Upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat di kawasan Danau Toba masih terus terjadi. Hal ini dialami oleh Masyarakat Adat Huta Natumingka, Desa Natumingka, Kecamatan borbor, Kabupaten Toba.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat ini ditandai dengan dilaporkannya tiga orang warga mereka oleh pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) kepada pihak Polres Toba. Ketiganya yakni Anggiat Simanjuntak (50), Pirman Simanjuntak (45) dan Rina Sitohang (45). Pengaduan ini terlihat dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atas nama ketiga orang tersebut atas dugaan Tindak Pidana Barang Siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang subs Pengrusakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHPidana dengan Nomor: K/44/III/2021/Reskrim.
Ketua komunitas Masyarakat Adat Natumingka, Natal Simanjuntak mengatakan peristiwa itu berawal pada tanggal 24 Oktober 2020 dimana saat itu masyarakat melakukan aktifitas bertani dengan melakukan penanaman jagung serta bibit pohon secara bergotong royong di wilayah adat mereka.
Akan tetapi secara sepihak oleh PT TPL lokasi tersebut diklaim sebagai konsesinya. Pada saat masyarakat melakukan penanaman jagung, kemudian didatangi oleh para pekerja dari perusahaan bubur kertas tersebut, mereka kemudian melakukan penanaman euchalyptus dilokasi yang sama. Hal itu sontak membuat masyarakat protes dan melarang para pekerja PT TPL untuk melakukan penanaman.
"Bahwa tidak pernah melakukan pengrusakan seperti yang dituduhkan oleh perusahaan kepada Polres. Karena apa yang kami lakukan adalah upaya mempertahankan tanah sebagai identitas kami melalui aktifitas bertani. Karena hak masyarakat adat telah diatur seperti yang tertuang dalam Pasal 18 B ayat(2) UUD 1945 dan telah terbitnya Perda Kabupaten Toba Samosir No 1 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir," kata Natal, Kamis (1/4).
Sementara itu Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Agustin Simamora mengatakan mereka menduga upaya kriminalisasi ini tujuannya hanya untuk melemahkan dan menghentikan masyarakat adat yang sedang perjuangkan hak atas wilayah adatnya.
"Polisi seharusnya tidak mempergunakan pasal-pasal pidana terhadap masyarakat adat yang sedang memperjuangkan haknya. Karena pada dasarnya tujuan hukum bukanlah sekedar penerapan hukum, melainkan menciptakan ketertiban, ketentraman dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil," sebutnya.
Akar konfllik tanah antara masyarakat adat dengan perusahaan ini merupakan dampak pemberian izin konsesi di wilayah adat masyarakat tanpa terlebih dahulu mengakui masyarakat adat sebagai pemangku wilayah adat.
"Hal ini adalah pangkal atau akar konflik yang utama, maka untuk menghentikan konflik harus dimulai dengan melakukan review izin PT TPL di Huta Natumingka. Kemudian Pemerintah Kabupaten Toba harus melakukan percepatan penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati Toba terkait Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adat Natumingka," harapnya.
Atas hal ini pula AMAN Tano Batak mendesak agar Bupati Toba segera menerbitkan SK tentang pengakuan wilayah adat Natumingka. Kemudian mereka juga mendesak Polres TOba menghentikan upaya kriminalisasi ini dan membebaskan tiga warga tersebut.
"Polres Toba harus mendahulukan pendekatan Restorative Justice dalam menyikapi permasalahan yang ada, dan tidak hanya sebatas penerapan Legal Formil. Kita juga mendesak hentikan aktifitas PT. TPL di Huta Natumingka," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved