TIDAK lama lagi kita akan dihadapkan pada pemilihan umum (pemilu), pada 17 April mendatang akan ada calon anggota legislatif mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi hingga tingkat nasional yang akan ditentukan nasibnya. Bukan hanya itu, pada pemilihan umum ini juga akan sekaligus memilih calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin negara 5 tahun mendatang.
Dengan didampingi KH. Ma'ruf Amin, Presiden Joko Widodo kembali maju pada pemilihan presiden di tahun ini. Pasangan yang mendapat nomor urut satu ini akan berhadapan dengan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno di nomor urut dua. Kedua pasangan inilah yang nantinya berlomba merebut hati rakyat Indonesia pada pesta demokrasi terbesar di Indonesia itu.
Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, isu tidak netralnya aparat negara menjadi pembahasan yang hangat menjelang pilpres tahun ini. Anggapan bahwa aparat negara khususnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ini dijadikan sebagai salah satu kekuatan politik pasangan petahana dilemparkan langsung kubu lawan, ialah capres Prabowo Subianto dan Ketua Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang juga salah satu pengusung pasangan nomor urut dua ini dengan terang terangan menyampaikan dugaan tidak netralnya aparatur negara dalam pilpres ini.
Netralitas sebagai kewajiban
Persoalan netralitas sejatinya merupakan sebuah kewajiban bagi aparat negara, mengapa demikian? Jika dilihat pada aspek kelembagaan TNI-Polri, dua lembaga negara ini adalah yang paling dituntut untuk menjaga netralitasnya.
Pada sisi TNI, reformasi internal ditubuh TNI memberikan pesan kuat TNI secara mutlak harus netral. Hal ini merupakan dampak dari pencapaian demokrasi pada 1998 silam. Undang-undang TNI No 34 tahun 2004 (Pasal 39) menegaskan bahwa prajurit TNI dilarang berpolitik praktis. Reformasi TNI bermaksud menjadikan prajurit berkarakter yang profesional dan bermoral serta sesuai Sapta Marga, Delapan Wajib TNI dan Doktrin TNI.
Netralitas ditubuh TNI ini juga diimplementasikan dalam bentuk larangan menjadi caleg maupun anggota partai, calon kepala daerah maupun calon presiden. Bagi anggota TNI yang ingin masuk dalam dunia politik praktis itu harus terlebih dahulu membuat surat pengunduran dirinya dari TNI.
Hal inilah yang dilakukan oleh Agus Harimurti Yudhoyono yang memilih meninggalkan statusnya sebagai prajurit TNI untuk menjadi salah satu calon Gubernur DKI Jakarta pada pemilihan di tahun 2017 yang lalu.
Bukan hanya tidak boleh bergabung dalam agenda politik praktis, hak suara dalam pemilu maupun pilkada juga tidak dimiliki orang orang yang ada di instansi TNI. Bukan hanya itu, netralitas ini juga diwujudkan dalam bentuk ikut sertanya TNI untuk menjaga kelancaran dan kesuksesan pemilu.
Begitu juga yang terjadi ditubuh Polri, pasca melepaskan diri dari ABRI yang berubah menjadi TNI. Posisi Polri juga dituntut netralitasnya dalam setiap kontestasi politik di Indonesia. Sama seperti TNI, prajurit Polri juga dilarang ikut dalam setiap aktivitas kontestasi politik di tanah air.
Seperti yang tertuang dalam 13 pedoman netralitas Polri yang diterbitkan menjelang Pilkada serentak tahun 2018 yang lalu, anggota Polri dilarang menjadi calon ataupun tim pengusung, bahkan dilarang berfoto bersama calong anggota legislatif maupun calon kepala daerah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved