Hal ini penting karena para Pimpinan penyelenggara survei selalu mengklaim bahwa proses survei dan quick count yang mereka lakukan didasarkan pada rujukan metode ilmiah (scientific methode). Kalau benar klaim mereka bekerja secara scientific, maka mereka juga harus berani terbuka dan transfaran tentang eksistensi mereka sebagai penyelenggara survei terutama menyangkut beberapa hal sperti: Apakah mereka adalah suatu lembaga survei yang independen, bukan merupakan survei bayaran dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjadikan hasil servei untuk tujuan kepentingan keuntungan politik kelompok yang mendanai lembaga survei?.
Apakah seluruh metode dan perilaku scientafic telah mereka lakukan dalam seluruh pelaksanaan kegiatan survei dan quick count, seperti menyangkut netralitas, objektivitas, kejujuran, moral akademik, sehingga semua hasil survei dan quick count yang mereka lakukan benar-benar dapat diuji secara publik (public examination).
Pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut harus mereka jawab secara terbuka, barulah para Pimpinan Lembaga Survei berhak mempublis hasil survei dan quick count yang mereka lakukan ke ranah publik.
Namun apabila semua itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya para Pimpinan dan Pengelola Lembaga Survei patut diduga telah melakukan kejahatan berupa Kejahatan Kebohongan Publik yang berlindung dengan memakai baju kegiatan scientific. Padahal sebenarnya mereka adalah tak lain dan tak bukan dapat kwalifisir sebagai Pelacur Intelektual yang hanya mencari keuntungan material/pinansial, popularitas dan keuntungan politik dengan melancurkan keilmuannya.
Lebih jauh dampak perbuatan mereka telah membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat, menimbulkan kegaduhan sosial, mencederai objektivitas dan kebenaran riel hasil Pemilu, dan bahkan potensial akan menimbulkan perpecahan bagi sesama anak bangsa. Sebagai seorang manusia-manusia terdidik bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyandang gelar Doktor dalam berbagai bidang ilmu seharusnya lebih bijak dan bersikap serta berprilaku sebagai seorang tauladan intelektual, bukan mengumbar kesombongan, merasa diri paling pintar dan paling ahli, sehingga dengan seenaknya mempergunakan ruang publik (media TV, media massa dan media komunikasi lainnya) untuk mengumbar pendapat dan pandangan yang nyata-nyata jauh dari sifat dan sikap netralitas, kejujuran, objektivitas dan terbuka sebagai sikap dasar seorang ilmuan, malah apa yang mereka pertontonkan adalah suatu sikap yang patut diduga sangat mengandung kebohongan dan sarat diboncengi kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu terutama dalam konteks Pemilu Presiden 2019 yang berbagai tahapan prosesnya sedang berlangsung saat ini.
Dari semua apa yang mereka lakukan terutama publikasi hasil quick count tentang Pilpres jelas-jelas suatu perbuatan yang tidak memperhatikan aspek sosiologis, psikologis,politis maupun aspek keamanan dan ketenangan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk tidak terulangnya kembali praktek-praktek kotor pihak-pihak yang senantiasa berlindung dibalik kegiatan scientific dan demokrasi, akan tetapi sejatinya perbuatan yang mereka lakukan patut diduga sebagai perbuatan kejahatan kebohongan publik terutama dalam konteks publikasi quick count hasil Pipres 17 April 2017, tidak cukup hanya mendapat kritikan atau komplain dari masyarakat, tetapi harus dilakukan proses hukum, berupa tuntutan dengan dugaan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kejahatan kebohongan publik atas quick count hasil Pilpres tahun 2019, yang nyata-nyata telah membawa dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (public untrust) terhadap proses dan hasil Pemilu bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan perpecahan sesama anak bangsa.
Ada atau tidak ada pengaduan masyarakat, maka aparat penegaka hukum dalam hal ini pihak Kepolisian berkewajiban memeriksa dan memproses secara hukum para Pimpinan/Pengelola Lembaga Survei yang patut diduga telah melakukan kejahatan kebohongan publik tersebut. [***]
" itemprop="description"/>
Hal ini penting karena para Pimpinan penyelenggara survei selalu mengklaim bahwa proses survei dan quick count yang mereka lakukan didasarkan pada rujukan metode ilmiah (scientific methode). Kalau benar klaim mereka bekerja secara scientific, maka mereka juga harus berani terbuka dan transfaran tentang eksistensi mereka sebagai penyelenggara survei terutama menyangkut beberapa hal sperti: Apakah mereka adalah suatu lembaga survei yang independen, bukan merupakan survei bayaran dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjadikan hasil servei untuk tujuan kepentingan keuntungan politik kelompok yang mendanai lembaga survei?.
