Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak untuk menetapkan Perppu No.1/2020 disahkan menjadi Undang-undang. Partai oposisi ini memberikan 22 pendapat atau catatan yang disederhanakan dalam 4 poin. Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No.1/2020 berpotensi melanggar konstitusi disebabkan beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan negara, misalnya di Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan Postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden. "Hal ini menurut PKS telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam UU atau yang setara. Berdasarkan UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun," kata Anggota Fraksi PKS DPR RI, H Hidayatullah dalam siaran persnya yang diterima, Rabu (13/5). "Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh presiden untuk dibahas dan disetujui DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD RI 1945," sambungnya. Kedua, sebut Hidayatullah, perppu di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Ketiga, kami mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara. Perppu No.1/2020 dalam Pasal 2 menetapkan batasan defisit anggaran yang melampaui 3 persen dari PDB," katanya. Anggota Komisi X ini menambahkan, klausul dalam perppu itu hanya menyebutkan melampaui 3 persen dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atas. Tidak adanya batas atas dalam penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol dan dapat membuat belanja APBN menjadi tidak prudent atau memenuhi unsur kehati-hatian dan membengkaknya utang. "Selain itu juga beresiko dimasukkan kepentingan-kepentingan belanja lainnya yang tidak tepat dan tidak perlu. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan managable," kata mantan anggota DPRD Sumut periode 2004-2014 itu. Keempat, FPKS berpendapat bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 T ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini menurut FPKS kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan. Sementara, segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. "Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan memengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Fraksi PKS menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, maupun lembaga keuangan," terangnya. Dengan pertimbangan itu, pihaknya mendorong pemerintah agar mengganti Perppu No.1/2020 dengan perppu yang memerhatikan dan memasukkan poin-poin dalam Pendapat Mini Fraksi PKS agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang merugikan keuangan negara dan rakyat di kemudian hari. "Kami juga mendorong agar pemerintah dapat konsisten untuk fokus terlebih dahulu kepada penanganan pandemi Covid-19 dan jaminan sosial. Kami mencatat bahwa insentif pemulihan ekonomi mendapat porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan insentif kesehatan, dan insentif jaminan sosial yaitu Rp75 T dan Rp110 T. Mengenai insentif pemulihan ekonomi sebesar Rp150 T, menurut kami perlu direncanakan dengan detil bersama DPR serta stakeholder terkait," pungkas legislator asal Dapil Sumut 1 meliputi Kota Medan, Deliserdang, Serdangbedagai dan Tebingtinggi itu. Diketahui, DPR RI akhirnya menyetujui Perppu No.1/2020 atau yang dikenal dengan Perppu Corona menjadi UU, Selasa (12/5). Keputusan tersebut diambil dalam rapat sidang paripurna ke-15 yang dihadiri oleh sembilan fraksi. Dari ke-9 fraksi tersebut, terdapat satu fraksi yang menolak yaitu PKS. Ke-8 fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, NasDem, Golkar, PPP, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Gerindra. "Dalam pandangan mini fraksi ada 8 fraksi setuju dan 1 fraksi menyatakan menolak," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani di Ruang Paripurna DPR RI.[R]
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak untuk menetapkan Perppu No.1/2020 disahkan menjadi Undang-undang. Partai oposisi ini memberikan 22 pendapat atau catatan yang disederhanakan dalam 4 poin. Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No.1/2020 berpotensi melanggar konstitusi disebabkan beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan negara, misalnya di Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan Postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden. "Hal ini menurut PKS telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam UU atau yang setara. Berdasarkan UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun," kata Anggota Fraksi PKS DPR RI, H Hidayatullah dalam siaran persnya yang diterima, Rabu (13/5). "Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh presiden untuk dibahas dan disetujui DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD RI 1945," sambungnya. Kedua, sebut Hidayatullah, perppu di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Ketiga, kami mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara. Perppu No.1/2020 dalam Pasal 2 menetapkan batasan defisit anggaran yang melampaui 3 persen dari PDB," katanya. Anggota Komisi X ini menambahkan, klausul dalam perppu itu hanya menyebutkan melampaui 3 persen dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atas. Tidak adanya batas atas dalam penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol dan dapat membuat belanja APBN menjadi tidak prudent atau memenuhi unsur kehati-hatian dan membengkaknya utang. "Selain itu juga beresiko dimasukkan kepentingan-kepentingan belanja lainnya yang tidak tepat dan tidak perlu. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan managable," kata mantan anggota DPRD Sumut periode 2004-2014 itu. Keempat, FPKS berpendapat bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 T ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini menurut FPKS kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan. Sementara, segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. "Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan memengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Fraksi PKS menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, maupun lembaga keuangan," terangnya. Dengan pertimbangan itu, pihaknya mendorong pemerintah agar mengganti Perppu No.1/2020 dengan perppu yang memerhatikan dan memasukkan poin-poin dalam Pendapat Mini Fraksi PKS agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang merugikan keuangan negara dan rakyat di kemudian hari. "Kami juga mendorong agar pemerintah dapat konsisten untuk fokus terlebih dahulu kepada penanganan pandemi Covid-19 dan jaminan sosial. Kami mencatat bahwa insentif pemulihan ekonomi mendapat porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan insentif kesehatan, dan insentif jaminan sosial yaitu Rp75 T dan Rp110 T. Mengenai insentif pemulihan ekonomi sebesar Rp150 T, menurut kami perlu direncanakan dengan detil bersama DPR serta stakeholder terkait," pungkas legislator asal Dapil Sumut 1 meliputi Kota Medan, Deliserdang, Serdangbedagai dan Tebingtinggi itu. Diketahui, DPR RI akhirnya menyetujui Perppu No.1/2020 atau yang dikenal dengan Perppu Corona menjadi UU, Selasa (12/5). Keputusan tersebut diambil dalam rapat sidang paripurna ke-15 yang dihadiri oleh sembilan fraksi. Dari ke-9 fraksi tersebut, terdapat satu fraksi yang menolak yaitu PKS. Ke-8 fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, NasDem, Golkar, PPP, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Gerindra. "Dalam pandangan mini fraksi ada 8 fraksi setuju dan 1 fraksi menyatakan menolak," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani di Ruang Paripurna DPR RI.© Copyright 2024, All Rights Reserved