Nah, seorang pelaku UKM di Sumatera Utara Koad Chamdi ternyata menjadikan andaliman ini sebagai salah satu bagian dari produk usahanya yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha kuliner sukses. Ia mengaku sudah menggeluti bisnis kuliner dalam 9 tahun terakhir dan pada 2 tahun terakhir ia sangat fokus dengan produk kuliner \'Sambal Andaliman\' yang kini sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan.
\"Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya terutama dari Jawa. Namun, sambal andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka,\" katanya pada Fokus Grup Diskusi (FGD) Hubungan Kelembagaan \'Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah DAerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara\" di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4/2019).
Koad menyebutkan, ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner didapatnya saat berkeliling Sumatera Utara. Tanaman Andaliman sengaja dipilihnya setelah pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa, ia mendapatkan adanya citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuaannya.
\"Disana itu dulu pembuatannya sangat sederhana. Dan akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan,\" sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku mendapat permintaan dari berbagai daerah di Indonesia hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan yang ternyata karena tingginya konsumsi dari warga Indonesia yang bekerja disana.
\"Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan,\" ungkapnya.
Namun kata Koad, saat ini yang menjadi kendala baginya untuk mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salah satu syarat yang wajib untuk dipenuhi adalah sertifikat organik agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
\"Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Karena untuk 1 jenis saja itu biaya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam semua harus dilengkapi sertifikat organik,\" keluhnya.
Jika menggunaan 9 komponen tentunya memang biaya yang dikeluarkan oleh Koad untuk sambalnya agar lolos ekspo mencapai Rp 900 juta. Wajar saat ia mengatakan kondisi ini membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk fokus pada pengiriman Sambal Andaliman ke luar negeri dan mengalihkan fokusnya untuk pasar didalam negeri saja. Toh, permintaan Sambal Andaliman juga menurutnya sangat tinggi di dalam negeri. Tinggal saja ia terus berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik seperti peningkatan kualitas kemasan.
\"Karena jujur saja, UKM kita di Sumatera Utara kalahnya bukan dari kualitas produk melainkan dari kemasan. Apa yang membuat kalah? di Jawa itu ada rumah kemasan. Jadi pelaku UKM tinggal bawa saja produknya kesana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok dibayar dan begitulah mereka berinovasi,\" pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara. " itemprop="description"/>
Nah, seorang pelaku UKM di Sumatera Utara Koad Chamdi ternyata menjadikan andaliman ini sebagai salah satu bagian dari produk usahanya yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha kuliner sukses. Ia mengaku sudah menggeluti bisnis kuliner dalam 9 tahun terakhir dan pada 2 tahun terakhir ia sangat fokus dengan produk kuliner \'Sambal Andaliman\' yang kini sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan.
\"Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya terutama dari Jawa. Namun, sambal andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka,\" katanya pada Fokus Grup Diskusi (FGD) Hubungan Kelembagaan \'Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah DAerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara\" di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4/2019).
Koad menyebutkan, ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner didapatnya saat berkeliling Sumatera Utara. Tanaman Andaliman sengaja dipilihnya setelah pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa, ia mendapatkan adanya citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuaannya.
\"Disana itu dulu pembuatannya sangat sederhana. Dan akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan,\" sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku mendapat permintaan dari berbagai daerah di Indonesia hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan yang ternyata karena tingginya konsumsi dari warga Indonesia yang bekerja disana.
\"Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan,\" ungkapnya.
Namun kata Koad, saat ini yang menjadi kendala baginya untuk mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salah satu syarat yang wajib untuk dipenuhi adalah sertifikat organik agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
\"Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Karena untuk 1 jenis saja itu biaya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam semua harus dilengkapi sertifikat organik,\" keluhnya.
Jika menggunaan 9 komponen tentunya memang biaya yang dikeluarkan oleh Koad untuk sambalnya agar lolos ekspo mencapai Rp 900 juta. Wajar saat ia mengatakan kondisi ini membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk fokus pada pengiriman Sambal Andaliman ke luar negeri dan mengalihkan fokusnya untuk pasar didalam negeri saja. Toh, permintaan Sambal Andaliman juga menurutnya sangat tinggi di dalam negeri. Tinggal saja ia terus berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik seperti peningkatan kualitas kemasan.
