Sebagai negara yang sangat berpengaruh, maka hasil dari Pilpres di Amerika Serikat (AS) akan tetap memberikan pengaruh bagi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Pengaruhnya yakni soal kebijakan dan pola argumentasi dalam menjalin hubungan kerjasama yang berbeda terkait latar belakang politik presiden AS terpilih. Hal ini disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof DR Hikmahanto Juwana dalam diskusi RMOL World View "Trump vs Biden, Siapa Masa Depan AS" yang digelar oleh kantor berita politik RMOL, Senin (21/9). "Pengaruhnya adalah bagaimana kemudian pola argumentasi dalam menjalin hubungan kerjasama yang berbeda jika presiden terpilih dari Partai Demokrat maupun dari Partai Republikan," katanya. Ia menjelaskan, perbedaan argumentasi dalam menjalin hubunga ini berkaitan erat dengan filosopi yang sangat berbeda pada kedua partai. Dimana Partai Demokrat sangat liberal dalam memandang kebebasan HAM, isu kesetaraan manusia hingga kebebasan dalam berekspresi maupun orientasi sex. Hal ini sangat berbeda dengan filosopi Partai Republikan dimana mereka sangat konservatif, misalnya mengedepankan pelayanan terhadap kulit putih, penolakan terhadap kebebasan dalam orientasi sex hingga cara pandang terhadap HAM. "Kita ambil contoh, OPM di Papua jika presiden Amerika dari partai Republikan maka dengan mudah itu akan disebut sebagai organisasi teroris. Akan tetapi, jika presidennya dari Demokrat, maka butuh argumentasi-argumentasi yang lain untuk menyebut itu apakah terorisme atau hanya kelompok kriminal. Sehingga penanganannya bisa berbeda, itu contohnya," ungkapnya. Dalam hal ini, kata Hikmahanto siapapun presiden yang akan terpilih pada Pilpres AS, maka masyarakat di seluruh negara termasuk di Indonesia harus memastikan bahwa presiden mereka dapat jeli dalam menjalin hubungan kerjasama.[R]
Sebagai negara yang sangat berpengaruh, maka hasil dari Pilpres di Amerika Serikat (AS) akan tetap memberikan pengaruh bagi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Pengaruhnya yakni soal kebijakan dan pola argumentasi dalam menjalin hubungan kerjasama yang berbeda terkait latar belakang politik presiden AS terpilih. Hal ini disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof DR Hikmahanto Juwana dalam diskusi RMOL World View "Trump vs Biden, Siapa Masa Depan AS" yang digelar oleh kantor berita politik RMOL, Senin (21/9). "Pengaruhnya adalah bagaimana kemudian pola argumentasi dalam menjalin hubungan kerjasama yang berbeda jika presiden terpilih dari Partai Demokrat maupun dari Partai Republikan," katanya. Ia menjelaskan, perbedaan argumentasi dalam menjalin hubunga ini berkaitan erat dengan filosopi yang sangat berbeda pada kedua partai. Dimana Partai Demokrat sangat liberal dalam memandang kebebasan HAM, isu kesetaraan manusia hingga kebebasan dalam berekspresi maupun orientasi sex. Hal ini sangat berbeda dengan filosopi Partai Republikan dimana mereka sangat konservatif, misalnya mengedepankan pelayanan terhadap kulit putih, penolakan terhadap kebebasan dalam orientasi sex hingga cara pandang terhadap HAM. "Kita ambil contoh, OPM di Papua jika presiden Amerika dari partai Republikan maka dengan mudah itu akan disebut sebagai organisasi teroris. Akan tetapi, jika presidennya dari Demokrat, maka butuh argumentasi-argumentasi yang lain untuk menyebut itu apakah terorisme atau hanya kelompok kriminal. Sehingga penanganannya bisa berbeda, itu contohnya," ungkapnya. Dalam hal ini, kata Hikmahanto siapapun presiden yang akan terpilih pada Pilpres AS, maka masyarakat di seluruh negara termasuk di Indonesia harus memastikan bahwa presiden mereka dapat jeli dalam menjalin hubungan kerjasama.© Copyright 2024, All Rights Reserved