Program Pembelajaran dari Rumah (BDR) yang dijalankan Pemko Medan masih diskriminatif kepada keluarga miskin. Masih ada anak yang tidak dilayani belajar hanya karena tidak memiliki handphone android. Padahal Mendikbud Nadiem Makkarim sudah tegas menyatakan, selama pandemi COVID-19, pembelajarkan bisa menggunakan moda belajar daring (dalam jaringan), dan moda luar jaringan (luring). Kedua pilihan itu digunakan sesuai kemampuan keluarga siswa.
Salah satu siswa yang mengalami nasib malang itu bernama Salsabila (9) siswa kelas 2 SD Negeri 060791 Medan. Selama pandemi, anak ini sama sekali tidak pernah mendapatkan layanan pendidikan dari sekolahnya. Ia tidak bisa mengakses materi belajar dari guru hanya karena tidak punya handphone android.
"Aku gak belajar karena gak ada HP, Bang," kata Salsabilla, saat diwawancarai di Medan, Rabu (14/10).
Salsabila merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara. Ayah, Rudi (41), seorang pengemudi becak mesin dengan penghasilan tidak menentu. Sedang ibunya, Yenni Susanti (35), sehari-hari bekerja sebagai kuli cuci-gosok pakaian dan jualan keripik.
"Kami orang susah, Pak. Waktu ambil raport, pernah kutanya ke sekolah. Kan katanya sekarang belajar online kusampaikan ke gurunya begini. 'Bu, kami kan gak ada HP. Jadi bagaimana anak kami belajar di rumah? Kata ibu itu, 'Ya pande-pande ibulah,'" kata Yenni menirukan ucapan walikelas anaknya.
Lantaran tidak punya HP, Yenni tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa mengajari Salsabila baca tulis seadanya. Itupun kalau dia tidak lelah pulang berjualan. Malam harinya, dia sempatkan mengajari Salsabila baca tulis.
"Aku kan nyuci gosok Pak. Sorenya, jualan keripik dan jangek. Kalau sempat, malamnya kuajari dia baca tulis. Cuma itulah, Pak," ungkapnya.
Hanya lantaran tidak punya handphone android, Salsabila sama sekali tidak digubris sekolahnya atau gurunya. Menurut Yenni, sejak Maret hingga sekarang, tak pernah gurunya datang ke rumah berkunjung atau sekadar memberi tugas. Sehingga, aktivitas Salsabila hanya main-main, nonton televisi di rumah. Sasabila juga sering ikut menemani ibunya berjualan keripik dan jangek.
Berbeda dengan kakaknya, Silvia Maharani (11), siswa kelas 5 di SD swasta, di Tembung. Silvia masih mengakses pembelajaran dengan mengunjungi rumah gurunya tiga kali semingggu. Ia belajar setiap Selasa, Kamis dan Sabtu dari pukul 11.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Meskipun Silvia menunggak uang sekolahnya dari sejak kelas 4 hingga kelas 5 SD.
"Gurunya udah bolak-balik datang ke rumah, nagih. Tapi dia masih bermurah hati. Kami janjikan, nanti kalau ada duit, kami cicil," pungkas Yenni.
© Copyright 2024, All Rights Reserved