Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Ristek) Nadiem Makariem didorong untuk membuka pendidikan medik onkologi sub spesialis kanker payudara para perguruan tinggi di Indonesia.
Dorongan ini disampaikanKetua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Demokrat Sumatra Utara (DPD KNPD Sumut), organisasi sayap Partai Demokrat, Suryani Paskah Naiborhu terkait data penderita kanker payudara yang menduduki peringkat tertinggi di Indonesia.
"Pada sisi lain hingga saat ini Indonesia belum memiliki dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara (sub specializing in breast oncology). Jadi kita menilai ini sangat perlu," katanya, Senin (25/10/2021).
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, berdasarkan data Globocan 2020, kasus kanker payudara di Indonesia sebanyak 16,6%, kanker leher rahim 9,2%, kanker paru 8,8%, kanker kolorektal atau usus 8,6%, kanker prostat 7,4%. Dari jumlah penderita kanker di Indonesia pada tahun 2020 yang tercatat sebanyak 396.914 jiwa, sebanyak 65.858 jiwa di antaranya adalah penderita kanker payudara.
"Jumlah penderita kanker payudara menduduki peringkat pertama dari jenis kanker lainnya. Dan jumlah penderita kanker tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya," ujar Suryani Paskah Naiborhu.
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, pada umumnya, penanganan kasus kanker payudara ini dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan payudara. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran jaringan kanker tersebut ke bagian organ tubuh lainnya.
"Operasi ini dipimpin oleh dokter spesialis bedah onkologi. Setelah menjalani operasi, tahap selanjutnya pasien akan menjalani tahapan kemoterapi untuk memastikan tubuh bersih dari sisa-sisa jaringan kanker payudara," jelasnya.
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, seharusnya pengobatan kemoterapi pasien penderita kanker payudara ini dilakukan oleh dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara. Sehingga dengan demikian jenis obat kemoterapi yang diberikan sesuai dengan jenis kanker payudara tersebut. Hal ini dikarenakan kanker payudara memiliki jenis-jenis lainnya, seperti triple negative breast cancer (TNBC).
Karena Indonesia belum memiliki dokter medik onkologi sub spesialis kanker payudara (breast oncology), maka pengobatan kemoterapi pada pasien kanker payudara cenderung dilakukan oleh dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker darah (hemato onkologi) atau dilakukan oleh dokter bedah onkologi (surgical oncology)
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, pangkal ketiadaan sumber daya manusia (SDM) dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara ini berawal dari belum adanya universitas di Indonesia yang menyediakan pendidikan khusus dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara. Sejauh ini, pendidikan yang tersedia baru pada dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker darah.
"Hal ini sangat saya sayangkan. Padahal jumlah penderita kanker payudara menduduki peringkat pertama dari jenis kanker lainnya. Namun pendidikan kedokteran di universitas kita belum memiliki pendidikan dokter medik onkologi sub spesialis kanker payudara. Ketiadaan tersebut tentu berpengaruh terhadap penanganan pasien kanker payudara," jelasnya.
Melihat kondisi tersebut, Suryani Paskah Naiborhu meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dapat menyediakan pendidikan kedokteran spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara pada perguruan tinggi di Indonesia.
Suryani Paskah Naiborhu mengakui bahwa dibutuhkan penyiapan infrastruktur dasar, khususnya pada SDM tenaga pengajar, dalam pendidikan dokter spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara pada perguruan tinggi di Indonesia. Namun hal tersebut harus dilakukan agar penanganan kanker payudara dapat dilakukan lebih baik lagi.
Sebagai langkah awal, Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, Indonesia dapat mengirimkan dokter-dokter kita untuk sekolah sub spesialis kanker payudara ke negara-negara yang menyediakan pendidikan khusus tersebut. "Seperti ke Amerika Serikat, Inggris atau negara maju lainnya, yang telah memiliki pendidikan kedokteran spesialis medik onkologi sub spesialis kanker payudara pada perguruan tinggi," tuturnya.
Di samping itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus menjalin sinergi dengan Kementerian Kesehatan. Sehingga dengan demikian nantinya dapat melahirkan dokter-dokter medik onkologi dengan sub spesialis khusus kanker payudara di Indonesia.
"Peringatan Hari Dokter Nasional yang jatuh pada tanggal 24 Oktober 2021 kiranya dapat menjadi momentum bagi institusi terkait untuk mulai mewujudkan dokter-doker medik onkologi dengan sub spesialis kanker payudara. Sehingga dengan demikian, penanganan pasien kanker payudara pasca operasi dapat dilakukan lebih tepat lagi, khususnya dalam hal pengobatan kemoterapi," tuturnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved