Ratusan pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di jembatan layang (Fly Over) Amplas, Kota Medan, Kamis (16/7). Mereka meminta agar pemerintah menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR RI. Aksi unjuk rasa ini mereka awali dengan berjalan kaki dari kawasan simpang Jalan Tritura sekitar 1 kilometer dari Fly Over tersebut. Mereka membentangkan berbagai spanduk yang intinya menolak Omnibus Law tersebut. "Gagalkan Omnibus Law" demikian tulisan spanduk utama mereka. Salah seorang pengunjuk rasa Roy mengatakan penolakan terhadap Omnibus Law menjadi hal yang harus diperjuangkan karena undang-undang tersebut akan menyuburkan praktik kapitalisasi ekonomi. Tidak hanya di bidang ketenagakerjaan, namun hal ini juga akan berimbas pada lingkungan hidup dimana izin perusahaan akan semakin dipermudah. “Korporasi dapat dua keistimewaan, yakni investasi dipermudah dan imunitas, Omnibus law itu menghapus dan mengubah serta menerapkan aturan baru yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Misalnya, soal sansi administrasi kepada korporasi. Dalam undang-undang lama, sanksi itu diputuskan oleh pemenerintah dan masuk ke ranah pidana. Namun, RUU tersebut menyebut apabila sanksi administrasi belum terpenuhi oleh pemerintah maka belum dapat dipidana," katanya kepada RMOLSumut. Penghapusan tersebut merupakan kemuduran hukum bagi Indonesia. Draf yang baru juga menghapus aturan izin lingkungan yang merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Soal analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal juga mengalami perubahan. Usaha yang risiko terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budayanya rendah tak wajib memiliki Amdal. Mereka hanya diwajibkan memenuhi standar upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Dalam pasal 34 Omnibus Law Cipta Kerja mengatakan, UKL-UPL disampaikan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. "Kewenangan pemberian Amdal nantinya juga berubah, terpusat di pemerintah daerah, tak lagi di pemerintah daerah. RUU Ciptaker pun memberi batasan administrasi mengenai gugatan kegiatan perusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak langsung yang bisa melakukan hal tersebut," ungkapnya. Menurutnya masih banyak Pasal-Pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mensengsarakan para pekerja, mengeksploitasi lingkungan dan kerugian disektor lainnya jika RUU tersebut disahkan.[R]
Ratusan pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di jembatan layang (Fly Over) Amplas, Kota Medan, Kamis (16/7). Mereka meminta agar pemerintah menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR RI. Aksi unjuk rasa ini mereka awali dengan berjalan kaki dari kawasan simpang Jalan Tritura sekitar 1 kilometer dari Fly Over tersebut. Mereka membentangkan berbagai spanduk yang intinya menolak Omnibus Law tersebut. "Gagalkan Omnibus Law" demikian tulisan spanduk utama mereka. Salah seorang pengunjuk rasa Roy mengatakan penolakan terhadap Omnibus Law menjadi hal yang harus diperjuangkan karena undang-undang tersebut akan menyuburkan praktik kapitalisasi ekonomi. Tidak hanya di bidang ketenagakerjaan, namun hal ini juga akan berimbas pada lingkungan hidup dimana izin perusahaan akan semakin dipermudah. “Korporasi dapat dua keistimewaan, yakni investasi dipermudah dan imunitas, Omnibus law itu menghapus dan mengubah serta menerapkan aturan baru yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Misalnya, soal sansi administrasi kepada korporasi. Dalam undang-undang lama, sanksi itu diputuskan oleh pemenerintah dan masuk ke ranah pidana. Namun, RUU tersebut menyebut apabila sanksi administrasi belum terpenuhi oleh pemerintah maka belum dapat dipidana," katanya kepada RMOLSumut. Penghapusan tersebut merupakan kemuduran hukum bagi Indonesia. Draf yang baru juga menghapus aturan izin lingkungan yang merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Soal analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal juga mengalami perubahan. Usaha yang risiko terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budayanya rendah tak wajib memiliki Amdal. Mereka hanya diwajibkan memenuhi standar upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Dalam pasal 34 Omnibus Law Cipta Kerja mengatakan, UKL-UPL disampaikan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. "Kewenangan pemberian Amdal nantinya juga berubah, terpusat di pemerintah daerah, tak lagi di pemerintah daerah. RUU Ciptaker pun memberi batasan administrasi mengenai gugatan kegiatan perusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak langsung yang bisa melakukan hal tersebut," ungkapnya. Menurutnya masih banyak Pasal-Pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mensengsarakan para pekerja, mengeksploitasi lingkungan dan kerugian disektor lainnya jika RUU tersebut disahkan.© Copyright 2024, All Rights Reserved