Sebagai bagian dari traktat global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK 29%-41�ri BAU pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar capaian target tersebut masing-masing dengan 17,2�n 11%.
Ruandha menyatakan, sudah ada komitmen kuat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih menurunkan emisi GRK dengan terus mengembangkan proyek-proyek energi bersih terbarukan. \"Kita semua tentu berharap ada proyek-proyek energi terbarukan yang bisa segera beroperasi,\" katanya.
Data terbaru KLHK, pada 2016, Indonesia berhasil menurunan emisi GRK sebanyak 249,8 juta ton setara karbondioksida (CO2e) atau 8,7�ri emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Untuk sektor energi, penurunan emisi yang dicapai sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau sebesar 3,28�ri emisi BAU. Emisi GRK BAU sektor eenergi pada tahun 2030 adalah 712,26 juta ton CO2e.
\"Capaian NDC pada tahun 2017 sedang kami hitung, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dipublikasikan,\" kata Ruandha.
Sebelumnya, Sekditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan pemerintah terus mendorong pengembangan energi bersih terbarukan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi GRK dari sektor energi.
Salah satu yang kini sedang dalam tahap pembangunan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. KLHK pun sudah menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru aman bagi orangutan.
Munir menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru akan memperkuat kehandalan jaringan listrik Sumatera dan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang saat ini dimanfaatkan. Peralihan ke penggunaan energi bersih itu akan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta ton setara CO2 per tahun.
Beroperasinya PLTA Batangtoru juga bisa menghemat biaya operasional produksi listrik hingga 300 juta dolar AS per tahun. \"Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp3.000 per KWH,\" katanya." itemprop="description"/>
Sebagai bagian dari traktat global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK 29%-41�ri BAU pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar capaian target tersebut masing-masing dengan 17,2�n 11%.
Ruandha menyatakan, sudah ada komitmen kuat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih menurunkan emisi GRK dengan terus mengembangkan proyek-proyek energi bersih terbarukan. \"Kita semua tentu berharap ada proyek-proyek energi terbarukan yang bisa segera beroperasi,\" katanya.
Data terbaru KLHK, pada 2016, Indonesia berhasil menurunan emisi GRK sebanyak 249,8 juta ton setara karbondioksida (CO2e) atau 8,7�ri emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Untuk sektor energi, penurunan emisi yang dicapai sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau sebesar 3,28�ri emisi BAU. Emisi GRK BAU sektor eenergi pada tahun 2030 adalah 712,26 juta ton CO2e.
\"Capaian NDC pada tahun 2017 sedang kami hitung, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dipublikasikan,\" kata Ruandha.
Sebelumnya, Sekditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan pemerintah terus mendorong pengembangan energi bersih terbarukan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi GRK dari sektor energi.
Salah satu yang kini sedang dalam tahap pembangunan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. KLHK pun sudah menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru aman bagi orangutan.
Munir menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru akan memperkuat kehandalan jaringan listrik Sumatera dan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang saat ini dimanfaatkan. Peralihan ke penggunaan energi bersih itu akan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta ton setara CO2 per tahun.
Beroperasinya PLTA Batangtoru juga bisa menghemat biaya operasional produksi listrik hingga 300 juta dolar AS per tahun. \"Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp3.000 per KWH,\" katanya."/>
Sebagai bagian dari traktat global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK 29%-41�ri BAU pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar capaian target tersebut masing-masing dengan 17,2�n 11%.
Ruandha menyatakan, sudah ada komitmen kuat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih menurunkan emisi GRK dengan terus mengembangkan proyek-proyek energi bersih terbarukan. \"Kita semua tentu berharap ada proyek-proyek energi terbarukan yang bisa segera beroperasi,\" katanya.
Data terbaru KLHK, pada 2016, Indonesia berhasil menurunan emisi GRK sebanyak 249,8 juta ton setara karbondioksida (CO2e) atau 8,7�ri emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Untuk sektor energi, penurunan emisi yang dicapai sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau sebesar 3,28�ri emisi BAU. Emisi GRK BAU sektor eenergi pada tahun 2030 adalah 712,26 juta ton CO2e.
\"Capaian NDC pada tahun 2017 sedang kami hitung, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dipublikasikan,\" kata Ruandha.
Sebelumnya, Sekditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan pemerintah terus mendorong pengembangan energi bersih terbarukan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi GRK dari sektor energi.
Salah satu yang kini sedang dalam tahap pembangunan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. KLHK pun sudah menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru aman bagi orangutan.
Munir menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru akan memperkuat kehandalan jaringan listrik Sumatera dan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang saat ini dimanfaatkan. Peralihan ke penggunaan energi bersih itu akan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta ton setara CO2 per tahun.
