KOTA Medan termasuk kota padat penduduk. Jalan manapun yang kita lalui dari jam 07.00 sampai jam 20.00 selalu ramai. Beberapa sisi kota Medan masih ramai sampai jam 23.00 hingga jam 01.00.
Selama ini, aman dan nyaman saja melewati jalan manapun. Tetapi sejak terjadi berbagai peristiwa begal di bulan April hingga Juli 2023, maka Medan menjadi kota yang seram. Beberapa ruas jalan mulai diwanti-wanti agar jangan dilewati setelah jam 20.00 WIB.
Perilaku begal, semua kita tahu, sadis. Mereka biasanya ingin mengambil sepeda motor atau barang berharga. Namun cara mengambilnya bukan dengan merampas, tapi melumpuhkan sasaran, lalu mengambil sepeda motor dan barang berharga lainnya.
Cara mereka melumpuhkan ini yang sadis. Mereka pakai parang atau golok, membacok sasaran, terutama bagian tangan, jika masih melawan, mereka bacok bagian badan atau kaki. Prinsipnya, sasaran harus lumpuh atau lari meninggalkan sepeda motor dan barang miliknya.
Kesadisan inilah yang di respon oleh walikota Medan Bobby Nasution dengan mengatakan "tembak mati". Warganet di seluruh Indonesia heboh menanggapi, ada pula LSM yang menentang dengan alasan HAM.
Bagi warga Medan, umumnya menyetujui respon walikota Medan tersebut. Terlihat dari berbagai medsos seperti di FB, Twitter dan IG, jika dia Anak Medan, umumnya sepakat dengan Bobby. Mengapa? Anak Medan banyak yang melihat langsung kejadian, lalu anaknya, ponakannya, ayahnya dan saudaranya yang terkena begal ada yang meninggal seperti mahasiswa UMSU. Saya yakin sebagian besar mahasiswa UMSU setuju dengan respon Bobby.
Pendekatan Psikologi
Tahun 1964, psikoanalis HJ Eysenck mengatakan seseorang melakukan kriminal karena egoisme, ketidakpedulian terhadap penderitaan orang, impulsif, kontrol diri yang rendah, dominasi yang kuat, power berlebih dan cenderung asertif, tak merasa bersalah.
Psikoanalis lain yang mengembangkan teori Sigmund Freud menyimpulkan, bahwa perilaku kriminal adalah maladaptif, atau produk kekurangan kepribadian. hal ini mengakibatkan penyakit mental yang parah yang menjadi penyebab langsung sebuah kejahatan.
Seymour L. Halleck seorang psikiater dan asisten professor Universitas of Carolina di Chapel Hill mengatakan : beralih ke kejahatan dapat memberikan rasa pada individu yang kehilangan hak kekuasaan dan tujuan. Berbuat kejahatan untuk menghilangkan rasa stress, akhirnya dia menghadapinya dengan mengubah lingkungan.
Halleck menegaskan bahwa seorang individu dapat memilih kejahatan di atas berbagai alternatif perilaku lainnya, hanya ketika tidak ada alternatif masuk akal yang tersedia atau ketika perilaku kriminal memiliki keuntungan yang melekat.
John Bowlby (1907 - 1990) mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah yang hidup di daerah yang tidak aman, yang bermasalah sejak dini, tidak merasakan kehadiran orangtua sejak dini, kondisi traumatis, pelecehan seksual dan kesulitan hidup sejak dini.
Benang Merah Begal
Dari berbagai teori di atas kita melihat benang merah terkait begal yang terjadi di Medan. Bahwa begal adalah bagian kejahatan dengan berbagai latarbelakang yang terjadi pada individu pembegal. Mereka ada yang maladaptif, yaitu penyakit mental parah. Ada dari mereka yang kehilangan tujuan hidup dan tidak dihargai lingkungan, akhirnya berbuat jahat.
Ada juga pembegal yang melihat keuntungan dengan melakukan begal yaitu mendapat sepeda motor atau barang berharga secara instan. Orang seperti ini pada teori Halleck karena dia tidak menemukan alternatif yang masuk akal yang tersedia untuknya (untuk menghidupi keluarga atau untuk kesenangan dirinya - pen).
Maka jika Walikota Medan mengatakan begal harus di tembak mati, maka jelas pendekatannya adalah pendekatan untuk meredam keresahan yang diakibatkan begal yang mengambil keuntungan dengan mencelakai secara parah sasarannya. Betapa hal itu sangat meresahkan. Bobby masuk akal.
Namun disi lain, Gubernur Sumatera Utara menanggapi bahwa begal itu hanya kenalakan. Bisa jadi, pendekatan pak Edy adalah bahwa pembegal ini adalah individu yang kekurangan kepribadian yang parah, sehingga butuh ditolong dan dinasehati.
Mungkin juga pak Edi prihatin bahwa pembegal itu adalah orang yang hidupnya menyakitkan sebelumnya, seperti sejak dini ditinggal orangtuanya, hidupnya selalu tidak aman sejak dini, hidup ditengah kekerasan orang dewasa, akibatnya hidupnya traumatis dan galau tingkat tinggi.
Apa tindakan kita?
Pembahasan ini bukan ingin membenarkan atau menyalahkan, tetapi agar kita mengetahui mengapa pak Bobby dan pak Edy berbeda menyikapi begal. Lalu yang lebih penting, apa langkah yang harus dilakukan agar begal tidak terjadi lagi di Kota Medan dan Sumatera Utara. Sebab hal ini sangat meresahkan, mengganggu aktivitas, membatasi ruang gerak sosial dan menimbulkan rasa takut.
Kehidupan dengan rasa takut, akan berakibat lebih fatal, yaitu munculnya perlawanan terhadap begal, yaitu perang terhadap begal misalnya, sehingga Kota Medan dan Sumatera Utara akan mencekam. Pastilah semua kita tidak akan mau keadaan tersebut terjadi.
Oleh karena itu, langkah kongkrit yang bisa dilakukan adalah kerjasama semua pihak. Pak polisi melakukan pencegahan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk simpul-simpul siaga diberbagai titik rawan begal yang di tiap simpul ada polisi yang membersamai. Jangan beri ruang terjadinya pembegalan.
Departmen sosial menyisir keluarga yang kesulitan hidup, anak-anak yang putus sekolah, remaja dan anak muda yang tidak jelas orientasinya, bikinlah program yang menjawab keadaan tersebut. Kerjasamalah dengan Forum Silaturahim BKM Indonesia (beranggotakan pengurus Masjid-Musholla), mereka biasa melakukan pendekatan sosial-holistik seputar masalah sosial sekitar masjid. Kerjasama jugalah dengan seluruh rumah ibadah lainnya, ormas-ormas, karang taruna dll.
Untuk para begal yang tertangkap hidup, berilah pendekatan ilmu psikologi, bukan pendekatan persepsi kita bahwa dia jahat, tetapi pendekatan bahwa dia manusia yang perlu ditolong. Dalami kejiwaannya, hingga kita mengerti siapa dia, lalu kita akan mengerti pula apa yang harus kita lakukan padanya.
Kemendikbud melakukan kajian bagaimana Pendidikan Moral dikuatkan dengan pendalaman kejiwaan. Bikin Pendidikan Moral itu punya jiwa, tidak sekedar ilmu pengetahuan. Jangan tunggu perubahan kurikulum, akan ketinggalan dengan percepatan perubahan perilaku manusia yang terjadi saat ini.
Kemendag melakukan penetrasi bersama MUI, Ormas-ormas agama, para tokoh agama, bagaimana agar ada gerakan simultan memperbaiki perilaku manusia dari sudut agama. Tambah muatan pendalaman kejiwaan dalam setiap dakwah - khotbah, jangan kosong dan kering hanya sebatas retorika. Berdakwahlah dengan tepat.
Apabila berdakwah di depan anak-anak, pakailah ayat dan psikologi anak. Para da’I dari Fakultas Dakwah sangat mengerti hal ini. Namun, saya masih melihat keringnya pendalaman psikologi dalam setiap dakwah.
Terakhir, mengubah keadaan tidak bisa seperti membalikkan telapan tangan. Pendekatan represif bisa jadi membuat begal berhenti, namun dia akan kambuh tatkala akar masalah begal tidak kita selesaikan. Hadapilah manusia dengan ilmu tentang manusia (ilmu psikologi jiwa), Insya Allah akan berhasil.
Sebuah ilustrasi
Terjadilah pencurian kotak infaq di sebuah masjid. Jika pada umumnya si pelaku dihajar babak belur, di masjid ini beda perlakuannya. Si pelaku di tangkap lalu di interogasi. Pengurus masjid mendalami penyebab dia mencuri kotak infaq. Setelah dapat semua informasi, pengurus masjid meminta dia menunjukkan dimana tempat tinggalnya.
Seorang wanita hamil tua membukakan pintu, ternyata wanita itu adalah istri si pencuri, yang dalam minggu ini akan melahirkan. Tanya punya tanya, ternyata si pencuri tadi, tidak mengerti harus kemana mencari duit untuk biaya lahiran anaknya. Wallahu a’lam.
***
Penulis merupakan Sekjen Forum Silaturahim Badan Kemakmuran Masjid (Fosil BKM) Indonesia Kota Medan
© Copyright 2024, All Rights Reserved