Apakah seluruh metode dan perilaku scientafic telah mereka lakukan dalam seluruh pelaksanaan kegiatan survei dan quick count, seperti menyangkut netralitas, objektivitas, kejujuran, moral akademik, sehingga semua hasil survei dan quick count yang mereka lakukan benar-benar dapat diuji secara publik (public examination).
Pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut harus mereka jawab secara terbuka, barulah para Pimpinan Lembaga Survei berhak mempublis hasil survei dan quick count yang mereka lakukan ke ranah publik.
Namun apabila semua itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya para Pimpinan dan Pengelola Lembaga Survei patut diduga telah melakukan kejahatan berupa Kejahatan Kebohongan Publik yang berlindung dengan memakai baju kegiatan scientific. Padahal sebenarnya mereka adalah tak lain dan tak bukan dapat kwalifisir sebagai Pelacur Intelektual yang hanya mencari keuntungan material/pinansial, popularitas dan keuntungan politik dengan melancurkan keilmuannya.
Lebih jauh dampak perbuatan mereka telah membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat, menimbulkan kegaduhan sosial, mencederai objektivitas dan kebenaran riel hasil Pemilu, dan bahkan potensial akan menimbulkan perpecahan bagi sesama anak bangsa. Sebagai seorang manusia-manusia terdidik bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyandang gelar Doktor dalam berbagai bidang ilmu seharusnya lebih bijak dan bersikap serta berprilaku sebagai seorang tauladan intelektual, bukan mengumbar kesombongan, merasa diri paling pintar dan paling ahli, sehingga dengan seenaknya mempergunakan ruang publik (media TV, media massa dan media komunikasi lainnya) untuk mengumbar pendapat dan pandangan yang nyata-nyata jauh dari sifat dan sikap netralitas, kejujuran, objektivitas dan terbuka sebagai sikap dasar seorang ilmuan, malah apa yang mereka pertontonkan adalah suatu sikap yang patut diduga sangat mengandung kebohongan dan sarat diboncengi kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu terutama dalam konteks Pemilu Presiden 2019 yang berbagai tahapan prosesnya sedang berlangsung saat ini.
Dari semua apa yang mereka lakukan terutama publikasi hasil quick count tentang Pilpres jelas-jelas suatu perbuatan yang tidak memperhatikan aspek sosiologis, psikologis,politis maupun aspek keamanan dan ketenangan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk tidak terulangnya kembali praktek-praktek kotor pihak-pihak yang senantiasa berlindung dibalik kegiatan scientific dan demokrasi, akan tetapi sejatinya perbuatan yang mereka lakukan patut diduga sebagai perbuatan kejahatan kebohongan publik terutama dalam konteks publikasi quick count hasil Pipres 17 April 2017, tidak cukup hanya mendapat kritikan atau komplain dari masyarakat, tetapi harus dilakukan proses hukum, berupa tuntutan dengan dugaan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kejahatan kebohongan publik atas quick count hasil Pilpres tahun 2019, yang nyata-nyata telah membawa dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (public untrust) terhadap proses dan hasil Pemilu bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan perpecahan sesama anak bangsa.
Ada atau tidak ada pengaduan masyarakat, maka aparat penegaka hukum dalam hal ini pihak Kepolisian berkewajiban memeriksa dan memproses secara hukum para Pimpinan/Pengelola Lembaga Survei yang patut diduga telah melakukan kejahatan kebohongan publik tersebut. [***]
"/>
Hal ini penting karena para Pimpinan penyelenggara survei selalu mengklaim bahwa proses survei dan quick count yang mereka lakukan didasarkan pada rujukan metode ilmiah (scientific methode). Kalau benar klaim mereka bekerja secara scientific, maka mereka juga harus berani terbuka dan transfaran tentang eksistensi mereka sebagai penyelenggara survei terutama menyangkut beberapa hal sperti: Apakah mereka adalah suatu lembaga survei yang independen, bukan merupakan survei bayaran dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjadikan hasil servei untuk tujuan kepentingan keuntungan politik kelompok yang mendanai lembaga survei?.