\"Karena jujur saja, UKM kita di Sumatera Utara kalahnya bukan dari kualitas produk melainkan dari kemasan. Apa yang membuat kalah? di Jawa itu ada rumah kemasan. Jadi pelaku UKM tinggal bawa saja produknya kesana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok dibayar dan begitulah mereka berinovasi,\" pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara. "/>
Nah, seorang pelaku UKM di Sumatera Utara Koad Chamdi ternyata menjadikan andaliman ini sebagai salah satu bagian dari produk usahanya yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha kuliner sukses. Ia mengaku sudah menggeluti bisnis kuliner dalam 9 tahun terakhir dan pada 2 tahun terakhir ia sangat fokus dengan produk kuliner \'Sambal Andaliman\' yang kini sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan.
\"Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya terutama dari Jawa. Namun, sambal andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka,\" katanya pada Fokus Grup Diskusi (FGD) Hubungan Kelembagaan \'Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah DAerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara\" di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4/2019).
Koad menyebutkan, ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner didapatnya saat berkeliling Sumatera Utara. Tanaman Andaliman sengaja dipilihnya setelah pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa, ia mendapatkan adanya citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuaannya.
\"Disana itu dulu pembuatannya sangat sederhana. Dan akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan,\" sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku mendapat permintaan dari berbagai daerah di Indonesia hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan yang ternyata karena tingginya konsumsi dari warga Indonesia yang bekerja disana.
\"Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan,\" ungkapnya.
Namun kata Koad, saat ini yang menjadi kendala baginya untuk mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salah satu syarat yang wajib untuk dipenuhi adalah sertifikat organik agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
\"Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Karena untuk 1 jenis saja itu biaya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam semua harus dilengkapi sertifikat organik,\" keluhnya.
Jika menggunaan 9 komponen tentunya memang biaya yang dikeluarkan oleh Koad untuk sambalnya agar lolos ekspo mencapai Rp 900 juta. Wajar saat ia mengatakan kondisi ini membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk fokus pada pengiriman Sambal Andaliman ke luar negeri dan mengalihkan fokusnya untuk pasar didalam negeri saja. Toh, permintaan Sambal Andaliman juga menurutnya sangat tinggi di dalam negeri. Tinggal saja ia terus berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik seperti peningkatan kualitas kemasan.
\"Karena jujur saja, UKM kita di Sumatera Utara kalahnya bukan dari kualitas produk melainkan dari kemasan. Apa yang membuat kalah? di Jawa itu ada rumah kemasan. Jadi pelaku UKM tinggal bawa saja produknya kesana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok dibayar dan begitulah mereka berinovasi,\" pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara. "/>
Andaliman merupakan bumbu khas asia dari tanaman buah bermarga zanthoxylum atau jeruk-jerukan. Di Indonesia sendiri, andaliman hanya digunakan oleh suku Batak saja, mereka sering juga menyebutnya dengan rempah tuba. Tapi masyarakat dari daerah lain biasa menyebut andaliman sebagai "merica batak". Andaliman yang memiliki aroma menyerupai citrus yang kuat biasa dijual dalam bentuk utuh maupun bubuk yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Nah, seorang pelaku UKM di Sumatera Utara Koad Chamdi ternyata menjadikan andaliman ini sebagai salah satu bagian dari produk usahanya yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha kuliner sukses. Ia mengaku sudah menggeluti bisnis kuliner dalam 9 tahun terakhir dan pada 2 tahun terakhir ia sangat fokus dengan produk kuliner 'Sambal Andaliman' yang kini sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan.
"Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya terutama dari Jawa. Namun, sambal andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka," katanya pada Fokus Grup Diskusi (FGD) Hubungan Kelembagaan 'Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah DAerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara" di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4/2019).
Koad menyebutkan, ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner didapatnya saat berkeliling Sumatera Utara. Tanaman Andaliman sengaja dipilihnya setelah pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa, ia mendapatkan adanya citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuaannya.
