Dana menjelaskan ancaman sekaligus tantangan yang ada yakni minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut. Selain karena pembangunan PLTA, beberapa perusahaan yang ada disana seperti tambang emas Agincourt Resources juga ikut memberi andil akan kerusakan lingkungan karena membuang limbah ke sungai Batangtoru.
\"Mereka memang menyebut itu sudah memenuhi baku mutu tapi dari hasil pengamatan yang kita lakukan, aktifitas itu merusak sungai Batangtoru,\" ujarnya.
Selain itu Dana juga mengatakan ancaman dari hutan tanaman industri dengan luas mencapai 83.143 ha, serta ekspansi lahan perkebunan sawit yang mulai mengarah ke hutan Batangtoru yang saat seluas 113.464 ha, serta dampak ikutan dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan.
\"Pengelolaan ekosistem Batangtoru haruslah berhati-hati, mengingat kawasan ini menjadi sumber air bagi pertanian, habitat satwa kunci yang hampir punah, serta wilayah kelola rakyat dan upaya pemenuhan bagi tradisi dan spiritualitas adat,\" ungkapnya.
Terkait dengan keberadaan satwa orangutan tapanuli yang diperkirakan tinggal 800 ekor lagi, Tarigan menyatakan hal itu merupakan salah satu potensi masalah yang harus diantisipasi. Kesalahanan dalam pengelolaan hutan itu bisa berimbas pada punahnya satwa langka tersebut." itemprop="description"/>
Dana menjelaskan ancaman sekaligus tantangan yang ada yakni minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut. Selain karena pembangunan PLTA, beberapa perusahaan yang ada disana seperti tambang emas Agincourt Resources juga ikut memberi andil akan kerusakan lingkungan karena membuang limbah ke sungai Batangtoru.
\"Mereka memang menyebut itu sudah memenuhi baku mutu tapi dari hasil pengamatan yang kita lakukan, aktifitas itu merusak sungai Batangtoru,\" ujarnya.
Selain itu Dana juga mengatakan ancaman dari hutan tanaman industri dengan luas mencapai 83.143 ha, serta ekspansi lahan perkebunan sawit yang mulai mengarah ke hutan Batangtoru yang saat seluas 113.464 ha, serta dampak ikutan dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan.
\"Pengelolaan ekosistem Batangtoru haruslah berhati-hati, mengingat kawasan ini menjadi sumber air bagi pertanian, habitat satwa kunci yang hampir punah, serta wilayah kelola rakyat dan upaya pemenuhan bagi tradisi dan spiritualitas adat,\" ungkapnya.
Terkait dengan keberadaan satwa orangutan tapanuli yang diperkirakan tinggal 800 ekor lagi, Tarigan menyatakan hal itu merupakan salah satu potensi masalah yang harus diantisipasi. Kesalahanan dalam pengelolaan hutan itu bisa berimbas pada punahnya satwa langka tersebut."/>
Dana menjelaskan ancaman sekaligus tantangan yang ada yakni minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut. Selain karena pembangunan PLTA, beberapa perusahaan yang ada disana seperti tambang emas Agincourt Resources juga ikut memberi andil akan kerusakan lingkungan karena membuang limbah ke sungai Batangtoru.
\"Mereka memang menyebut itu sudah memenuhi baku mutu tapi dari hasil pengamatan yang kita lakukan, aktifitas itu merusak sungai Batangtoru,\" ujarnya.
Selain itu Dana juga mengatakan ancaman dari hutan tanaman industri dengan luas mencapai 83.143 ha, serta ekspansi lahan perkebunan sawit yang mulai mengarah ke hutan Batangtoru yang saat seluas 113.464 ha, serta dampak ikutan dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan.
\"Pengelolaan ekosistem Batangtoru haruslah berhati-hati, mengingat kawasan ini menjadi sumber air bagi pertanian, habitat satwa kunci yang hampir punah, serta wilayah kelola rakyat dan upaya pemenuhan bagi tradisi dan spiritualitas adat,\" ungkapnya.
Terkait dengan keberadaan satwa orangutan tapanuli yang diperkirakan tinggal 800 ekor lagi, Tarigan menyatakan hal itu merupakan salah satu potensi masalah yang harus diantisipasi. Kesalahanan dalam pengelolaan hutan itu bisa berimbas pada punahnya satwa langka tersebut."/>
Ancaman kerusakan lingkungan hidup di Batangtoru semakin nyata seiring masih berprosesnya pembangunan proyek PLTA Batangtoru yang disinyalir memiliki kajian yang bermasalah. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan dalam siaran persnya. Atas kondisi ini Walhi Sumut mendesak langkah penyelamatan pada ekosistem yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) selaku satwa yang paling terancam punah saat ini.
Dana menyatakan, ada beragam jenis binatang dan tumbuhan langka yang hidup di Ekosistem Batangtoru. Kawasan itu mencakup lahan seluas 168.658 hektare (ha) yang terbagi dalam tiga daerah, yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.
"Kawasan ini memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang penting sebagai daerah tangkapan air, serta untuk mencegah banjir, erosi maupun tanah longsor. Masalahnya, saat ini ada ancaman terhadap kelestarian ekosistem tersebut," katanya, Selasa (27/8/2019) malam.
Dana menjelaskan ancaman sekaligus tantangan yang ada yakni minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut. Selain karena pembangunan PLTA, beberapa perusahaan yang ada disana seperti tambang emas Agincourt Resources juga ikut memberi andil akan kerusakan lingkungan karena membuang limbah ke sungai Batangtoru.
"Mereka memang menyebut itu sudah memenuhi baku mutu tapi dari hasil pengamatan yang kita lakukan, aktifitas itu merusak sungai Batangtoru," ujarnya.
Selain itu Dana juga mengatakan ancaman dari hutan tanaman industri dengan luas mencapai 83.143 ha, serta ekspansi lahan perkebunan sawit yang mulai mengarah ke hutan Batangtoru yang saat seluas 113.464 ha, serta dampak ikutan dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan.
"Pengelolaan ekosistem Batangtoru haruslah berhati-hati, mengingat kawasan ini menjadi sumber air bagi pertanian, habitat satwa kunci yang hampir punah, serta wilayah kelola rakyat dan upaya pemenuhan bagi tradisi dan spiritualitas adat," ungkapnya.
Terkait dengan keberadaan satwa orangutan tapanuli yang diperkirakan tinggal 800 ekor lagi, Tarigan menyatakan hal itu merupakan salah satu potensi masalah yang harus diantisipasi. Kesalahanan dalam pengelolaan hutan itu bisa berimbas pada punahnya satwa langka tersebut.
Ancaman kerusakan lingkungan hidup di Batangtoru semakin nyata seiring masih berprosesnya pembangunan proyek PLTA Batangtoru yang disinyalir memiliki kajian yang bermasalah. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan dalam siaran persnya. Atas kondisi ini Walhi Sumut mendesak langkah penyelamatan pada ekosistem yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) selaku satwa yang paling terancam punah saat ini.
Dana menyatakan, ada beragam jenis binatang dan tumbuhan langka yang hidup di Ekosistem Batangtoru. Kawasan itu mencakup lahan seluas 168.658 hektare (ha) yang terbagi dalam tiga daerah, yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.
"Kawasan ini memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang penting sebagai daerah tangkapan air, serta untuk mencegah banjir, erosi maupun tanah longsor. Masalahnya, saat ini ada ancaman terhadap kelestarian ekosistem tersebut," katanya, Selasa (27/8/2019) malam.
Dana menjelaskan ancaman sekaligus tantangan yang ada yakni minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut. Selain karena pembangunan PLTA, beberapa perusahaan yang ada disana seperti tambang emas Agincourt Resources juga ikut memberi andil akan kerusakan lingkungan karena membuang limbah ke sungai Batangtoru.
"Mereka memang menyebut itu sudah memenuhi baku mutu tapi dari hasil pengamatan yang kita lakukan, aktifitas itu merusak sungai Batangtoru," ujarnya.
Selain itu Dana juga mengatakan ancaman dari hutan tanaman industri dengan luas mencapai 83.143 ha, serta ekspansi lahan perkebunan sawit yang mulai mengarah ke hutan Batangtoru yang saat seluas 113.464 ha, serta dampak ikutan dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan.
"Pengelolaan ekosistem Batangtoru haruslah berhati-hati, mengingat kawasan ini menjadi sumber air bagi pertanian, habitat satwa kunci yang hampir punah, serta wilayah kelola rakyat dan upaya pemenuhan bagi tradisi dan spiritualitas adat," ungkapnya.
Terkait dengan keberadaan satwa orangutan tapanuli yang diperkirakan tinggal 800 ekor lagi, Tarigan menyatakan hal itu merupakan salah satu potensi masalah yang harus diantisipasi. Kesalahanan dalam pengelolaan hutan itu bisa berimbas pada punahnya satwa langka tersebut.