Apakah seluruh metode dan perilaku scientafic telah mereka lakukan dalam seluruh pelaksanaan kegiatan survei dan quick count, seperti menyangkut netralitas, objektivitas, kejujuran, moral akademik, sehingga semua hasil survei dan quick count yang mereka lakukan benar-benar dapat diuji secara publik (public examination).
Pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut harus mereka jawab secara terbuka, barulah para Pimpinan Lembaga Survei berhak mempublis hasil survei dan quick count yang mereka lakukan ke ranah publik.
Namun apabila semua itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya para Pimpinan dan Pengelola Lembaga Survei patut diduga telah melakukan kejahatan berupa Kejahatan Kebohongan Publik yang berlindung dengan memakai baju kegiatan scientific. Padahal sebenarnya mereka adalah tak lain dan tak bukan dapat kwalifisir sebagai Pelacur Intelektual yang hanya mencari keuntungan material/pinansial, popularitas dan keuntungan politik dengan melancurkan keilmuannya.
Lebih jauh dampak perbuatan mereka telah membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat, menimbulkan kegaduhan sosial, mencederai objektivitas dan kebenaran riel hasil Pemilu, dan bahkan potensial akan menimbulkan perpecahan bagi sesama anak bangsa. Sebagai seorang manusia-manusia terdidik bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyandang gelar Doktor dalam berbagai bidang ilmu seharusnya lebih bijak dan bersikap serta berprilaku sebagai seorang tauladan intelektual, bukan mengumbar kesombongan, merasa diri paling pintar dan paling ahli, sehingga dengan seenaknya mempergunakan ruang publik (media TV, media massa dan media komunikasi lainnya) untuk mengumbar pendapat dan pandangan yang nyata-nyata jauh dari sifat dan sikap netralitas, kejujuran, objektivitas dan terbuka sebagai sikap dasar seorang ilmuan, malah apa yang mereka pertontonkan adalah suatu sikap yang patut diduga sangat mengandung kebohongan dan sarat diboncengi kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu terutama dalam konteks Pemilu Presiden 2019 yang berbagai tahapan prosesnya sedang berlangsung saat ini.
Dari semua apa yang mereka lakukan terutama publikasi hasil quick count tentang Pilpres jelas-jelas suatu perbuatan yang tidak memperhatikan aspek sosiologis, psikologis,politis maupun aspek keamanan dan ketenangan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk tidak terulangnya kembali praktek-praktek kotor pihak-pihak yang senantiasa berlindung dibalik kegiatan scientific dan demokrasi, akan tetapi sejatinya perbuatan yang mereka lakukan patut diduga sebagai perbuatan kejahatan kebohongan publik terutama dalam konteks publikasi quick count hasil Pipres 17 April 2017, tidak cukup hanya mendapat kritikan atau komplain dari masyarakat, tetapi harus dilakukan proses hukum, berupa tuntutan dengan dugaan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kejahatan kebohongan publik atas quick count hasil Pilpres tahun 2019, yang nyata-nyata telah membawa dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (public untrust) terhadap proses dan hasil Pemilu bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan perpecahan sesama anak bangsa.
Ada atau tidak ada pengaduan masyarakat, maka aparat penegaka hukum dalam hal ini pihak Kepolisian berkewajiban memeriksa dan memproses secara hukum para Pimpinan/Pengelola Lembaga Survei yang patut diduga telah melakukan kejahatan kebohongan publik tersebut. [***]
PROSES tahapan Pemilu 2019 masih terus berlangsung, seluruh Anak Bangsa baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri, bahkan berbagai Bangsa di dunia sangat menantikan apakah seluruh proses tahapan demi tahapan Pemilu Pilpres maupun Pileg yang sedang berlangsung saat saat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib dan yang paling penting seluruh pihak baik jajaran Penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu, Peserta Pemilu, aparat Keamanan (TNI/Polri), Media TV, Media Cetak, Medsos, Jajaran Pemerintahan dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai ke Desa/Kelurahan, Kepling/Kadus, Tokoh Masyarakat, seluruh Rakyat Indonesia, termasuk Pimpinan/Pengelola Lembaga-Lembaga Survei baik yang terdaftar di KPU maupun yang yang tidak terdaftar harus dan wajib tetap menjunjung tinggi dan berkomitmen agar semua tahapan Pemilu 2019 dilakukan dengan prinsip Jujur dan Adil.