Beroperasinya PLTA Batangtoru juga bisa menghemat biaya operasional produksi listrik hingga 300 juta dolar AS per tahun. \"Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp3.000 per KWH,\" katanya."/>
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berharap kontribusi sektor energi bisa ditingkatkan dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia demi mencegah bencana perubahan iklim. Untuk itu, proyek-proyek energi terbarukan sangat dinantikan bisa segera beroperasi.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman, menyatakan dari hasil tinjauan capaian komitmen pengurangan emisi GRK (NDC) Indonesia, masih terbuka untuk sektor energi meningkatkan perannya. Dalam NDC, target pengurangan emisi GRK dari sektor energi baru 19% dari praktik business as usual (BAU).
"Dari sektor kehutanan penurunan yang dicapai sudah optimal sementara sektor energi masih ada ruang untuk lebih menurunkan emisi GRK," kata Ruandha dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Sebagai bagian dari traktat global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK 29%-41% dari BAU pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar capaian target tersebut masing-masing dengan 17,2% dan 11%.
Ruandha menyatakan, sudah ada komitmen kuat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih menurunkan emisi GRK dengan terus mengembangkan proyek-proyek energi bersih terbarukan. "Kita semua tentu berharap ada proyek-proyek energi terbarukan yang bisa segera beroperasi," katanya.
Data terbaru KLHK, pada 2016, Indonesia berhasil menurunan emisi GRK sebanyak 249,8 juta ton setara karbondioksida (CO2e) atau 8,7% dari emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Untuk sektor energi, penurunan emisi yang dicapai sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau sebesar 3,28% dari emisi BAU. Emisi GRK BAU sektor eenergi pada tahun 2030 adalah 712,26 juta ton CO2e.
"Capaian NDC pada tahun 2017 sedang kami hitung, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dipublikasikan," kata Ruandha.
Sebelumnya, Sekditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan pemerintah terus mendorong pengembangan energi bersih terbarukan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi GRK dari sektor energi.
Salah satu yang kini sedang dalam tahap pembangunan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. KLHK pun sudah menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru aman bagi orangutan.
Munir menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru akan memperkuat kehandalan jaringan listrik Sumatera dan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang saat ini dimanfaatkan. Peralihan ke penggunaan energi bersih itu akan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta ton setara CO2 per tahun.
Beroperasinya PLTA Batangtoru juga bisa menghemat biaya operasional produksi listrik hingga 300 juta dolar AS per tahun. "Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp3.000 per KWH," katanya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berharap kontribusi sektor energi bisa ditingkatkan dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia demi mencegah bencana perubahan iklim. Untuk itu, proyek-proyek energi terbarukan sangat dinantikan bisa segera beroperasi.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman, menyatakan dari hasil tinjauan capaian komitmen pengurangan emisi GRK (NDC) Indonesia, masih terbuka untuk sektor energi meningkatkan perannya. Dalam NDC, target pengurangan emisi GRK dari sektor energi baru 19% dari praktik business as usual (BAU).
"Dari sektor kehutanan penurunan yang dicapai sudah optimal sementara sektor energi masih ada ruang untuk lebih menurunkan emisi GRK," kata Ruandha dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Sebagai bagian dari traktat global untuk pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK 29%-41% dari BAU pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar capaian target tersebut masing-masing dengan 17,2% dan 11%.
Ruandha menyatakan, sudah ada komitmen kuat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih menurunkan emisi GRK dengan terus mengembangkan proyek-proyek energi bersih terbarukan. "Kita semua tentu berharap ada proyek-proyek energi terbarukan yang bisa segera beroperasi," katanya.
Data terbaru KLHK, pada 2016, Indonesia berhasil menurunan emisi GRK sebanyak 249,8 juta ton setara karbondioksida (CO2e) atau 8,7% dari emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Untuk sektor energi, penurunan emisi yang dicapai sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau sebesar 3,28% dari emisi BAU. Emisi GRK BAU sektor eenergi pada tahun 2030 adalah 712,26 juta ton CO2e.
"Capaian NDC pada tahun 2017 sedang kami hitung, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dipublikasikan," kata Ruandha.
Sebelumnya, Sekditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan pemerintah terus mendorong pengembangan energi bersih terbarukan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi GRK dari sektor energi.
Salah satu yang kini sedang dalam tahap pembangunan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. KLHK pun sudah menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru aman bagi orangutan.
Munir menyatakan pembangunan PLTA Batangtoru akan memperkuat kehandalan jaringan listrik Sumatera dan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang saat ini dimanfaatkan. Peralihan ke penggunaan energi bersih itu akan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta ton setara CO2 per tahun.
Beroperasinya PLTA Batangtoru juga bisa menghemat biaya operasional produksi listrik hingga 300 juta dolar AS per tahun. "Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp3.000 per KWH," katanya.