur hidup. “Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan yang bukan core bisnis,” sambungnya. Kelima, waktu kerja yang eksploitatif. Di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal ini menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. “Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja,” lanjut Said Iqbal. Keenam, TKA buruh kasar unskill worker berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Hal ini terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari menteri bagi TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Baca Juga Geram RUU Ciptaker Merugikan, Said Iqbal: Pemerintah Nggak Ada Otaknya “Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi,” masih kata Said Iqbal. Sementara alasan ketujuh adalah hilangnya jaminan sosial dengan adanya sistem outsourcing seumur hidup dan karyawan kontrak seumur hidup. Kedelapan, PHK yang dipermudah, dan terakhir hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.[R]
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menilai RUU Cipta Kerja sama sekali tidak tercermin adanya kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial. Dengan kata lain, omnibus law tersebut tidak memberi perlindungan bagi buruh, bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat oleh buruh. Atas dasar itu juga, KSPI menurutnya dengan tegas menolak RUU Omnibus Law tersebut. Said Iqbal menyebut ada sembilan alasan KSPI menolak isi omnibus law, khususnya untuk kluster ketenagakerjaan. Pertama karena omnibus law RUU Cipta Kerja menghilangkan upah minimum. Hal ini terlihat dengan munculnya pasal yang menyebutkan bahwa upah didasarkan per satuan waktu. “Ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, maka otomatis upah minimum akan hilang,” terangnya. Kedua adalah pesangon yang hilang. Kalau kita baca secara keseluruhan dari RUU ini, pesangon akan hilang. Hal ini, karena penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak seumur hidup dibebaskan sebebas-bebasnya. Outsourcing dan kontrak tidak mendapatkan pesangon. Dengan sendirinya, pesangon akan hilang. Selama ini, yang dimaksud pesangon ada tiga komponen. Pertama, uang pesangon itu sendiri. Kedua, penghargaan masa kerja, dan yang ketiga penggantian hak. “Dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak dihilangkan. Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan,” urai Said Iqbal. Ketiga, outsourcing seumur hidup. RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Bahkan bisa saja, buruh dikontrak seumur hidup. Karena kontrak kerja hanya didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh. Padahal, kata Said Iqbal, sebelumnya kerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap. “Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun,” tegasnya. Keempat, karyawan kontrak seumur hidup. Di dalam RUU Cipta Kerja, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di outsourcing seumur hidup. “Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan yang bukan core bisnis,” sambungnya. Kelima, waktu kerja yang eksploitatif. Di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal ini menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. “Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja,” lanjut Said Iqbal. Keenam, TKA buruh kasar unskill worker berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Hal ini terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari menteri bagi TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Baca Juga Geram RUU Ciptaker Merugikan, Said Iqbal: Pemerintah Nggak Ada Otaknya “Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi,” masih kata Said Iqbal. Sementara alasan ketujuh adalah hilangnya jaminan sosial dengan adanya sistem outsourcing seumur hidup dan karyawan kontrak seumur hidup. Kedelapan, PHK yang dipermudah, dan terakhir hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.© Copyright 2024, All Rights Reserved