Tahapan Pemungutan suara yang sudah dilaksanakan baik di luar negeri maupun di dalam negeri telah dilaksanakan secara resmi pada Rabu, 17 Apri 2019. Banyak hal dan berbagai kejanggalan dan persoalan yang terjadi di lapangan yang patut diduga merupakan indikasi kuat telah terjadinya praktek-praktek kecurangan dengan berbagai modus yang menjadi catatan buruk dalam pelaksanaan Pemilu 2019 hendaknya segera dihentikan agar Pemilu yang merupakan amanah Konstitusi dalam perwujudan Demokrasi yang benar-benar Jujur, Adil dan Bermartabat, sehingga apapun hasil Pemilu 2019 baik Pemilu untuk Pilpres maupun Pileg benar-banar dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat, bukan saja pertanggungjawan hukum formal prosedural, tapi yang paling utama adalah terpenuhinya hasil pemilu yang memenuhi keabhasan Konsitusuonal dengan tetap menjamin prinsip Jujur dan Adil, yang secara otomatikli akan menghasilkan hasil Pemilu yang mempunyai Legitimasi Sosial dari seluruh elemen bangsa serta Pengakuan dunia Internasional.
Melalui hasil Pemilu yang Jujur dan Adil serta Legitimasi Sosial yang kuat tentunya akan menghasilkan Pemerintahan Yang Konstitusional dan sekaligus mendapat Legitimasi Sosial yang kuat baik dari seluruh Elemen Bangsa maupun Dunia Internasional.
Itu semua hanya terwujud bila seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu menjadi tanggung jawab semua Pihak termasuk para Pengelola/Pimpinan Lembaga Surve untuk bersikap Jujur, Adil dan Objektif dalam melakukan proses survei dan menarik hasil kesimpulan survei. Apabila prinsip Jujur, Adil dan Objektif tersebut tidak dilaksanakan oleh Lembaga-Lembaga Survei maka tidakan tersebut sangat bertentangan dengan Tujuan Mulia proses Pemilu untuk mendapatkan Pemimpin Bangsa yang benar-benar hasil dari pilihan dan aspirasi Rakyat.
Oleh karena itu siapapun termasuk para Penglola Survei tidak boleh melakukan Pembajakan atas Hasil Riel Suara Rakyat, karena perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Kejahatan dan Pembajak Demokrasi karena dampak yang ditimbulkan bisa menimbulkan perpecahan dan kerusuhan sosial yang mengancam keutuhan dan eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia yang kita cintai ini. Tentunya kita semua tidak ingin hal yang terburuk terjadi menimpa Bangsa ini hanya karena ketiadaan sikap jujur dan adil dari berbagai pihak termasuk Pengelola Survei.
Tanggung Jawab Hukum dan Moral Pengelola Lembaga Survei
Secara yuridis dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, memang ada diatur tentang kehadiran Lembaga-Lembaga Survei yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Sosialisasi Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelengaraan Pemilihan Umum.
Pasal 448 dan Pasal 449 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu Partisipasi Masyarakat dimaksud adalah melakukan survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, maupun perhitungan cepat hasil Pemilu yang kita kenal kegiatan tersebut marak dilakukan lembaga-lembaga survei. Namun Pasal 448 ayat (3) Undang-Undan No. 7 Tahun 2017 juga secara tegas mengatur bentuk kegiatan jajak pendapat dan perhitungan cepat hasil pemilu atau lebih populer disebut quick count†wajib memenuhi norma hukum bahwa kegiatan jajak pendapat dan quick count dimaksud tidak sampai melanggar sejumlah larangan seperti: bahwa kegiatan partisipasi tersebu tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu; Tidak mengganggu proses tahapan jalannya Pemilu; harus bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; serta mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang damai, tertib dan lancar.
Merujuk kepada amanat UU No. 7 Tahun 2017 tersebut pengumuman beberapa lembaga survei tentang hitung cepat (quick count) atas hasil Pemilu Presiden 17 April 2019 jelas dapat diuji secara hukum. Apakah proses quick count yang dilakukan benarâ€"benar memenuhi prinsip Kejujuran, Keadilan, Objektivitas dan Netralitas.