"Disana itu dulu pembuatannya sangat sederhana. Dan akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan," sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku mendapat permintaan dari berbagai daerah di Indonesia hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan yang ternyata karena tingginya konsumsi dari warga Indonesia yang bekerja disana.
"Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan," ungkapnya.
Namun kata Koad, saat ini yang menjadi kendala baginya untuk mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salah satu syarat yang wajib untuk dipenuhi adalah sertifikat organik agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
"Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Karena untuk 1 jenis saja itu biaya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam semua harus dilengkapi sertifikat organik," keluhnya.
Jika menggunaan 9 komponen tentunya memang biaya yang dikeluarkan oleh Koad untuk sambalnya agar lolos ekspo mencapai Rp 900 juta. Wajar saat ia mengatakan kondisi ini membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk fokus pada pengiriman Sambal Andaliman ke luar negeri dan mengalihkan fokusnya untuk pasar didalam negeri saja. Toh, permintaan Sambal Andaliman juga menurutnya sangat tinggi di dalam negeri. Tinggal saja ia terus berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik seperti peningkatan kualitas kemasan.
"Karena jujur saja, UKM kita di Sumatera Utara kalahnya bukan dari kualitas produk melainkan dari kemasan. Apa yang membuat kalah? di Jawa itu ada rumah kemasan. Jadi pelaku UKM tinggal bawa saja produknya kesana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok dibayar dan begitulah mereka berinovasi," pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara.
Andaliman merupakan bumbu khas asia dari tanaman buah bermarga zanthoxylum atau jeruk-jerukan. Di Indonesia sendiri, andaliman hanya digunakan oleh suku Batak saja, mereka sering juga menyebutnya dengan rempah tuba. Tapi masyarakat dari daerah lain biasa menyebut andaliman sebagai "merica batak". Andaliman yang memiliki aroma menyerupai citrus yang kuat biasa dijual dalam bentuk utuh maupun bubuk yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Nah, seorang pelaku UKM di Sumatera Utara Koad Chamdi ternyata menjadikan andaliman ini sebagai salah satu bagian dari produk usahanya yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha kuliner sukses. Ia mengaku sudah menggeluti bisnis kuliner dalam 9 tahun terakhir dan pada 2 tahun terakhir ia sangat fokus dengan produk kuliner 'Sambal Andaliman' yang kini sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan.
"Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya terutama dari Jawa. Namun, sambal andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka," katanya pada Fokus Grup Diskusi (FGD) Hubungan Kelembagaan 'Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah DAerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara" di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4/2019).
Koad menyebutkan, ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner didapatnya saat berkeliling Sumatera Utara. Tanaman Andaliman sengaja dipilihnya setelah pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa, ia mendapatkan adanya citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuaannya.
"Disana itu dulu pembuatannya sangat sederhana. Dan akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan," sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku mendapat permintaan dari berbagai daerah di Indonesia hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan yang ternyata karena tingginya konsumsi dari warga Indonesia yang bekerja disana.
"Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan," ungkapnya.
Namun kata Koad, saat ini yang menjadi kendala baginya untuk mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salah satu syarat yang wajib untuk dipenuhi adalah sertifikat organik agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
"Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Karena untuk 1 jenis saja itu biaya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam semua harus dilengkapi sertifikat organik," keluhnya.
Jika menggunaan 9 komponen tentunya memang biaya yang dikeluarkan oleh Koad untuk sambalnya agar lolos ekspo mencapai Rp 900 juta. Wajar saat ia mengatakan kondisi ini membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk fokus pada pengiriman Sambal Andaliman ke luar negeri dan mengalihkan fokusnya untuk pasar didalam negeri saja. Toh, permintaan Sambal Andaliman juga menurutnya sangat tinggi di dalam negeri. Tinggal saja ia terus berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik seperti peningkatan kualitas kemasan.
"Karena jujur saja, UKM kita di Sumatera Utara kalahnya bukan dari kualitas produk melainkan dari kemasan. Apa yang membuat kalah? di Jawa itu ada rumah kemasan. Jadi pelaku UKM tinggal bawa saja produknya kesana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok dibayar dan begitulah mereka berinovasi," pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara.