Pada awal Mei 2022 warga Kota Medan sempat dihebohkan dengan perseteruan antara petugas e-parking dengan warga asal Kabupaten Aceh Tengah yang sempat berujar dengan mengancam akan mematahkan leher Bobby (Walikota Medan). Namun proses hukum terhadap pelaku pengancaman tersebut diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dimana penyelesaian melalui perdamaian telah memenuhi syarat formil sesuai ketentuan dalam Perkap No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Di sisi lain sejak diundangkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kerjaksaan mengklaim lebih dari 823 tindak pidana umum telah diselesaikan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Konsep Restorative justice adalah mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh yakni; korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka, dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka.
Di dalam penegakan Hukum Pidana, restorative justice atau keadilan restorasi merupakan kritik terhadap apa yang berlaku saat ini yaitu “retributive justice” yang melihat penerapan penderitaan terhadap si pelaku kejahatan merupakan kewajiban. Tindak pidana dirumuskan dalam terminologi teoritik, tanpa memiliki dimensi moral, sosial dan ekonomis.
Istilah restorative justice sebenarnya bukanlah hal baru, keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana melalui pendekatan keadilan restorasi justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Coba kita lihat Al-Qur’an surah al-Baqarah; 178 yang diterjemahkan sebagai berikut: “Wahai orang-orang beriman! Telah diwajibkan kepada kamu hukum qishash dalam hal pembunuhan: yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Tetapi bila kepadanya ada pemaafan dari pihak saudara yang terbunuh, penuhilah permintaannya dengan baik, dan bayarlah dengan ganti rugi
kepadanya dengan cara baik pula. Inilah keinginan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melakukan pelanggaran setelah itu maka baginya adzab yang berat”.
Unsur kebijaksanaan yang diberikan kepada korban atau sanak keluarganya dalam ayat tersebut yang turun 1.400-an tahun yang lalu secara tersirat merupakan bentuk keadilan restorasi bagi korban dengan diberikan ganti rugi kepada korban atau keluarganya.
Sementara itu di Indonesia istilah keadilan restorasi lahir dari keyakinan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini yang secara turun temurun telah menjadi hukum adat. Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari keadilan restoratif. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya amat mendukung penerapan keadilan restoratif. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri umum hukum adat Indonesia, pandangan terhadap pelanggaran adat/delik adat serta model cara penyelesaian yang ditawarkannya.
Secara yuridis pengaturan terhadap peradilan adat mendapat pengakuan dari pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia: Pasal 18 B (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Amandemen kedua menjelaskan bahwa keberadaan hukum adat memperoleh pengakuan negara sepanjang masih hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini berarti segala penerapan sanksi pidana adat yang tertuang di dalam hukum adat mendapatkan kepastian hukum.
UU Nomor. 1 Drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Mengacu pada rumusan Pasal 5 ayat (3) sub b, dapat dikemukakan bahwa pidana adat yang tidak ada pengaturannya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan/atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah 10 tahun, sebagai pengganti hukuman adat yang tidak oleh pelaku yang menerima hukuman.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), menerangkan kedudukan hukum pidana adat di Indonesia telah mendapatkan pngakuan sehingga penerapan sanksi adat yang diberlakukan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah norma negara. Sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan tumbuh berkembang di tengah lapisan masyarakat.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1644/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Yurispruensi MA tersebut menjelaskan bahwa MA sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia menghormati putusan kepala adat terhadap pelanggar hukum adat diberikan sanksi adat serta pelaku yang telah diberikan hukuman atas perbuatannya tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara.
Di dalam masyarakat yang masih memegang erat norma adat dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa memiliki posisi penting dan menentukan. Karena hukum adat tidak mementingkan antara hukum publik dan hukum privat. Kenyataan tersebut jelas terlihat dalam praktiknya, permasalahan yang dihadapi oleh lembaga kepolisian misalnya, di berbagai daerah di Indonesia kepolisian sebagai gerbang sub sistem peradilan pidana banyak mendapati perkara pidana yang tidak diteruskan karena telah diselesaikan melalui jalur lembaga adat. Karena penyelesaian perkara pidana oleh lembaga adat dapat dianggap sebagai suatu alternatif utama.
Hal ini disebabkan karena penyelesaian yang ditawarkan atas suatu perkara pidana dapat membawa dampak yang lansung dirasakan oleh mereka yang terlibat sesuai dengan sifatnya yang terang dan tunai.
Setali tiga uang dengan Perkara Pidana Khusus yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Perkara No. 255/Pid.Sus/2022/PN.Lbp dengan Terdakwa kasus UU ITE No. 11 Tahun 2008 Soraya Putra alias Mpuh Sembiring yang diduga melakukan tindak pidana ujaran kebencian terhadap Hendro Saputro di media sosial terkait klaim pelapor Hendro sebagai juru kunci Gunung Sinabung. Seharusnya perkara seperti ini pada tahap penyidikan kepolisian maupun sampai pada Penuntut Umum dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, karena instrumen untuk melaksanakannya tertuang baik dalam Perkap No. 8 Tahun 2021 ataupun Perja No. 15 Tahun 2020.
Namun dikarenakan penanganan perkara ini sampai juga di meja persidangan, maka Majelis Hakim yang menangani perkara ini diharapkan dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya. Karena apabila keliru dalam memberi putusannya akan dapat berdampak pada potensi konflik sosial yang dapat terjadi. Karena perkara tersebut tidak sebatas penyebaran konten ujaran kebencian di media sosial tetapi lebih luas esensinya telah menyentuh nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat adat, khususnya masyarakat Adat Karo.
Penulis adalah praktisi hukum di Sumatera Utara
© Copyright 2024, All Rights Reserved