Hal ini penting karena para Pimpinan penyelenggara survei selalu mengklaim bahwa proses survei dan quick count yang mereka lakukan didasarkan pada rujukan metode ilmiah (scientific methode). Kalau benar klaim mereka bekerja secara scientific, maka mereka juga harus berani terbuka dan transfaran tentang eksistensi mereka sebagai penyelenggara survei terutama menyangkut beberapa hal sperti: Apakah mereka adalah suatu lembaga survei yang independen, bukan merupakan survei bayaran dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjadikan hasil servei untuk tujuan kepentingan keuntungan politik kelompok yang mendanai lembaga survei?.
Apakah seluruh metode dan perilaku scientafic telah mereka lakukan dalam seluruh pelaksanaan kegiatan survei dan quick count, seperti menyangkut netralitas, objektivitas, kejujuran, moral akademik, sehingga semua hasil survei dan quick count yang mereka lakukan benar-benar dapat diuji secara publik (public examination).
Pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut harus mereka jawab secara terbuka, barulah para Pimpinan Lembaga Survei berhak mempublis hasil survei dan quick count yang mereka lakukan ke ranah publik.
Namun apabila semua itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya para Pimpinan dan Pengelola Lembaga Survei patut diduga telah melakukan kejahatan berupa Kejahatan Kebohongan Publik yang berlindung dengan memakai baju kegiatan scientific. Padahal sebenarnya mereka adalah tak lain dan tak bukan dapat kwalifisir sebagai Pelacur Intelektual yang hanya mencari keuntungan material/pinansial, popularitas dan keuntungan politik dengan melancurkan keilmuannya.
Lebih jauh dampak perbuatan mereka telah membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat, menimbulkan kegaduhan sosial, mencederai objektivitas dan kebenaran riel hasil Pemilu, dan bahkan potensial akan menimbulkan perpecahan bagi sesama anak bangsa. Sebagai seorang manusia-manusia terdidik bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyandang gelar Doktor dalam berbagai bidang ilmu seharusnya lebih bijak dan bersikap serta berprilaku sebagai seorang tauladan intelektual, bukan mengumbar kesombongan, merasa diri paling pintar dan paling ahli, sehingga dengan seenaknya mempergunakan ruang publik (media TV, media massa dan media komunikasi lainnya) untuk mengumbar pendapat dan pandangan yang nyata-nyata jauh dari sifat dan sikap netralitas, kejujuran, objektivitas dan terbuka sebagai sikap dasar seorang ilmuan, malah apa yang mereka pertontonkan adalah suatu sikap yang patut diduga sangat mengandung kebohongan dan sarat diboncengi kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu terutama dalam konteks Pemilu Presiden 2019 yang berbagai tahapan prosesnya sedang berlangsung saat ini.
Dari semua apa yang mereka lakukan terutama publikasi hasil quick count tentang Pilpres jelas-jelas suatu perbuatan yang tidak memperhatikan aspek sosiologis, psikologis,politis maupun aspek keamanan dan ketenangan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk tidak terulangnya kembali praktek-praktek kotor pihak-pihak yang senantiasa berlindung dibalik kegiatan scientific dan demokrasi, akan tetapi sejatinya perbuatan yang mereka lakukan patut diduga sebagai perbuatan kejahatan kebohongan publik terutama dalam konteks publikasi quick count hasil Pipres 17 April 2017, tidak cukup hanya mendapat kritikan atau komplain dari masyarakat, tetapi harus dilakukan proses hukum, berupa tuntutan dengan dugaan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kejahatan kebohongan publik atas quick count hasil Pilpres tahun 2019, yang nyata-nyata telah membawa dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (public untrust) terhadap proses dan hasil Pemilu bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan perpecahan sesama anak bangsa.
Ada atau tidak ada pengaduan masyarakat, maka aparat penegaka hukum dalam hal ini pihak Kepolisian berkewajiban memeriksa dan memproses secara hukum para Pimpinan/Pengelola Lembaga Survei yang patut diduga telah melakukan kejahatan kebohongan publik tersebut. [***]
PROSES tahapan Pemilu 2019 masih terus berlangsung, seluruh Anak Bangsa baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri, bahkan berbagai Bangsa di dunia sangat menantikan apakah seluruh proses tahapan demi tahapan Pemilu Pilpres maupun Pileg yang sedang berlangsung saat saat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib dan yang paling penting seluruh pihak baik jajaran Penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu, Peserta Pemilu, aparat Keamanan (TNI/Polri), Media TV, Media Cetak, Medsos, Jajaran Pemerintahan dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai ke Desa/Kelurahan, Kepling/Kadus, Tokoh Masyarakat, seluruh Rakyat Indonesia, termasuk Pimpinan/Pengelola Lembaga-Lembaga Survei baik yang terdaftar di KPU maupun yang yang tidak terdaftar harus dan wajib tetap menjunjung tinggi dan berkomitmen agar semua tahapan Pemilu 2019 dilakukan dengan prinsip Jujur dan Adil.
Tahapan Pemungutan suara yang sudah dilaksanakan baik di luar negeri maupun di dalam negeri telah dilaksanakan secara resmi pada Rabu, 17 Apri 2019. Banyak hal dan berbagai kejanggalan dan persoalan yang terjadi di lapangan yang patut diduga merupakan indikasi kuat telah terjadinya praktek-praktek kecurangan dengan berbagai modus yang menjadi catatan buruk dalam pelaksanaan Pemilu 2019 hendaknya segera dihentikan agar Pemilu yang merupakan amanah Konstitusi dalam perwujudan Demokrasi yang benar-benar Jujur, Adil dan Bermartabat, sehingga apapun hasil Pemilu 2019 baik Pemilu untuk Pilpres maupun Pileg benar-banar dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat, bukan saja pertanggungjawan hukum formal prosedural, tapi yang paling utama adalah terpenuhinya hasil pemilu yang memenuhi keabhasan Konsitusuonal dengan tetap menjamin prinsip Jujur dan Adil, yang secara otomatikli akan menghasilkan hasil Pemilu yang mempunyai Legitimasi Sosial dari seluruh elemen bangsa serta Pengakuan dunia Internasional.
Melalui hasil Pemilu yang Jujur dan Adil serta Legitimasi Sosial yang kuat tentunya akan menghasilkan Pemerintahan Yang Konstitusional dan sekaligus mendapat Legitimasi Sosial yang kuat baik dari seluruh Elemen Bangsa maupun Dunia Internasional.
Itu semua hanya terwujud bila seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu menjadi tanggung jawab semua Pihak termasuk para Pengelola/Pimpinan Lembaga Surve untuk bersikap Jujur, Adil dan Objektif dalam melakukan proses survei dan menarik hasil kesimpulan survei. Apabila prinsip Jujur, Adil dan Objektif tersebut tidak dilaksanakan oleh Lembaga-Lembaga Survei maka tidakan tersebut sangat bertentangan dengan Tujuan Mulia proses Pemilu untuk mendapatkan Pemimpin Bangsa yang benar-benar hasil dari pilihan dan aspirasi Rakyat.
Oleh karena itu siapapun termasuk para Penglola Survei tidak boleh melakukan Pembajakan atas Hasil Riel Suara Rakyat, karena perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Kejahatan dan Pembajak Demokrasi karena dampak yang ditimbulkan bisa menimbulkan perpecahan dan kerusuhan sosial yang mengancam keutuhan dan eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia yang kita cintai ini. Tentunya kita semua tidak ingin hal yang terburuk terjadi menimpa Bangsa ini hanya karena ketiadaan sikap jujur dan adil dari berbagai pihak termasuk Pengelola Survei.
Tanggung Jawab Hukum dan Moral Pengelola Lembaga Survei
Secara yuridis dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, memang ada diatur tentang kehadiran Lembaga-Lembaga Survei yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Sosialisasi Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelengaraan Pemilihan Umum.
Pasal 448 dan Pasal 449 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu Partisipasi Masyarakat dimaksud adalah melakukan survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, maupun perhitungan cepat hasil Pemilu yang kita kenal kegiatan tersebut marak dilakukan lembaga-lembaga survei. Namun Pasal 448 ayat (3) Undang-Undan No. 7 Tahun 2017 juga secara tegas mengatur bentuk kegiatan jajak pendapat dan perhitungan cepat hasil pemilu atau lebih populer disebut quick count†wajib memenuhi norma hukum bahwa kegiatan jajak pendapat dan quick count dimaksud tidak sampai melanggar sejumlah larangan seperti: bahwa kegiatan partisipasi tersebu tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu; Tidak mengganggu proses tahapan jalannya Pemilu; harus bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; serta mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang damai, tertib dan lancar.
Merujuk kepada amanat UU No. 7 Tahun 2017 tersebut pengumuman beberapa lembaga survei tentang hitung cepat (quick count) atas hasil Pemilu Presiden 17 April 2019 jelas dapat diuji secara hukum. Apakah proses quick count yang dilakukan benarâ€"benar memenuhi prinsip Kejujuran, Keadilan, Objektivitas dan Netralitas.
Hal ini penting karena para Pimpinan penyelenggara survei selalu mengklaim bahwa proses survei dan quick count yang mereka lakukan didasarkan pada rujukan metode ilmiah (scientific methode). Kalau benar klaim mereka bekerja secara scientific, maka mereka juga harus berani terbuka dan transfaran tentang eksistensi mereka sebagai penyelenggara survei terutama menyangkut beberapa hal sperti: Apakah mereka adalah suatu lembaga survei yang independen, bukan merupakan survei bayaran dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjadikan hasil servei untuk tujuan kepentingan keuntungan politik kelompok yang mendanai lembaga survei?.
Apakah seluruh metode dan perilaku scientafic telah mereka lakukan dalam seluruh pelaksanaan kegiatan survei dan quick count, seperti menyangkut netralitas, objektivitas, kejujuran, moral akademik, sehingga semua hasil survei dan quick count yang mereka lakukan benar-benar dapat diuji secara publik (public examination).
Pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut harus mereka jawab secara terbuka, barulah para Pimpinan Lembaga Survei berhak mempublis hasil survei dan quick count yang mereka lakukan ke ranah publik.
Namun apabila semua itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya para Pimpinan dan Pengelola Lembaga Survei patut diduga telah melakukan kejahatan berupa Kejahatan Kebohongan Publik yang berlindung dengan memakai baju kegiatan scientific. Padahal sebenarnya mereka adalah tak lain dan tak bukan dapat kwalifisir sebagai Pelacur Intelektual yang hanya mencari keuntungan material/pinansial, popularitas dan keuntungan politik dengan melancurkan keilmuannya.
Lebih jauh dampak perbuatan mereka telah membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat, menimbulkan kegaduhan sosial, mencederai objektivitas dan kebenaran riel hasil Pemilu, dan bahkan potensial akan menimbulkan perpecahan bagi sesama anak bangsa. Sebagai seorang manusia-manusia terdidik bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyandang gelar Doktor dalam berbagai bidang ilmu seharusnya lebih bijak dan bersikap serta berprilaku sebagai seorang tauladan intelektual, bukan mengumbar kesombongan, merasa diri paling pintar dan paling ahli, sehingga dengan seenaknya mempergunakan ruang publik (media TV, media massa dan media komunikasi lainnya) untuk mengumbar pendapat dan pandangan yang nyata-nyata jauh dari sifat dan sikap netralitas, kejujuran, objektivitas dan terbuka sebagai sikap dasar seorang ilmuan, malah apa yang mereka pertontonkan adalah suatu sikap yang patut diduga sangat mengandung kebohongan dan sarat diboncengi kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu terutama dalam konteks Pemilu Presiden 2019 yang berbagai tahapan prosesnya sedang berlangsung saat ini.
Dari semua apa yang mereka lakukan terutama publikasi hasil quick count tentang Pilpres jelas-jelas suatu perbuatan yang tidak memperhatikan aspek sosiologis, psikologis,politis maupun aspek keamanan dan ketenangan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk tidak terulangnya kembali praktek-praktek kotor pihak-pihak yang senantiasa berlindung dibalik kegiatan scientific dan demokrasi, akan tetapi sejatinya perbuatan yang mereka lakukan patut diduga sebagai perbuatan kejahatan kebohongan publik terutama dalam konteks publikasi quick count hasil Pipres 17 April 2017, tidak cukup hanya mendapat kritikan atau komplain dari masyarakat, tetapi harus dilakukan proses hukum, berupa tuntutan dengan dugaan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kejahatan kebohongan publik atas quick count hasil Pilpres tahun 2019, yang nyata-nyata telah membawa dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (public untrust) terhadap proses dan hasil Pemilu bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan perpecahan sesama anak bangsa.
Ada atau tidak ada pengaduan masyarakat, maka aparat penegaka hukum dalam hal ini pihak Kepolisian berkewajiban memeriksa dan memproses secara hukum para Pimpinan/Pengelola Lembaga Survei yang patut diduga telah melakukan kejahatan kebohongan publik tersebut. [***]